Quantcast
Channel: Catatan Sawali Tuhusetya
Viewing all articles
Browse latest Browse all 147

Kesetiaan Janji Yudistira dan Amarah Bima

$
0
0
Wayang

Dalang: Sawali Tuhusetya

Dunia agaknya memang sudah terbalik, pikir Balarama. Orang bersih dan jujur justru hidup dalam penderitaan dan kesengsaraan. Sedangkan, orang yang jelas-jelas berkarakter jahat, suka melakukan tipu-muslihat, menghalalkan segala cara dalam mencapai tujuan, hobi melakukan persekongkolan jahat untuk menjatuhkan lawan politik, justru hidup serba enak-kepenak.

“Sungguh tidak adil!” keluhnya di depan Kresna ketika menjenguk para Pendawa yang tengah hidup dalam penderitaan dan kesengsaraan di tempat pengasingan. Kresna terdiam. Ekor matanya menjilat wajah Yudistira yang tenang dan sejuk. Meski hidup dalam suasana getir bersama Drupadi, isterinya, dan empat saudaranya yang lain, putra Pandu itu tidak menampakkan tanda-tanda galau dan stress.

“Kenapa saudara-saudara kita Pendawa yang selama ini selalu menjunjung tinggi nilai kebenaran dan kejujuran harus mengalami nasib setragis ini?” lanjut Balarama dengan gusar. Bola matanya membelalak. Kresna tetap diam. Penguasa Dwarawati itu seperti sengaja memberikan kesempatan kepada Balarama untuk menuntaskan emosi yang menggelegak dalam rongga dadanya.

“Apa kita mesti diam menyaksikan angkara-murka merajalela di depan mata? Tegakah kita menyaksikan orang sebaik Pendawa disingkirkan oleh para Kurawa yang berhati jahat dan busuk?” kembali suara Balarama memecah suasana di hutan pengasingan yang singup dan wingit. “Bagaimana kelak Destarastra harus mempertanggungjawabkan perbuatannya dan bagaimana ia bisa membela diri waktu berhadapan dengan Dewa Kematian? Padahal, semesta alam beserta seluruh penghuninya menangis, meratap, dan sedih menyaksikan nasib Pendawa yang tak berdosa dan Drupadi yang mendapatkan karunia Sang Dewa Api harus menghadapi penyiksaan dan penistaan yang sedemikian kejamnya!” lanjut Balarama dengan bola mata menyala-nyala. Suasana hutan yang singup dan wingit mendadak terasa gerah. Sentyaki yang sedari tadi terdiam, terusik untuk angkat bicara.

“Balarama, saat ini bukan waktunya untuk larut dalam kesedihan. Seharusnya kita tidak perlu menunggu sampai Yudistira meminta kita untuk membantu Pandawa. Kita tidak bisa menyaksikan penderitaan saudara-saudara kita hidup dalam penistaan yang tak berujung. Dwarawati punya prajurit yang tangguh dan militan, dan itu lebih dari cukup untuk menggempur Duryudana. Apalagi jika didukung prajurit Wrisni yang bersenjata lengkap dan mutakhir, maka kita dengan mudah mampu menaklukkan putra Destarastra yang busuk dan serakah! Sampeyan dan Kresna pasti mampu berkoalisi dengan baik dan sempurna! Saya pun ingin sekali memancung leher Karna! Mari kita bangun kekuatan untuk menghancurkan arogansi Duryudana!” sergah Sentyaki sambil melintir cambangnya yang lebat. “Jika memang Pendawa ingin konsisten dan memenuhi janjinya, kita serahkan saja kekuasaan Hastinapura kepada Abimanyu! Dia sosok kandidat pemimpin yang jujur, bersih, dan dekat dengan rakyat!” lanjut Sentyaki berapi-api. Sembari menarik napas, Kresna yang sedari tadi menyimak dengan takzim, akhirnya menyela.

Kresna

Kresna

“Apa yang Sampeyan katakan itu benar. Tapi Sampeyan jangan lupa siapa Pendawa! Meski hidup menderita, mereka tak mudah begitu saja menerima uluran tangan orang lain. Sejak kecil mereka sudah ditempa hidup mandiri melalui ujian-ujian yang berat, termasuk ketika harus menghadapi kelicikan Sengkuni dan Kurawa dalam permainan dadu di Balai Sigala-gala. Drupadi yang memang memiliki darah pahlawan dan ksatria pun belum tentu mau mendengar dan menerima bantuan pihak lain. Lebih-lebih Yudistira! Ia pasti tak akan mau meninggalkan jalan kebenaran dalam situasi apa pun! Nah, setelah masa pengasingan secara incognito ini berakhir, barulah nanti kekuatan koalisi yang sempurna akan kita bangun dari segala lini. Penguasa negeri dari Pancala, Kekaya, Chedi, dan kita semua akan menyatukan semua kekuatan untuk mewujudkan koalisi yang solid dan berjuang menegakkan kebenaran dan keadilan!” kata Kresna sambil sesekali menyemburkan senyuman. Yudistira yang duduk di sampingnya ikut tersenyum. Tenang dan berwibawa.

“Wah, luar biasa Bapak Kresna ini! Rupanya dia tahu benar apa yang sedang saya pikir dan rasakan! Menurut saya, kebenaran jauh lebih utama ketimbang kekuatan atau kekuasaan dan mesti dipertahankan dengan penuh sikap integritas. Meskipun demikian, saya mengucapkan terima kasih dan memberikan penghargaan setinggi-tingginya kepada saudara-saudara saya di sini yang telah repot-repot memikirkan nasib kami. Saya percaya pada Bapak Kresna. Kalau memang beliau sudah menghendaki kita siap tempur, kami siap! Saya kira demikian, kita menunggu perkembangan lebih lanjut dari Bapak Kresna,” kata Yudistira dengan lembut dan ramah, tetapi tegas. Segenap yang hadir mengangguk setuju. Setelah bersalaman dan berangkulan, mereka berpisah.

Sementara itu, Bima tak sanggup menutupi kegelisahannya setiap kali mengingat Arjuna yang belum juga kembali dari Gunung Himalaya. Ketika ia ingin menggunakan jalan kekerasan, Yudistira menolaknya.

“Sampeyan tahu, kita sangat bergantung pada Arjuna. Ia telah lama pergi dan kita tidak mendengar kabar beritanya. Seandainya kita kehilangan dia, tak seorang pun, termasuk penguasa Pancala, Sentyaki, atau Kresna, yang dapat menolong kita. Aku tak sanggup membayangkan apa yang akan terjadi kalau kita kehilangan dia. Akibat permainan dadu gila itu, kita mesti mengalami nasib setragis ini! Sebaliknya, Kurawa justru berpesta sambil terus menyusun kekuatan untuk mempertahankan kekuasaan! Tinggal dan mengembara di dalam hutan seperti ini bukanlah jalan kaum ksatria. Kita harus segera memanggil Arjuna. Lalu, dengan bantuan Kresna kita umumkan perang terhadap anak-anak Destarastra. Aku akan puas, jika Sengkuni, Karna, dan Duryudana yang jahat dan licik mampus. Kalau tugas ini selesai dan jika Sampeyan memang menghendaki ke hutan dan hidup sebagai pertapa silakan saja! Membunuh musuh dengan menggunakan siasat bukanlah dosa yang mesti diratapi!” kata Bima dengan vokalnya yang besar dan berat. Yudistira menyimaknya dengan takzim. “Aku mendengar bahwa dalam buku Atharwa Weda memuat trik jitu yang dapat mengurangi dan mempersingkat waktu. Kalau bisa, dengan trik itu kita bisa menjadikan waktu tiga belas tahun menjadi tiga belas bulan saja. Trik ini legal dan Sampeyan pasti mengizinkan aku untuk membunuh Duryudana pada bulan keempat belas!” lanjutnya sambil menahan amarah yang tersekat di dada.

Yudistira

Yudistira

Mendengar kata-kata Bima yang penuh nada amarah, Yudistira memeluknya dengan penuh kasih sayang. “Saudaraku tercinta, segera sesudah tiga belas tahun itu terlampaui, Arjuna dengan senjata Gendewa dan engkau dengan gadamu akan bertempur dan membunuh Duryudana. Bersabarlah sampai waktu itu tiba. Duryudana dan pengikut-pengikutnya tidak mungkin akan terlepas dari semua ini, sebab mereka sudah telanjur tenggelam dalam lumpur dosa dan tipu muslihat. Yakinlah engkau, adikku!” kata Yudistira sambil sesenggukan. Bima terharu.

Ketika kedua kstaria Pendawa itu bercakap-cakap dengan penuh keharuan, tiba-tiba muncul Profesor Brihadaswa yang tua, suci, dan bijaksana. Mereka menyambut kehadiran sang guru besar itu dengan sikap hormat yang sempurna. Setelah mempersilakan duduk, Yudistira bertanya, “Prof, musuh kami telah berbuat curang dengan mengajak kami bermain dadu. Mereka membuat kami kalah dan menipu kami hingga kami kehilangan kerajaan dan kekayaan. Mereka mengusir saudara-saudaraku yang berjiwa kesatria. Drupadi dan aku harus diasingkan di hutan ini, sementara Arjuna meninggalkan kami untuk mencari senjata Gendewa supercanggih. Namun, sampai kini Arjuna belum kembali dan itu membuat kami sangat khawatir. Apakah ia akan kembali dengan senjata supercanggih itu? Dan kapan kiranya saat itu tiba? Belum pernah rasanya ada kesedihan yang begitu mendalam seperti kesedihan yang menimpa kami ini.”

“Jangan biarkan pikiranmu diliputi kegalauan berlebihan. Arjuna pasti kembali dengan membawa senjata supercanggih dan engkau akan menaklukkan musuh-musuhmu pada waktu yang tepat. Engkau pikir, di dunia ini tak ada orang yang semalang engkau. Tidak, itu tidak benar! Memang, setiap orang merasa nasib penderitaannya yang paling berat di dunia, sebab segala sesuatu dirasakan lebih pahit daripada apa yang didengar dan dilihat. Apakah engkau pernah mendengar kisah Raja Nala dari Kerajaan Nishada?” kata Prof. Brihadaswa balik bertanya. Yudistira dan Bima hanya bisa saling berpandangan.

“Ia ditipu oleh Pushkara dalam permainan dadu. Ia kehilangan kerajaan, kekayaan, dan semua miliknya. Ia juga harus mengembara di hutan seperti engkau. Tetapi ia lebih menderita karena dalam pengembaraannya ia tidak disertai saudara-saudaranya. Ia bahkan tak boleh bertemu, apalagi bercakap-cakap, dengan kaum brahmana. Karena pengaruh Batari Kali, Dewi Kegelapan, pikirannya terguncang dan ia tendang istrinya, Dewi Damayanti. Kemudian, dalam keadaan setengah gila, ia mengembara di hutan. Dan sekarang, bandingkan dengan keadaanmu. Engkau punya saudara-saudara yang gagah berani, isteri yang setia dan dukungan dari kaum cendekiawan yang suci. Mereka semua setia menemanimu. Pikiranmu baik dan teguh. Memang, kasihan kepada diri sendiri adalah wajar, tetapi keadaanmu tidak seburuk penderitaan orang lain,” lanjut sang guru besar itu. Ia terus bertutur dengan menggunakan bahasa yang indah dan menyentuh nurani tentang nasib Raja Nala. Sebelum mohon diri, sang profesor menyimpulkan kisahnya di depan Yudistira dan Bima.

“Wahai Pendawa, Nala telah menjalani cobaan yang jauh lebih berat daripada apa yang kalian hadapi. Tetapi, akhirnya ia berhasil mengatasi cobaan itu dan kemudian hidup bahagia. Engkau memiliki kecerdasan yang kuat. Engkau selalu berada di lingkungan yang baik dan penuh limpahan kasih sayang dari kawan-kawanmu. Engkau telah menggunakan waktumu dengan baik, untuk mempersembahkan jiwa dan pikiranmu kepada nilai kebajikan, kearifan, dan darma. Jalan untuk itu adalah bercakap-cakap dan bertukar pikiran dengan kaum cendekiawan dan ahli spiritual. Pikullah segala cobaan dan derita dengan sabar dan tabah, sebab itu adalah karunia bagi setiap insan!”

Simpulan tuturan Prof. Brihadaswa tentang nasib Raja Nala yang tragis, tetapi indah, membuat Yudistira dan Bima kian larut dalam keharuan seiring dengan senja yang mulai temaram di seantero rimba belantara yang singup dan wingit itu. (Tancep kayon) ***


Viewing all articles
Browse latest Browse all 147

Trending Articles