Tanpa terasa, sudah lebih 7 tahun saya menjalani aktivitas ngeblog. Tepatnya sejak Juli 2007, saya mencoba merambah dunia maya yang saat itu memang belum terlalu populer seperti saat ini. Koneksi internet pun masih tergolong mahal dan mesti “curi-curi” waktu ke warnet sekadar untuk memosting sebuah tulisan, sebelumnya akhirnya –lantaran sebuah kebutuhan—memasang jaringan internet sendiri di rumah.
Tujuh tahun ngeblog memang masih terbilang muda. Masih terlalu banyak “ilmu” yang mesti ditimba dari para bloger senior yang sudah lebih dulu jauh melesat dalam dunia virtual. Setidaknya, konsistensi ngeblog masih perlu terus dipoles. Ide masih perlu terus digali. Demikian juga gaya tulisan yang bisa memikat pembaca masih perlu terus diasah. Belajar ngoprek blog juga tidak kalah penting untuk dilakukan guna mengatasi kejenuhan selera yang acapkali menggoda. Bagi saya, tampilan blog sering menjadi motivasi tersendiri untuk memacu “adrenalin” ngeblog. Ibarat sebuah rumah, blog memang mesti dipoles dan dihuni dengan penuh rasa cinta dan kasih sayang, sehingga menumbuhkan rasa nyaman dan menyenangkan.
Hem … 7 tahun ngeblog — berdasarkan arsip blog sudah berlangsung sekitar 84 bulan– di bar samping–ternyata juga belum sanggup memacu produktivitas dalam menulis. Baru sekitar 1.091 judul tulisan yang tersimpan dalam laci perpustakaan maya. Kalau dibagi rata, memang secara kasar setiap bulan ada sekitar 12 tulisan yang bisa saya hasilkan. Namun, sekali lagi, konsistensi ngeblog ternyata memang belum sepenuhnya memenuhi harapan. Ada kalanya produktivitas meningkat tajam. Namun, pada saat yang lain, aktivitas ngeblog saya langsung drop. Bahkan, pernah hampir 3 bulan berturut-turut saya “absen”. Tak satu pun sebuah tulisan yang terpajang di blog.
Kalau boleh ber-“apologi”, ada dua godaan utama yang bisa membuat aktivitas ngeblog turun-naik. Pertama, aktivitas offline yang tak terhindarkan. Alasan ini memang sangat manusiawi. Seorang blogger sejatinya tergolong makhluk sosial yang sangat peduli pada lingkungan sosialnya. Ia tak bisa terus-terusan terisolir dan tidak membumi. Ia juga tak bisa terus-terusan berada di depan layar komputer semata-mata untuk mengurusi blog. Ada tanggung jawab sosial yang mesti ditunaikan. Tak hanya berkaitan dengan pekerjaan rutin untuk menghidupi keluarga, tetapi juga bersosialisasi dengan lingkungan; entah itu rapat RT/RW, kerja bakti lingkungan, menghadiri undangan hajat, siskamling, atau tahlilan. Belum lagi pekerjaan sampingan yang tak kalah menguras energi, waktu, dan tenaga.
Kedua, gangguan server dan koneksi internet. Ngeblog merupakan ativitas virtual yang membutuhkan koneksi itnernet sebagai media utama. Seproduktif apa pun seorang blogger dalam menulis, tulisannya tak akan pernah berhasil dibaca publik apabila jaringan internet sedang lemot. Demikian juga halnya dengan server yang terkait secara langsung dengan “nasib” hidup sebuah blog. Adrenalin ngeblog langsung menyurut ketika blognya gagal digunakan untuk meng-update postingan.
Bisa jadi masih ada godaan-godaan lain yang membuat aktivitas ngeblog seorang nlogger mengalami pasang-surut. Namun, bagi saya, dua godaan utama itulah yeng selama ini saya masih belum bisa “istikomah” dalam menjalani aktivitas ngeblog.
Persoalannya sekarang, sudah “kiamat”-kah seorang blogger ketika aktivitasnya mengalami pasang surut dan merasa gagal mengatasi godaan yang menghadangnya? Secara pribadi, saya cenderung berpandangan bahwa blogger tak pernah mengenal istilah “pensiun” dalam kamus pribadinya, apalagi “kiamat”. Ia masih bisa menjalankan aktivitas virtualnya setiap saat. Toh, blog sejatinya menjadi bagian dari tanggung jawab personal yang tak pernah berimplikasi secara sosial di dunia nyata. Artinya, masih eksis ngeblog atau tidak, para blogger tetap saja tidak bisa memgisolir diri dari berbagai persoalan sosial yang berlangsung di sekelilingnya.
Meskipun demikian, kalau ngeblog dianggap sebagai sebuah “dunia panggilan”, jelas secara personal, seorang blogger tetap memiliki tanggung jawab moral untuk menjawab kegelisahan batinnya dalam berkreativitas. Dalam situasi seperti ini, setiap blogger memiliki berbagai cara untuk menjawab kegelisan batinnya. Salah satu di antaranya –termasuk saya– adalah memajang widget kalender blog di halaman utama. Kalender blog tak hanya berfungsi sekadar penghias dan aksesoris belaka, tetapi yang jauh lebih utama adalah sebagai pengingat dan penanda eksistensinya dalam ngeblog. Sungguh, secara naluriah, saya termasuk orang yang tak tega hati ketika melihat kalender blog saya miskin aktivitas.
Oleh karena itu, menjelang pergantian tahun yang sebentar lagi akan tiba, saya mesti sering-sering menengok kalender blog untuk memicu “adrenalin” dalam menulis. Bermutu atau tidak tulisan yang di-update, ada pengunjungnya atau tidak, itu bukanlah hal yang penting benar untuk dipersoalkan. Yang penting menulis, menulis, dan menulis. Begitulah! Semoga kompleks blogosphere kembali menggeliat dan ramai oleh riuh rendah para blogger yang tengah beraktivitas di dunia virtual.
Nah, selamat menyongsong pergantian tahun, semoga mendatangkan banyak berkah dan kebentungan. Salam ngeblog! ***