
Oleh: Sawali Tuhusetya
Dalam tiga tahun terakhir, jumlah postingan di blog “abal-abal” ini bukannya merangkak naik, melainkan justru mengalami penurunan. Pada tahun 2011, saya mampu menghasilkan 12o tulisan. Rerata satu bulan bisa memublikasikan 10 tulisan. Tahun 2012 turun menjadi 100 postingan. Rerata satu bulan menghasilkan sekitar 8 tulisan. Tahun 2013 merosot drastis yang hanya mampu menghasilkan 56 tulisan dengan rerata sebulan hanya sekitar 4-5 tulisan.
Saya tak tahu pasti penyebabnya. Lantaran meningkatnya aktivitas offline, sibuk bersosial media, atau memang “adrenalin” menulis yang gagal memacu inspirasi untuk ngeblog? Namun, seingat saya, dalam dua tahun terakhir ini, aktivitas offline juga tak sibuk-sibuk amat. Bersosial-media? Hem … Jujur saja, saya terbilang pemalas dalam berjejaring sosial. Facebook hanya berisi tautan postingan yang ter-update secara otomatis melalui networkedblogs. (Nyaris) tak pernah meninggalkan jejak status di wall. Twitter pun setali tiga uang. Hanya sesekali “berkicau”. Itu pun kalau kebetulan ada mention atau retweet dari sahabat.
Lihat saja screenshot grafik jumlah tulisan berikut ini!
Kalau begitu? Apakah memang “adrenalin” ngeblog sedang tiarap? Bisa jadi. Dalam setahun terakhir ini, saya memang sedang berusaha menyelesaikan naskah buku teks dari sebuah penerbit bersama dua rekan sejawat. Meskipun sesungguhnya hal itu tidak bisa dijadikan sebagai alasan pembenar. Membuat postingan di blog jauh lebih mudah ketimbang menulis naskah buku. Apa pun bisa ditulis tanpa terikat oleh kaidah-kaidah kepenulisan yang rumit dan njlimet. Juga tak dibatasi jumlah spasi dan karakter. Kalau tega, satu kata, bahkan satu karakter pun bisa di-publish. Lebih-lebih yang punya hobi jeprat-jepret. Hanya dengan menampilkan sebuah foto –tanpa harus ada caption-nya– jadilah sebuah postingan.
Lantas, kenapa mesti jadi blogger “pemalas”? Hem … Meski ngeblog itu tidak ribet, ternyata godaan dari luar jauh lebih kompleks. Blogger juga manusia. Ia tak bisa terus-terusan berada di depan monitor. Ia punya tanggung jawab domestik dan sosial. Ia mesti hidup di alam nyata; mengurus keluarga dan bersosialisasi dengan lingkungan. Sungguh keliru kalau blogger “mempersempit” dunianya hanya untuk ngeblog, padahal di luar sana banyak tanggung jawab yang mesti diembannya. Tidak bijak juga kalau seorang blogger dengan amat sengaja menciptakan dunia yang “eksklusif” dan tidak membumi; merangkai kata demi kata demi memenuhi hasrat dan naluri virtualnya.
Kalau begitu, boleh dong blognya dibiarkan merana dan tak terurus? Hem … Itu soal pilihan. Mau terus eksis ngeblog, itu memang jauh lebih arif dan bijak. Mau berhenti ngeblog, juga tak ada beban moral dan sosial yang mesti ditanggung. Apalagi, kalau blog yang dikelola secara finansial seringkali kurang menguntungkan. Sangat beralasan apabila “adrenalin” ngeblog makin lama makin menyurut hingga akhirnya tiarap dan berhenti total.
Meski bukan soal yang rumit dan njlimet, ngeblog ternyata memang banyak tantangannya. Selain urusan keluarga, sosial, dan berbagai “godaan” yang tak pernah surut, ngeblog memang butuh “nyali” besar untuk bisa bereksistensi. Lebih-lebih ketika dunia micro-blogging dan sosial media tampil sarat pesona, tak jarang blogger yang –disadari atau tidak—beralih status menjadi facebooker atau tweeps dalam bereksistensi diri dan memenuhi hasrat sosialnya di dunia maya.
Ini sekadar tulisan untuk introspeksi diri saya pribadi di penghujung tahun 2013. Jujur saja, saya sangat salut dengan sahabat-sahabat blogger yang terus berusaha eksis dengan menampilkan postingan secara konsisten setiap bulannya di tengah godaan “sosial” yang demikian masif. Mudah-mudahan Sampeyan termasuk di dalamnya. ***