Quantcast
Channel: Catatan Sawali Tuhusetya
Viewing all articles
Browse latest Browse all 147

“DASAR NDESA!”

$
0
0

Gara-gara vlog bertagar #BapakMintaProyek, Kaesang dilaporkan kepada polisi. Tak tahu pasti, bagian video manakah yang dijadikan dasar si pelapor? Berulang-ulang saya memutar video berdurasi 2 menit 41 detik itu, tetapi saya tidak menemukan satu ujaran pun yang mengandung unsur kebencian (hate speech). Bisa jadi, idiom “DASAR NDESA!” yang dituturkan berulang-ulang oleh bungsu Presiden Jokowi itulah yang  dianggap memenuhi unsur hate speech.

Dalam bahasa hukum, ujaran kebencian (hate speech) merupakan tindakan komunikasi yang dilakukan oleh suatu individu atau kelompok dalam bentuk provokasi, hasutan, ataupun hinaan kepada individu atau kelompok yang lain dalam hal berbagai aspek, seperti ras, warna kulit, gender, cacat, orientasi seksual, kewarganegaraan, agama dan lain-lain. Hal-hal yang mengatur tindakan tentang Ujaran Kebencian (Hate Speech) terhadap seseorang, kelompok ataupun lembaga, yaitu Surat Edaran Kapolri No: SE/06/X/2015, UU No 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dan UU No 40 Tahun 2008 tentang penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.

Namun, saya tidak ingin terlalu jauh  mempersoalkan aspek hukumnya, karena saya memang sangat awam dalam soal hukum. Saya hanya sebatas mencoba melihatnya secara pragmatik dalam sudut pandang kebahasaan.

“DASAR NDESA!” merupakan idiom Bahasa Jawa yang secara gramatikal berasal dari dua morfem (bentuk) bebas, yaitu “DASAR” dan “NDESA”. Dalam KBBI, “DASAR” termasuk nomina dalam bahasa percakapan yang mengandung arti “memang begitu (tentang adat, tabiat, kelakuan, dan sebagainya)”. Sedangkan, “NDESA” murni merupakan kata dalam bahasa Jawa yang secara morfologis berasal dari kata dasar “DESA” yang berarti “udik” atau “dusun” yang berantonim dengan kata “kota” dan mendapatkan ater-ater anuswara /n/ sehingga menjadi “NDESA” yang memiliki makna “seperti orang desa”. Jika digabungkan dengan kata “DASAR” menjadi “DASAR NDESA” yang mengandung arti “memang berkelakuan seperti orang desa”.

Nah, selama ini orang desa identik dengan orang yang tidak terdidik, serba tertinggal, dan tidak tahu perkembangan zaman. Beberapa waktu lalu, pelawak Thukul Arwana melalui tayangan acara talkshow di sebuah stasiun TV mengidentikkan “NDESA” dengan “katrok” yang dalam bahasa gaul bermakna “kurang gaul”. Nah, dari sisi kebahasaan “DASAR NDESA!” bisa diartikan sebagai idiom untuk menggambarkan orang yang berkelakuan seperti orang desa yang tidak terdidik, serba tertinggal, tidak tahu perkembangan zaman, dan kurang gaul.

Persoalannya sekarang, terlepas dari status Kaesang sebagai anak seorang presiden, salahkah dia mengidentikkan orang yang sebenarnya berpendidikan tinggi dan hidup di kota, tetapi berkelakuan seperti orang desa?

Jika kita cermati, video #BapakMintaProyek diawali dengan “percakapan imajiner” yang diperagakan secara monolog oleh Kaesang. Ia memerankan dirinya sekaligus ayahnya. Pada bagian awal itu, Kaesang minta proyek trilyunan yang ada di pemerintahan. Kaesang bosan sama youtube karena dapatnya uang kecil melulu. Ayah Kaesang menjawab bahwa kalau mau sukses dan kaya ya kerja keras, masak pingin penake thok. Kaesang pun diminta untuk mengurus markobar dan dijawab bahwa markobar bukanlah miliknya. Dalam monolog itu, sang ayah justru malah minta dikirimi pulsa.

Usai monolog, Kaesang melakukan semacam “refleksi” sebagai berikut:

  1. Memang masih zamannya minta proyek sama orang tua yang ada di pemerintahan? Dasar Ndesa! (Disensor dengan suara getaran agar lebih sopan).
  2. Malu dong, punya embel-embel gelar dari kuliah, apalagi dari luar negeri, balik ke Indonesia bukannya membangun Indonesia menjadi lebih baik, malah ngehancurin! Dasar Ndesa!
  3. Katanya mau berbakti buat Nusa dan bangsa, tapi ada apa, malah menghancurkan semuanya. Bukan begini caranya untuk membangun Indonesia yang lebih baik. (Lalu, Kaesang meng-insert sebuah tayangan video arak-arakan anak-anak yang dengan gegap-gempita sambil berteriak-teriak dengan ujaran kebencian dan kekerasan). Kaesang pun mempertanyakan dan menyayangkan mengapa anak-anak kecil sudah belajar menyebarkan kebencian. “Apaan coba itu, Dasar Ndesa! Ini ajarannya siapa coba, Dasar Ndesa! Nda jelas banget, … ngajari ke anak-anak untuk mengintimidasi dan meneror orang lain, padahal mereka adalah bibit-bibit penerus bangsa kita. Jangan sampai kita itu kecolongan dan kehilangan generasi terbaik yang kita punya. Untuk membangun Indonesia yang lebih baik, kita itu harus kerja sama, ya kerja sama! Bukan malah saling menjelek-jelekkan, mengadu domba, mengkafir-kafirkan orang lain, apalagi ada yang nggak mau menshalatkan, padahal sesama muslim karena cuma perbedaan dalam memilih pemimpin. Apaan coba! Dasar Ndesa! Kita ini Indonesia, kita itu hidup dalam perbedaan! Salam kecebong!”

Transkrip tersebut bisa saja tidak lengkap, tetapi setidaknya substansi isi video sudah terangkum di dalamnya. Isi video tersebut sebenarnya merupakan hasil refleksi secara kritis seorang Kaesang terhadap berbagai fenomena yang terjadi.

Pertama, kritik-reflektif terhadap anak pejabat yang biasa memanfaatkan celah kolusi melalui jabatan orang tua untuk memanjakan naluri hedonis dan konsumtif.

Kedua, kritik-reflektif terhadap gaya intelektual kaum muda yang kuliah dengan embel-embel titel dari luar negeri, tetapi tidak memiliki kepedulian untuk membangun bangsa dan negaranya, tetapi malah menghancurkan.

Ketiga, kritik-reflektif terhadap orang tua yang salah dalam mendidik anak dengan menghalalkan jalan kekerasan untuk mencapai tujuan.

Keempat, kritik-reflektif terhadap kelompok tertentu yang sering menggunakan isu SARA melalui ujaran kebencian dan adu domba untuk mencapai tujuan.

Secara pragmatik, tak ada bagian isi video yang menyuratkan maupun menyiratkan bentuk provokasi, hasutan, ataupun hinaan kepada individu atau kelompok yang lain dalam hal berbagai aspek, seperti ras, warna kulit, gender, cacat, orientasi seksual, kewarganegaraan, agama dan lain-lain yang dianggap memenuhi unsur ujaran kebencian. Bahkan, jika dicermati, video vlog Kaesang bisa dijadikan sebagai bahan refleksi dan pencerahan di tengah situasi menguarnya gaya hidup instan dan mengarusnya sikap eksklusif dan intoleran dalam beragama di tengah kebhinekaan.

Dalam kultur Jawa, idiom “DASAR NDESA!” merupakan salah satu bentuk kearifan lokal yang masih bertahan hingga sekarang. Idiom ini biasa digunakan dalam pergaulan dengan teman sebaya untuk menunjukkan keakraban sebagai sindiran terhadap seseorang yang minim pengalaman. Mereka biasa membaur dalam suasana saling menyindir, tetapi tidak menghilangkan kesan guyup dan rukun.

Sebagai orang yang memiliki latar belakang kultur Jawa, sah-sah saja Kaesang menggunakan idiom sindiran “DASAR NDESA!” dalam vlognya. Lihat saja ekspresi Kaesang dalam video itu! Dia yang mengenakan topi bertuliskan “Kolektor Kecebong” tampak sangat santai, tak ada kesan provokatif,  bahkan ketika mengujarkan idiom “DASAR NDESA” pun ia sengaja men-sensor-nya agar terasa lebih santun karena vlognya tidak hanya akan dinikmati oleh orang-orang Jawa.

Lantas, ujaran kebencian mana lagi yang ingin ditunjukkan, coba? ***


Viewing all articles
Browse latest Browse all 147

Trending Articles