Quantcast
Channel: Catatan Sawali Tuhusetya
Viewing all 147 articles
Browse latest View live

Membaca ‘Jejak Batu Sebelum Cahaya’ Karya Ali Syamsudin Arsi

$
0
0

Membaca ‘Jejak Batu Sebelum Cahaya’ Karya Ali Syamsudin Arsi: Teriakan Paling Lantang Dari Banjar Baru, Kalimantan Selatan
Oleh : Esti Ismawati

Jejak Batu Sebelum Cahaya karya Ali Syamsudin Arsy adalah buku puisi ketujuh (paling akhir) terbitan Framepublishing Yogyakarta, Oktober 2014, dari serial ‘Gumam Asa’, yang dimulai dari tahun 2009 (‘Negeri Benang pada Sekeping Papan’), dan (‘Tubuh di Hutan-Hutan’), 2010 (‘Istana Daun Retak’), 2011 (‘Bungkam Mata Gergaji’), 2013 (‘Gumam Desau dan Esai’), 2014 (‘Cau-Cau Cua-Cau’) dan terkhir ‘Jejak Batu Sebelum Cahaya’. Meski dikatakan sebagai gumam, yang dalam kamus berarti sesuatu yang ingin disampaikan tetapi masih tertahan di dalam mulut, saya katakan bahwa buku ini merupakan teriakan paling lantang dari seorang Ali Syamsudin Arsy dari Banjarbaru, Kalimantan Selatan tentang kegelisahan dan keprihatinan saat ia meneroka alam sekitarnya.

AsaDitulis dalam gaya yang unik dengan judul yang menyatu dalam tubuh puisi, membuat buku ini lain daripada yang lain. Ada puisi yang demikian pendek bahkan lebih pendek dari judulnya, ada puisi yang begitu panjang, yang jika pembaca tak bisa menyiasatinya niscaya akan kehabisan oksigen tatkala membacanya. Puisi yang sangat pendek seperti puisi yang berjudul ‘BICARA DARI BATU KE BATU’, isinya hanya tiga kata : sudahkah wahai luka (halaman 9). Dan puisi yang panjang bahkan sampai tiga halaman penuh, seperti pada puisi yang berjudul ‘POLITIK-HUKUM-PUISI DALAM GUMAMKU’ di halaman 4 sampai dengan 6, puisi berjudul HALAMAN DARAH, yang panjangnya sampai empat lembar full di halaman 32 sampai dengan halaman 35.

Dengan menyimak puisi sesungguhnya seseorang terlibat dalam proses berpikir yang memungkinkan secara mandiri mampu membaca dengan baik sehingga ia mampu menangkap pesan yang ingin disampaikan oleh puisi tersebut, betapa pun sederhananya. Untuk itu tentu perlu pemahaman tentang anatomi puisi, sebab dalam menangkap makna dan keindahan puisi sampai batas-batas tertentu kita harus mampu menampilkan hal-hal yang tak terlihat. Secara sederhana, Marjorie Boulton membagi anatomi puisi ke dalam dua bagian, yakni bentuk fisik puisi, yang terdiri atas irama, sajak, intonasi, dan berbagai gema serta pengulangan-pengulangan; dan bentuk mental puisi yang di dalamnya terkandung struktur kaidah, urutan logis, pola-pola asosiasi, pemanfaatan citra, pola-pola citra dan emosi. Sudah tentu kita tidak dapat memilah secara tegas antara bentuk fisik dan mental puisi ketika kita menikmati sebuah puisi. Yang jelas, kombinasi yang baik antara bentuk fisik dan mental puisi akan memantulkan kekuatan pada imajinasi pembaca.

Marilah saya ajak pembaca menikmati puisi-puisi berikut ini (saya pilihkan yang pendek).

SEDANG HATIMU, masihkah jejak ke depan, sementara aku jauh di belakang menggiring sampai kabut mengaburkan. (halaman 7).

TERKEPUNG RINDU, sungguh tak mampu aku hindarkan jerat matamu dalam lingkup mendayu-serbu. (halaman 3).

TERIMALAH KARENA AKU SUNGGUH MERINDU, antara daun-daun dihembus sehembus-hembusnya (halaman 21).

Tiga buah puisi pendek dengan metafor-metafor yang indah ini menyampaikan pesan kepada pembaca bahwa sang kreator tengah disergap rasa cinta yang mendalam. Awalnya adalah rasa kemanusiaan. Cinta antara sepasang kekasih. Cinta selaku manusia. Aku lirik rupa-rupanya tak mendapatkan respon yang memadai (hahaha) sehingga ia pun terluka, sebagaimana tertulis dalam puisi di bawah ini :

BICARA DARI BATU KE BATU, sudahkah wahai luka. (halaman 9). Namun benarkah luka itu disebabkan oleh cinta yang bertepuk sebelah tangan tadi?. ternyata bukan. Luka itu disebabkan karena suasana kehidupan di sini tak lagi nyaman, dengan berbagai perubahan yang merusak ekosistem, merusak pola budaya setempat, sebagaimana dikatakan di halaman 20, ‘di dinding-dinding gelap hampa udara ada yang masih tak mampu menerima bahwa nenek moyangnya dahulu telanjang dada telanjang kaki telanjang tanpa busana kulit kayu dan daun pembungkus bulu dan seterusnya, kini berlapis kemeja berlapis warna-warna.

Di akhir puisi ‘JEJAK BATU SEBELUM CAHAYA’ itu tahulah kita bahwa sesungguhnya luka itu disebabkan oleh kehidupan yang semakin sulit karena penguasa, sebagaimana tampak dalam kutipan berikut ini :

“batu menjadi tajam batu menjadi api batu menjadi istana batu dalam remah-remah kata tersusun rapi tersusun rapi sebagai puisi menari-nari di antara rimbun puing-puing asmara dosa dan reruntuhan sepi atas sunyi bertumpuk saling menindih senyap atas getir bagi para penulis di jalan-jalan entah adakah istana yang sejatinya menggaungkan bunyi demi bunyi selain jerit dan sakit gemerlap emas sebagai puing demi puing di remah nasi para telapak tangan tengadah dan membungkuk badan karena hidup semakin disulitkan oleh para penguasa, penguasa atas atas batu dan debu-debu”…. duh, alangkah nestapanya.

Diksi yang dipilih dalam puisi ini sungguh-sungguh tepat dan sangat mengena untuk menggambarkan betapa penderitaan atau luka hidup itu bukan hanya dimuliki oleh pengemis, peminta-minta (tangan tengadah dan membungkuk badan), melainkan para penulis (profesi terhormat pun) juga mengalami hidup yang tidak enak atau hidup yang sulit. celakanya, bukan karena alam yang menyebabkan ini semua terjadi, melainkan karena hidup semakin disulitkan oleh para penguasa. Ini bukan sekedar gumam. Ini adalah sebuah terikan yang sangat keras dari Banjarbaru, Kalimantan Selatan.

Hidup semakin disulitkan oleh para penguasa, sungguh merupakan sebuah kalimat dengan diksi menawan, disulitkan, bukan sulit. Jadilah sebuah kritik yang tajam kepada para birokrat, yang seharusnya mereka bertugas melayani, memudahkan hidup tetapi justru sebaliknya, menyulitkan hidup.

Ungkapan lain dari teriakan Ali Syamsudin Arsy dapat dibaca di halaman 31 dalam puisi yang bertajuk NOVEL DAN PENJINAK BOM. Di sini dikatakan “engkau semakin lincah dalam tari seindah liuk dan gemulai wahai novel yang menggeliat di genggam tanganmu berdebu sedebu-debu mengupas catatan darah di halaman sejarah karena sebuah negeri yang tak mau tahu asal-usul penulisnya sendiri – itu menjadi penjinak bom atas kesadaran yang dibungkam – novel pun melayah-layah di semak dan hutan bakau meremas keheningannya pada pucuk-pucuk capaian sementara darah mengalir terus sama dengan tragedi pada lorong jalan dan gang sempit bernama ruang-ruang – seorang penjinak bom terkapar di kamarnya sendiri – orang-orang di luar sibuk membaca berita kapan terbit novel terbaru atas sejarah hidup dari penjinak bom yang meledak tubuh terberai antara gemuruh dan cakar-cakar”.

Sebuah teriakan yang melengking tajam dengan ironi-ironi yang memesona. Orang tak lagi peduli lingkungannya, sebuah bentuk egoisme sektoral (seorang penjinak bom terkapar di kamarnya sendiri) sementara orang-orang di luar sibuk membaca berita kapan terbit novel terbaru atas sejarah hidup dari penjinak bom yang meledak. Dan ironisnya lagi tergambar dalam puisi berikut ini :

MONOLOG LUMUT DI BATU-BATU, para penonton sudah lama pergi sedang aku masih berdiri di batas titik sembilan panggung sunyi tanpa tepuk tangan hanya ada moncong senjata dan kilau belati. (halaman 8).

SUNGGUH JEJAK LANGKAH, batu-batu tajam berserak aku kadang tak dapat bergerak ada senyap menghentak-hentak. (halaman 22).

Suasana yang sangat miris. Bahkan dalam arena kebudayaan pun digunakan pendekatan kekuasaan, kekerasan (panggung sunyi tanpa tepuk tangan hanya ada moncong senjata dan kilau belati), sebuah gambaran suasana yang mencekam, yang tidak menenteramkan hati. Ada batu-batu tajam berserak aku kadang tak dapat bergerak ada senyap menghentak-hentak. Kondisi ini diperparah lagi dengan kerusakan lingkungan yang disebabkan juga oleh tangan manusia, sebagaimana tampak dalam puisi berikut ini :

JALAN CERPEN MENUNGGU WAJAHMU SEPI, serasa arus menuju lorong dan sungai-sungai sangat sungai tersumbat arus dalam derasnya. (halaman 30).

Sungai-sungai yang tersumbat adalah sebuah fore shadowing untuk munculnya musibah yang dasyat, yakni banjir bandang. Mestinya pencegahan atau pendekatan preventif lebih dikedepankan daripada kuratif, penyembuhan setelah luka. Pendekatan itu bisa menggunakan local wisdom sebagaimana tampak dalam puisi berikut ini :

ENGKAU, sehelai bulu lembut dalam sayap-sayap, dan sayap pun merayap-rayap. (halaman 14).

RINDU MENGALIR, ADA ANGIN SEMILIR, di saat datang bayangmu kekasih. (halaman 23).

Bahwa pendekatan yang paling tepat adalah pendekatan kemanusiaan. Memanusiakan manusia, dengan memberikan suasana yang sejuk yang memungkinkan kehidupan ini berjalan penuh harmoni. Tidak perlu menggunakan jalan kekerasan, karena pada hakikatnya manusia itu memiliki hati nurani yang bersih, yang cepat tersentuh oleh kelembutan semilir angin, yang terbuka dengan iklim yang sejuk, karena sesungguhnya kita adalah bangsa yang penuh rasa, yang berorientasi pada rasa, karena kita bukanlah bangsa barbar. Perasaan kita halus seperti angin yang perlahan masuk ke jiwa putih kita, karena

PEMBATAS TUBUH, tipis setipis angin. (halaman 28).

Demikianlah ulasan singkat atas puisi-puisi unik karya Ali Syamsudin Arsy. Keunikan paling nyata terletak pada bentuk fisiknya yang tak lazim sebagaimana puisi-puisi biasanya. Hal ini memerlukan kecerdikan tersendiri untuk menyikapinya. Kendala lain adalah sempitnya jarak antara tulisan dengan batas penjilidan, sehingga terkadang harus diruda-paksa agar bisa terbaca semuanya. Bagian akhir dari buku ini berkisah tentang Palestina, yang kiranya lebih pedih lagi dirasakan penderitaan rakyatnya, karena arogansi Israel yang didukung oleh Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya. Dilihat dari kaca mata itu, kesulitan hidup kita agak lebih kecil dibandingkan mereka. Oleh karena itu kita perlu bersyukur. Bukankah jika kita bersyukur Allah akan menambah nikmatnya kepada kita semua? Wallohualam bisawab.

Klaten, 9 Desember 2014
Esti Ismawati, dosen di salah satu Universitas Tegal

Komentar dari : Bapak Soediro Satoto

Puisi, sebagai salah satu genre Seni Sastra (bukan sekadar wujud bahasa) bersifat ‘interpretable’, multi tafsir dan multi makna. Setiap penikmat sastra, pemerhati sastra, guru/dosen sastra, pakar sastra, kritikus sastra, bahkan penulis sastra yang bersangkutan, sama-sama punya hak melakukan ‘pembacaan’ , pengamatan , pengkajian atau penganalisisan, dan pemahaman (makna) sastra sebagai objek kajian dengan rujukan teori, metode, pendekatan, atau teknik dan strategi pengkajian/penganalisisan yang dipahami (tidak sekadar diketahui atau dimengerti), dipilih dan dipergunakan — Setiap Puisi, sebagai karya seni, adalah bersifat unikum. Tidak bisa digeneralisasi. Sebuah puisi, dikaji, dianalisis, ditafsirkan, kemudian dimaknai oleh, misalnya, 100 kritikus satra puisi (bukan 100 kritikus sastra umum), hasilnya akan 100 macam pula. Hasil penafsiran, pemahaman, dan hasil pemaknaannya. wajar jika bisa berbeda-beda. Tidak ada kebenaran tunggal dalam penafsiran dan pemaknaan wacana apa dan mana pun, apalagi wacana seni (dalam hal ini Seni Puisi). Tidak ada kebenaran tunggal dan paling benar serta paling tepat dalam hal teori, metode, atau pendekatan yang dipakai sebagai rujukan analisisnya. Seni Sastra yang sedang dijadikan objek kajian perwujudannya adalah sebuah teks. Sebagai tebuah teks, ia adalah memiliki kategori atau genre wacana tertentu, ialah wacana Seni Sastra. Sebagai teks seni sastra ia bisa berkonstruksi dengan teks-teks lain secara intra teks, antar teks, atau interteks dengan teks-teks lain, baik secara intrinsik maupun ekstrinsik, baik secara implisit maupun eksplisit — dan jangan lupa, juga berkonstruksi dengan berbagai jenis konteksnya. Teks – Konteks, dalam wacana apa Seni Sastra jenis Puisi yang dikaji itu diposisikan? Itulah sebabnya baik dalam proses mencipta dan mengkaji wacana puisi tidaklah semudah mengkaji, menafsirkan, dan memahami wacana lain (non-sastra). Perhatikan, memahami arti dan makna wacana politik dan hukum di Indonesia akhir-akhir ini tidaklah mudah, bukan? — Apalagi memahami Seni Sastra, dalam hal ini puisi. Mengapa upaya apa pun untuk share dalam memahami Puisi di media digital atau fiber seperti ini adalah positih. Perlu diapresiasi. Selama ini ada kesan terjadi ‘pembodohan sastra’ di Lembaga Sekolah Formal. Perlu kita coba proses ,pencerdasan sastra’ di luar sekolah formal seperti yang terjadi di media sosial seperti pada ‘sastra digital’ dan ‘sastra fiber’ seperti ini. Kita tidak perlu ada ragu-ragu atau suudhon bahwa fenomena pengembangan sastra dengan sentuhan tegnologi digital atau tegnologi fiber, seni sastra akan kehilangan kreatifitas dan imaginitas. Jangan-jangan bahkan akan sebalinya. Perlu kita coba dan amati perkembangannya. Akhir kata, saya sangat-sangat mengapresiasi kreatifitas Ibu Esti Ismawati, baik yang dilakukan di lembaga Sekolah Formal (budaya ‘Sastra Ensiklopedi – Kamus’, dan budaya ‘Sastra Alabetis/Buku), maupun via media digital dan fiber, berkat sentuhan tegnologi semakin canggih — secanggih proses imaginasi dan apresiasi sastra, termasuk puisi. Budaua ‘urun angan’ harus diubah ke budaya ‘turun tangan’ (menyomot istilah Mendikbud Anies Baswedan). ***


Sitor Situmorang Tutup usia, Dunia Sastra Berduka

$
0
0

Dunia sastra Indonesia kembali kehilangan salah satu putra terbaiknya; Sitor Situmorang. Sastrawan kelahiran Harianboho, Tapanuli Utara, Sumatera Utara, pada 2 Oktober 1923 itu dikabarkan menghembuskan napas terakhirnya di Apeldoorn, Belanda, 21 Desember 2014 dalam usia 91 tahun. Semasa hidupnya, almarhum tergolong sebagai sastrawan yang cukup produktif dan kreatif. Bahkan, A. Teeuw menyebutnya sebagai penyair Indonesia terkemuka setelah meninggalnya Chairil Anwar.

Beberapa karyanya tidak hanya dijadikan sebagai bahan ajar di sekolah, tetapi juga menjadi bahan kajian dan penelitian para sarjana sastra. Kumpulan cerpennya Pertempuran dan Salju di Paris (1956) mendapat Hadiah Sastra Nasional (1955) dan kumpulan sajak Peta Perjalanan memperoleh Hadiah Puisi Dewan Kesenian Jakarta (1976). Beberapa karyanya yang tidak asing bagi para pencinta sastra Indonesia, di antaranya:

  1. Surat Kertas Hijau, kumpulan puisi (1954)
  2. Jalan Mutiara, drama (1954)
  3. Dalam Sajak, kumpulan puisi (1955)
  4. Wajah Tak Bernama, kumpulan puisi (1956)
  5. Rapar Anak Jalang (1955)
  6. Zaman Baru, kumpulan puisi (1962)
  7. Pangeran, kumpulan cerpen (1963)
  8. Sastra Revolusioner, kumpulan esai (1965)
  9. Dinding Waktu, kumpulan puisi (1976)
  10. Sitor Situmorang Sastrawan 45, Penyair Danau Toba, otobiografi (1981)
  11. Danau Toba, kumpulan cerpen (1981)
  12. Angin Danau, kumpulan puisi (1982)
  13. Bunga di Atas Batu, kumpulan puisi (1989)
  14. Toba na Sae (1993) dan Guru Somalaing dan Modigliani Utusan Raja Rom, sejarah lokal (1993).
  15. Rindu Kelana, kumpulan puisi (1994)

ssSitor Situmorang juga menerjemahkan karya asing ke dalam bahasa Indonesia, yakni: Sel, terjemahan drama karya William Saroyan (1954) dan Hikayat Lebak karya Rob Nieuwenhuys (1977).

Di tengah situasi peradaban yang makin abai terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan nihil kepeduliannya terhadap sastra, wafatnya Sitor Situmorang jelas merupakan sebuah kehilangan. Almarhum tidak hanya dikenal sebagai sastrawan yang produktif dan kreatif, tetapi juga gigih memegang prinsip hidupnya. Mungkin lantaran kegigihannya dalam memegang prinsip hidup, almarhum pernah  dipenjara sebagai tahanan politik pada 1957-1974 oleh pemerintah Orde Baru. Karya-karyanya dibekukan dan tidak diterbitkan.

Meskipun Sitor Situmorang telah tiada, jejak-jejak sastranya masih akan terus dikenang dan karya-karyanya merupakan dokumen literer yang tak ternilai harganya. Selamat jalan, Bapak Sitor Situmorang, semoga dilapangkan jalanmu menuju ke alam keabadian dan mendapatkan tempat terbaik di sisi-Nya. ***

Sastrawan Kalimantan Selatan dalam “Sang Peneroka”

$
0
0

Sastrawan Indonesia dari Kalimantan Selatan dalam Buku Antologi 106 Penyair Indonesia “Sang Peneroka”
Oleh : Ali Syamsudin Arsi

Bersikap untuk saling memberikan penghormatan, terlebih bila masih dalam kondisi yang sangat tepat dan memungkinkan, adalah sebuah daya hidup yang sangat menggairahkan. Semoga akan selalu dan saling berbalas antara satu dengan yang lain tanpa harus melihat latar belakang – apalagi memberikan bayangan jauh ke depan – karena sebuah kenyataan dibatasi oleh saat ini, detik ini, dan selain itu adalah bagian tak terbantahkan sebagai lapisan-lapisan udara tipis dari kenangan masa yang baru saja dilewatkan dan bahkan kabut tebal karena jarak waktu yang sudah jauh ditinggalkan, bahkan lebih dari itu adalah lupa.

Pusat edar, karena dari titik itulah berangkat daya hidup salah satu pintu untuk mempertimbangkan hal-hal yang berkait dengan kebenaran, walau masih ada pintu lain yang turut menentukan. Pusat edar sebagai semangat kuat fitalitas menuju ruang gerak ke ruang gerak lainnya.

AsaPada sebuah ruang perjumpaan, di saat yang memang telah menjadi takdirnya maka ada satu nama sebagai fokus pembicaraan, ia adalah sosok manusia yang tak pernah berhenti bergerak dalam satu pusat edar – yang diyakini olehnya sebagai daya hidup tak berkesudahan : pusat edar sastra – hal lain boleh saja runtuh boleh saja ditinggalkan boleh saja dilepaskan, tetapi dalam daya hidup yang ada di pusat edar bernama sastra ternyata banyak yang teramat manis untuk selalu dilekatkan untuk selalu direkatkan, bahkan antara jejak dan gurat-gurat garis di telapak kaki sulit dipisahkan.

Tersiar kabar sosok gigih dan tanpa ampun dalam jelajah di pusat edar bernama dunia sastra, tersebutlah nama Kurniawan Junaedhie atau lebih banyak yang menuliskan sebagai KJ. Di usia 60 tahunnya terhampar ruang terbuka untuk saling datang menyapa dan ternyata tawaran bukan menemu kehampaan, banyak berdatangan, saling mengingatkan kenangan lama pun juga masih meraba dalam bayang-bayang kebesaran dan ketokohannya di pusat edar bernama dunia sastra.

Kurniawan Junaedhie bicara tentang Kurniawan Junaedhie dalam pergulatannya di pusat edar bernama sastra. Hanya satu kata : Semangat !!!

Tentu saja semangat yang dicetuskan adalah agar gelombangnya bergerak jauh dan tak henti untuk merambah ke celah demi celah, lorong demi lorong, titik lingkar paling jauh.

Orang-orang sekitar tentu lebih banyak melihatnya dan ternyata daya jelajahnya sudah sangat jauh bahkan berurat-berakar karena daya upaya yang dilakoninya sendiri, orang lain tentu saja boleh menolak dan selalu harus menerima tetapi kenyataannya bahwa apa pun yang telah dilakukan pada masa-masa sebelumnya tak dapat dibantah karena ketokohan itu sudah tertanam dan tumbuh serta berbuah.

Adalah Esti Ismawati yang bergagas-gagas-ria untuk membuka ruang persahabatan ruang saling memberikan penghormatan dan semua datang dengan gembira maka penyambutan atas kehadiran buku berjudul “Sang Peneroka” dapat dipersembahkan kepada siapa saja, terkhusus bagi yang tercantum namanya dalam pergumulan pusat edar dunia sastra kepada K J, ya kepada   K J , selamat merenungkan kembali makna demi makna.

Ada banyak nama yang menguraikan kebersamaan itu persahabatan itu pergumulan itu pergulatan itu dengan pernik-pernik mengharu-biru perjalanan. Ada Adri Darmadji Woko, ada Soni Farid Maulana, ada Handrawan Nadesul, ada Adek Alwi. Selain paparan keakraban juga ada celoteh-celoteh dari: Abah Yoyok, Yogira Yogaswara, Herman Syahara, dan hampir semua mendapat balasan celoteh dari K J, ya mendapat balasan dari  “K J”.

Lantas, siapakah KJ ?
Dialah “Sang Peneroka”, itu jawabnya.

Di dalam buku Antologi 106 Penyair Indonesia dan Ulasan Terhadap Karya-karya  Kurniawan Junaedhie (Cetakan Pertama, November 2014, XVI+487 hlm.; 15 x 24 cm), Kurator: Esti Ismawati, diterbitkan oleh Penerbit Gambang, Yogyakarta, ISBN: 978-602-7731-37-0, terpampang sosok “Sang Peneroka” dengan kini turut dihiasi banyak puisi oleh banyak penyair. Dan mereka adalah Penyair yang dimiliki oleh Indonesia.

Kalimantan Selatan ternyata menangkap sinyal persaudaraan via puisi dan beberapa rekan ikut melayangkan jabat erat persaudaraan itu. Berikut nama-nama yang menyertakan diri dalam jalinan karya berupa puisi.

“Memo untuk Presiden” dari Penyair Kalimantan Selatan

$
0
0

Pengantar:
penyairSaya publikasikan kembali sebuah esai menarik karya Bang Asa (Ali Syamsudin Arsi); salah satu penyair Indonesia asal Kalimantan Selatan yang cukup kreatif dan produktif. Tulisan ini cukup panjang karena disertakan juga beberapa puisi karya penyair asal Kalimantan Selatan yang terkumpul dalam buku kumpulan puisi Memo untuk Presiden. Namun, karena terbatasnya ruang, karya-karya puisi tersebut tidak saya publikasikan dalam postingan ini. Yang ingin membaca dan mengapresiasinya, silakan unduh di sini.

Penyair Indonesia dari Kalimantan Selatan dalam buku kumpulan puisi “Memo untuk Presiden”
Oleh : Ali Syamsudin Arsi

“Puisi sebagai anak kandung kebudayaan pada dasarnya dapat berperan sebagai pengingat dan penggugah jiwa kehidupan berdasarkan fakta kebenaran serta nurani kejujuran. Sebab, penyair sebagai individu yang berdaya di dalam jaman – baik sebagai sasksi maupun agen perubahan – terbukti mampu melahirkan gagasan secara jernih untuk menangkap suara rakyat, suara jaman, dan suara kebenaran. Dengan mempresentasikan gagasan tersebut lewat penerbitan, mendistribusikan dan menyosialisasikan secara luas, puisi bisa berfungsi sebagai penjaga moral bagi semua yang terlibat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.”

Nukilan pengantar dalam buku “Memo untuk Presiden” tersebut di atas memberi kesempatan luas kepada “puisi” untuk bergerak-menyeruak-menukik-mengepung-menghujam jauh ke lunas-lunas terdalam dan sangat jauh menjelajah-merambah-memeluk-membelai-menghentak-membongkar nuansa-nuansa waktu maupun wilayah tanpa batas atau pun sesuatu yang berbatas, sampai ke batas-batas laku dan gerak bernama sifat, karakter bahkan tabiat. Sifat, karakter dan tabiat ternyata adalah sebuah produk kebudayaan dari manusia individu selanjutnya berkumpul menjadi kumpulan individu – konvensi, kemufakatan yang mengarah terhadap adat sebagai cikal-bakal terbentuknya kebudayaan, tentu dengan kelengkapan seperangkat syarat lainnya , adalah daya, adalah kekuatan, adalah energi ; demi keutuhan kesatuan dalam balutan persaudaraan – hal mendasar ini perlu penguatan agar kondisi ‘cerai-berai’ yang nyata-nyata sudah terpampang di depan mata dan keretakan demi keretakan karena geografi, maka cara pandang dengan wawasan luas kuat berakar sangatlah perlu dan prioritas utama.

Kepada satu nama tetapi sebenarnya kepada banyak nama. Telunjuk mengarah kepada satu wajah – dengan seperangkat sifat, karakter dan tabiatnya – padahal sebenarnya kepada banyak wajah, banyak sifat, banyak karakter, banyak tabiat. Kita sebagai “indonesia” adalah kekuatan sekaligus sesuatu yang sangat mudah rapuh bila tatanan mendasar selalu memberi peluang jalan ke arah cerai-berai.

Puisi yang telah memiliki kekuatan mandat sebagai perekat walau sampai ke tingkat paling getir dari segala yang dirasakan merupakan lingkar-jerat kuat dari sudut batinnya.

Puisi bicara dari sudut semangat, semangat dalam kata-kata, karena setiap kata memiliki makna.

Presiden telah mendapat mandat dari sejumlah individu melalui suara pilihannya, sama halnya ketika puisi mendapat keluasan merambah ke segala celah. Ini menguatkan isyarat bahwa presiden dan puisi menjadi satu lembaga dengan landasan semangat kuat dan berdaya guna.

Di negeri indonesia ini presiden dengan kekuatan puisi pada pikiran-pikiran yang tertuang dalam kebijakan demi kebijakan tentu saja akan membuka wahana luas, menukik dan sangat merasa. Indonesia yang kaya melimpah ruah adalah kenyataan karena itu berupa potensi, tetapi ketika tata kelola yang tidak sebagaimana dirasakan oleh rakyatnya maka puisi selayaknya tampil untuk membuka jalan dan menghantam ketidakwajaran yang dilakukan.

Sistem adalah bagian penting dari kemufakatan tersebut di atas, dan seorang presiden punya kekuatan untuk meluruskan penyimpangan demi penyimpangan yang cara kerjanya dilandasi pemahaman demi pemahaman puitis, jalan-jalan keindahan dari nurani terdalam yang berlaku secara damai; penyelesaian akar masalah tanpa harus mengalirkan darah demi darah. Sebab, darah biasanya akan berbalas darah.

Presiden, tanpa jalan puitis yang lain, perangkat lengkap di bawahnya, maka boleh jadi menjadi lalai dalam satu-kesatuan sistemnya.

Benar bila, puisi seperangkat kata-kata. Benar pula bila presiden, dalam ruang geraknya adalah seperangkat kata-kata. Sinergi di jalan puisi adalah bicara dengan hati nurani. Berani tentu seorang presiden membaca banyak puisi dengan seperangkat pemahaman di dalam ruang geraknya. Semua karena semangatnya.

Presiden dan puisi adalah semangat kata-kata, semangat kata-kata sebagai landasan kuat berdaya guna pada ruang gerak kerja, kerja dan kerja.

Memo untuk Presiden melalui jalan puisi adalah sebuah upaya secara batin bahwa daya ingat seorang individu manusia, tak terkecuali kepada sosok seorang presiden dengan perangkat lengkap di bawahnya, diperlukan adanya semacam ‘penghalau daya ingat’ bahwa kepentingan kita adalah kepentingan sebuah makna besar bernama negara. Tak lain dan tak bukan Negara Indonesia.

Sejumlah karya dari sejumlah nama penulisnya telah diupayakan dengan sungguh-sungguh dikumandangkan dan dikumpulkan dalam sebuah buku kumpulan, maka di dalamnya pun beriak-bergelombang-bergejolak-mengalun-bahkan menghentak-hentak. Memo adalah catatan pendek dan penting bahkan mengarah kepada genting, segera dicermati ditindaklanjuti, segera, sesegeranya.

Hanya langkah tepat dan cerdas seorang presiden yang mampu mengatasi karena Indonesia bukanlah sebuah Negara Kecil, Indonesia adalah sebuah Negara Besar dengan tata kelola penyelesaian bersifat besar tetapi tidak boleh lalai dalam hal-hal yang kecil, sekecil apa pun itu tetaplah dan seterusnya dalam tanggungjawab negara. Gemericik air jernih dan sehat sudahkah sampai ke ujung terjauh dalam celah tubuh manusia, manusia indonesia. Bening udara bebas beban virus sudahkah dihirup secara benar oleh paru-paru manusia, manusia indonesia. Jerit dan teriak pilu sudahkah mendapat sinyal yang selayaknya oleh tangan-tangan manusia, manusia indonesia.

Peluncuran buku Memori untuk Presiden (selanjutnya MuP) dilakukan pertama kali di kota Blitar, tepatnya di Istana Gebang (rumah kediaman keluarga Bung Karno, Sabtu 1 November 2014.

Hal yang menarik bagi warga sastra di tanah banua, tanah Kalimantan Selatan, tepatnya pada tanggal 9 – 10 Januari nanti di Kotabaru dilaksanakan agenda peluncuran kedua buku MuP, tepatnya dikaitkan dengan acara HUT ke-8 Sanggar Sastra Siswa Indonesia (SSSI) SMKN 1 Kotabaru. Semoga lancar dan sukses agenda sesuai rencana. Amin.

Adapun beberapa nama penulis puisi dari (saat ini berdomisili di) Kalimantan Selatan terdapat di dalam buku MuP tersebut adalah Sybram Mulsi (Rantau), Syarif Hidayatullah (Banjarmasin), Sumasno Hadi (Banjarmasin),  Maria Roeslie (Banjarmasin), M. Amin Mustika Muda (Marabahan), Jhon F.S. Pane (Kotabaru), Iberahim (Barabai), Helwatin Najwa (Kotabaru), Fahrurraji Asmuni (Amuntai), Awan Hadi Wismoko (Banjarbaru), Arsyad Indradi (Banjarbaru), Anna Mariyana (Marabahan), Andi Jamaluddin AR.AK. (Pagatan), Ali Syamsudin Arsi (Banjarbaru), dan Abdurrahman El Husaini (Martapura). 15 penulis puisi dari 196 nama secara keseluruhan yang tersatuka oleh tema bahwa ada harapan besar agar puisi-puisi tersebut mampu memberikan perhatian dan dorongan atas kerja seorang presiden di negara tercinta ini. Pihak kurator sendiri, seorang bernama Sosiawan Leak, sangat menjaga kemandirian selama proses penyertaan dan tahap seleksi seluruh karya puisi yang masuk untuk tidak bercondong ke pihak tertentu agar “ puisi yang terangkum di dalamnya senantiasa merdeka dari pemikiran yang bersifat partisan, serta bebas dari ‘pesan sponsor’ pihak-pihak yang punya kepentingan menyimpang,” tulisnya pada kelanjutan pengantar. Itu sangatlah dimaklumkan karena gesekan politik sebelum menjadi orang pilihan, telah bukan rahasia lagi bila banyak berteburan saling tendang saling rubuh saling hujat bahkan saling bungkam. Lantas, apakah seorang presiden mampu meletakan semua semangat kata-kata dalam buku yang tebalnya 476 itu tertuangkan di semua ruang gerak kebijakan demi kebijakannya.

Nah, semangat dalam kata-kata itu, diterjemahkan oleh seorang bernama Helwatin Najwa sebagai bagian penting untuk menyatakan bahwa kerja, kerja dan kerja itu memerlukan semangat penggerak secara nyata.

Sekedar mengingatkan bahwa “Kerja belum selesai, belum apa-apa,” (Chairil Anwar) atau ketika, “Perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata,” (WS Rendra).

Maka, masuklah wahai presiden terpilih, masuklah melalui jalan pilihan, jalan itu bernama puisi. Karena,  puisi dapat menyerap dan menyuarakan semua suara, suara kebijaksanaan berlandaskan hati nurani kebenaran.

Tentu saja makna demi makna dalam buku itu, dalam seluruh puisi itu,  bukan hanya untuk saat ini tetapi ia akan berlaku pula di rentang waktu jauh ke depan.

Salam gumam asa, Banjarbaru, 22 Desember 2014.

(sesaat dalam renungan terdalam untuk mama di mana pun berada, di seluruh tanah indonesia)

Kang Badrun, Pembaca Berita, dan Bandar Narkoba

$
0
0

Bola mata Kang Badrun membelalak di depan layar kaca. Berkali-kali kepalanya menggeleng. Mulutnya menceracau. Di balik layar kaca, si pembaca berita yang (nyaris) tanpa ekspresi itu terus membombardir mata dan telinga pendengar dengan info-info terkini. Karena merasa jenuh dengan pembacaan berita yang datar-datar saja, Kang Badrun ngeloyor ke warung kopi; tempat yang seringkali berubah menjadi “pasar ngrumpi”. Sepanjang perjalanan, pikiran Kang Badrun belum juga bisa memahami karakter pembaca berita yang monoton itu.

narkoba“Biarkan pendengar yang menyimpulkan sendiri! Tugas Sampeyan hanyalah membaca, membaca, dan membaca. Titik! Tidak perlu pakai ekspresi! Sampeyan digaji bukan untuk bermain drama di ruang berita!” begitu konon kata sang majikan yang pernah disampaikan teman Kang Badrun saat masih mengadu nasib di kota megapolitan.

Dalam situasi demikian, sangat beralasan kalau pembaca berita selalu tampil datar dan tanpa ekspresi dari balik layar kaca. Meskipun demikian, Kang Badrun merasa tidak nyaman juga apabila saban hari bola matanya mesti selalu jatuh ke wajah para pembaca berita yang (nyaris) tanpa ekspresi itu. Tanpa terasa, langkah kaki Kang Badrun sudah menyentuh bibir warung. Di sana sudah kumpul kolega-kolega ngrumpi dengan kepulan asap khas kopi yang menusuk hidung. Tanpa basa-basi, Kang Badrun bergegas ambil tempat duduk, lantas bergabung dalam sebuah obrolan sore yang dingin.

“Huh, benar-benar pembaca berita yang ndak paham teknik pembacaan berita yang baik! Datar dan monoton!” kata Kang Badrun bersungut-sungut. Para “jamaah” warung ngrumpi saling bertatapan.

“Loh! Sampeyan itu kenapa toh, Kang? Datang-datang kok menggerutu kayak gitu?” tanya Lik Markum.

“Habis gimana Lik, lha wong membacakan berita yang sangat penting kok wajah dan ekspresinya datar-datar saja! Mana ada penonton yang tertarik menyaksikannya?”

“Walah, itu, toh, gitu aja kok sewot! Kalau seneng ditonton, kalau ndak ya ganti saluran atau kabur!”

“Tapi sakitnya tuh di sini, Lik!” sahut Kang Badrun sambil menunjuk dadanya. Para “jamaah” warung ngrumpi tertawa.

“Wew … Sampeyan boleh saja berharap agar pembaca berita tampil ekspresif seperti yang Sampeyan inginkan Kang Badrun. Tapi pembaca berita kan tidak boleh menyalahi ‘pakem’. Pembaca berita itu bukan pembawa acara kuis atau presenter dunia kaum selebritis, Kang. Mereka berada dalam suasana resmi. Justru terkesan kurang etis kalau pembaca berita tampil neka-neka seperti para presenter yang lebay itu!” sahut Lik Markum suatu ketika.

“Walah, Lik, tapi kalau berita yang dibacakan itu sangat penting, bahkan mahapenting, apa tidak boleh seorang pembaca berita sedikit berekspresi untuk menunjukkan keberpihakan terhadap nilai-nilai kebenaran,” sahut Kang Badrun.

“Pakemnya memang harus begitu, kok. Beritanya penting atau biasa-biasa saja, seorang pembaca berita mesti ndak boleh berpihak! Taruhlah kalau ada bandar Narkoba yang akan dihukum mati, apa mesti seorang pembaca berita mesti teriak-teriak histeris untuk menyatakan sikap setuju terhadap isi berita yang dibacakan?”

“Itu bahan ngrumpi yang ndak penting, Kang Badrun! Coba Sampeyan sebutkan tadi berita yang sangat penting itu apa? Itu justru yang penting jadi topik ngrumpi sore ini!” sela Mas Kajang.

“Okelah kalau gitu! Ini berita penting tentang nasib para cukong Narkoba! Mereka bakalan ndak bisa berkutik! Pemerintah akan mengeksekusi mereka di tiang gantungan! Bukankah ini berita yang amat penting setelah kita tahu bahwa negeri kita ini justru telah menjadi salah satu pasar narkoba terbesar di dunia!”

“Wow … benar sekali! Ini baru topik berita yang jos!” sahut “jamaah” yang lainnya.

“Terus gimana?” sergah seorang anggota “jamaah” yang sedari tadi klepas-klepus membuang asap rokok dari lubang hidung dan mulutnya.

“Terus terang, aku setuju banget dengan sikap pemerintah yang tak kenal ampun terhadap para bandar dan cukung narkoba,” sahut Kang Badrun. “Mereka ini musuh negara dan rakyat! Entah sudah berapa juta jiwa yang melayang akibat ulah mereka. BNN mencatat ada 40 orang meninggal dunia secara sia-sia setiap hari. Setiap hari, Bro! Itu artinya, dalam sebulan ada 1.200 nyawa menjadi tumbal! Aduh, ini musibah nasional yang mesti dicegah! Kejahatannya jauh lebih mengerikan ketimbang perampok atau maling!” lanjutnya.

“Tapi, Kang, belum tentu juga eksekusi mati terhadap bandar narkoba itu akan berjalan mulus. Para aktivitas HAM pasti juga akan berteriak. Menurut mereka, hukuman mati tidak akan bisa mencegah merajalelanya Narkoba!” sahut Lik Markum.

“Tapi kalau dipikir, para cukung dan bandar narkoba itu justru nyata-nyata yang telah menjadi pelanggar HAM paling berat karena telah membunuh banyak generasi muda! Lebih melanggar yang mana antara membunuh mereka yang telah menjadi jagal nyawa manusia dengan pemerintah yang mengeksekusi para jagal itu. Kalau ada cukung narkoba yang tereksekusi mati, itu artinya ada ratusan, ribuan, bahkan jutaan nyawa generasi muda yang terselamatkan!” sela Mas Kajang.

“Betul, betul, saya sepakat itu! Para bandar nakoba ndak perlu dikasih ampun!” sahut yang lainnya ditingkah deting gelas.

“Benar sekali, Bro! Bukan itu saja, saya sebenarnya juga ndak setuju kalau BNN mau mendirikan rumah-rumah rehabilitasi bagi para korban Narkoba!” sela Kang Badrun.

“Loh, kenapa, Kang? Bukannya itu upaya mulia untuk menyelamatkan para generasi muda yang telah menjadi korban kebiadaban para bandar Narkoba?” tanya Mas Kajang.

“Hem … menurut saya, narkoba tidak cukup ditindak melalui hukum, tapi pencegahan juga sangat penting dilakukan. Saya khawatir, dengan banyaknya rumah rehabilitasi bagi korban narkoba, pencegahannya menjadi semakin tidak efektif. Makin banyak generasi muda yang tergoda untuk mengonsumsi narkoba. Toh, nanti kalau menjadi pencandu akan dirawat di rumah rehabilitasi!” tegas Kang Badrun. “Jamaah” yang lain mengangguk-angguk tanda setuju.

“Terus bagaimana dengan nasib generasi muda yang telanjur menjadi pencandu? Apa mereka dibiarkan terlunta-lunta tanpa proses rehabilitasi?” tanya Lik Markum.

“Serahkan saja nasib mereka pada keluarganya agar menjadi pelajaran berharga sekaligus menimbulkan efek jera. Orang tua mesti ikut bertanggung jawab terhadap anak-anaknya. Jangan suka memanjakan anak dengan materi berlimpah, tapi miskin perhatian dan kasih sayang. Makin banyak ruang rehabilitasi korban narkoba, makin banyak juga anak-anak dari kalangan berduwit yang tergoda untuk mengonsumsi narkoba.  Pencegahan itu juga butuh sikap tegas! Kalau tidak, musibah yang dahsyat akan melanda negeri kita tercinta ini!” lanjut Kang Badrun berapi-api.

Para “jamaah” warung ngrumpi terus terlibat dalam obrolan sore yang dingin. Mereka sering berdebat, tetapi tak sampai menimbulkan konflik. Melalui diskusi dan debat di warung kopi, sejatinya mereka juga belajar melalui kurikulum kehidupan yang sesungguhnya. Ketajaman otak mereka terus diasah agar mampu meluncurkan argumentasi yang masuk akal dan bermutu ketika terlibat dalam warung ngrumpi. ***

Pendidikan, Politik, dan Karakter Bangsa

$
0
0

(Refleksi dan Catatan Kecil Akhir Tahun 2014)

Sepanjang tahun 2014, negeri ini bagaikan pentas drama yang sarat dengan konflik dan kekerasan. Penonton (baca: rakyat) dari berbagai lini dan lapisan usia menyaksikan drama tragis itu dengan berbagai respon. Para pelaku di atas panggung politik –seperti sikap dan perilaku politisi pada umumnya—sangat apatis, bahkan cenderung mempersetankan teriakan-teriakan penonton. Mereka terus saja bermain dan bermain dengan penuh improvisasi politik yang seringkali tak terduga.

demokrasiDari kacamata politik, bisa jadi perilaku yang penuh improvisasi dengan menghalalkan segala cara untuk memikat perhatian rakyat menjadi “pakem” wajib yang mesti diikuti para politisi untuk mendapatkan kemenangan. Namun, dari sudut pendidikan politik, perilaku ala Machiavelli semacam itu tidak saja melukai nurani rakyat yang sangat mendambakan munculnya politisi elegan dan kesatria, tetapi juga menanamkan perilaku dan karakter anomali kepada generasi muda. Setidaknya, perilaku “jahat” yang menghalalkan segala cara untuk meraih kemenangan akan tertanam kuat dalam memori anak-anak bangsa hingga kelak mereka dewasa. Implikasinya, mereka akan meneladani perilaku jahat yang sarat anomali itu dalam kehidupan mereka kelak.

Dalam situasi demikian, dunia pendidikan kita makin rumit dan kompleks akibat makin meruyaknya perilaku dan karakter “jahat” yang tampil vulgar di depan mata. Nilai-nilai keluhuran budi yang ditumbuhsuburkan di sekolah agaknya makin kering dan layu lantaran terus tergerus oleh fakta-fakta kekerasan yang terjadi secara vulgar, masif, dan terus-menerus di tengah-tengah kehidupan berbangsa dan bernegara.

Peristiwa politik yang paling “menggemparkan” sepanjang 2014 tentu saja adalah Pemilihan Umum Presiden (Presiden) yang berlangsung 9 Juli. Meski coblosan hanya berlangsung sehari, peristiwa politik yang menyertainya jauh lebih heboh, baik sebelum maupun sesudah pesta demokrasi lima tahunan itu. Rivalitas yang terjadi –karena hanya ada dua calon presiden dan wakil presiden—terasa jauh lebih kuat hempasan bandul politiknya. Dukung-mendukung antarkedua calon jelas sangat terasa. Kalau tidak mendukung calon A pasti mendukung calon B. Demikian juga halnya dengan partai politik yang tidak memiliki calon. Dengan berbagai siasat dan strategi politik, para elite partai membangun koalisi politik untuk mendukung salah satu pasangan kandidat. Mulai titik inilah rivalitas politik jadi makin keras dan vulgar. Setiap kubu koalisi saling melempar isu, bahkan “fitnah” untuk menjatuhkan lawan politiknya. Tidak ada kekuatan politik lain yang mampu “menetralisir” dan menjadi “katalisator” rivalitas politik itu. Situasi politiknya jelas akan sangat berbeda apabila ada tiga pasangan kandidat yang bersaing. Suasana politik yang terjadi jelas jauh lebih cair dan lentur.

Yang menghebohkan –seperti diduga banyak pengamat— adalah sikap politik pasca-penghitungan suara pilpres. Ternyata tidak mudah menemukan politisi yang memiliki karakter sebagai sosok negarawan. Selalu saja ada apologi politik dan berbagai trik untuk tidak mengakui hasil suara pilpres. Dugaan kecurangan menjadi siasat politik paling “jitu” untuk mementahkan hasil-hasil pilpres. Meski pada akhirnya suasana politik sudah bisa mencair dengan diakuinya hasil pilpres, toh drama politik belum juga berakhir. Koalisi politik masih terus berlanjut di gedung wakil rakyat. Rasa “dendam” dan “sakit hati” akibat kekalahannya dalam rivalitas pilpres terus mengalir ke dalam darah para wakil rakyat, sehingga dalam sidang para wakil rakyat, jutaan pasang mata anak bangsa bisa melihat dengan telanjang bagaimana vulgarnya perilaku politik para wakil rakyat di gedung dewan. Melalui “kekuasaan” dan “wewenang” yang ada dalam genggaman tangannya, mereka dengan mudah mempermainkan suara rakyat untuk memuluskan langkah politik dan kepentingan golongannya.

Namun, peristiwa politik itu sudah menjadi bagian dari literatur sejarah bangsa yang kelak akan dibaca oleh anak-cucu. Persoalannya sekarang adalah bagaimana agar sejarah politik dan demokrasi yang “kelam” itu bisa dijadikan sebagai pelajaran politik yang amat berharga bagi anak-anak bangsa yang kini tengah gencar menuntut ilmu di bangku pendidikan. Merekalah yang kelak akan menjadi “pelukis” masa depan bangsa yang sesungguhnya. Jangan sampai perilaku politik dan demokrasi yang sarat dengan pembusukan itu mewaris ke dalam darah dan karakter generasi muda.

Sebagai bagian yang tak terpisahkan dalam ranah kehidupan berbangsa dan bernegara, dunia pendidikan sulit untuk bisa “steril” dari berbagai persoalan sosial dan politik yang terjadi di sekelilingnya. Anak-anak negeri ini tidak hanya belajar hidup dari bangku pendidikan, tetapi mereka juga mendapatkan “asupan” pendidikan berdasarkan peristiwa-peristiwa riil yang terjadi di tengah-tengah kehidupan. Ketika peristiwa sosial-politik yang terjadi sarat dengan kekerasan dan vandalistis, secara tidak langsung anak-anak bangsa negeri ini –disadari atau tidak– juga akan mendapatkan “limbah” yang akan memengaruhi perilaku dan karakter kesehariannya.

Dalam situasi demikian, idealnya para elite dan pelaku politik di negeri ini bisa menjadi anutan sosial bagi anak-anak bangsa. Mereka sangat diharapkan menjadi sosok negarawan yang mampu menunjukkan perilaku politik yang matang, elegan, arif, dan kesatria dalam berbagai pentas demokrasi di negeri ini. Jika tidak, mata rantai kekerasan dan vandalisme yang sudah lama melilit negeri ini akan terus membelenggu karakter bangsa yang sudah lama dikenal sebagai bahasa yang memiliki keluhuran akal-budi. Haruskah bangsa yang besar dan ramah ini berubah perangai menjadi bangsa kalap dan pemarah akibat perilaku politik para elite negara yang gagal memberikan keteladanan? ***

(Sebagai catatan akhir, saya ikut berempati dan berduka cita atas meninggalnya saudara-saudara kita yang menjadi korban musibah tanah longsor di Banjarnegara dan korban pesawat AirAsia QZ8501 yang terjadi di penghujung 2014 ini. Semoga saudara-saudara kita yang telah menjadi korban mendapatkan tempat terbaik di sisi-Nya dan para keluarga yang ditinggalkan diberikan kesabaran dan ketabahan dalam menghadapi ujian yang berat ini). ***

Selamat Mewujudkan Resolusi Tahun 2015

$
0
0

Lembaran pertama tahun 2015 sudah tergelar di depan mata. Suara petasan dan kilatan kembang api yang membubung ke angkasa menandai pergantian tahun yang baru saja lewat. Tentu sudah banyak rencana dan resolusi yang hendak dituliskan untuk mengisi lembar demi lembar di tahun 2015. Bisa jadi, ada sebagian di antara kita yang hidupnya mengalir tanpa resolusi. Toh ada rencana atau tidak, ada resolusi atau tidak, hidup akan senantiasa mengikuti gerak dan garis yang telah ditakdirkan oleh Sang Pemilik Kehidupan. Budaya pergantian tahun yang sering dirayakan secara berlebihan pun tidak ada bedanya dengan perhelatan-perhelatan pada hari-hari biasanya.

Tahun BaruMeskipun demikian, setahun yang lewat juga sudah banyak memberikan pelajaran berharga buat hidup dan kehidupan. Tidak ada salahnya perjalanan hidup yang setahun lamanya melintasi usia kita dijadikan sebagai momen berharga untuk melakukan sebuah perubahan. Perubahan itulah yang sesungguhnya merupakan resolusi hakiki, tanpa harus ditulis dan digembar-gemborkan. Apa yang akan terjadi setahun mendatang juga seringkali merupakan sebuah misteri. Kata hati, perilaku, sikap, tindakan, dan perbuatan yang menyertai hidup kita dalam memasuki sebuah lorong misteri itu sejatinya juga merupakan sebuah resolusi itu sendiri.

Kata-kata “sok bijak” ini semata-mata sekadar untuk mengisi postingan pertama di awal tahun 2015 setelah semalaman lek-lekan sambil “fokeran” bersama saudara dan tetangga terdekat. Nah, selamat mewujudkan resolusi tahun 2015, semoga setahun mendatang menghadirkan perubahan-perubahan yang sangat bermakna bagi perbaikan dan kemaslahatan hidup, baik untuk diri-sendiri, keluarga, maupun masyarakat. ***

Menghidupkan Spirit Ngeblog di Bulan Ramadhan

$
0
0

Sudah hampir enam bulan, blog ini tidak lagi terurus. Mohon maaf kepada sahabat-sahabat blogger dan para pengunjung yang seringkali harus menelan kekecewaan lantaran “suwung” setiap kali berkunjung ke rumah maya ini. Tidak ada lagi tulisan-tulisan terbaru. Juga tak ada lagi respon terhadap berbagai komentar yang masuk. Ya, secara jujur saya harus mengakui bahwa selama hampir enam bulan itu, “adrenalin” ngeblog saya sedang “drop” alias terjun bebas.

RamadhanKetika memasuki Ramadhan 1436 H ini, saya tiba-tiba kembali terusik untuk “menghidupkan” kembali spirit dan semangat ngeblog. “Sejauh-jauh burung terbang, akhirnya kembali juga ke sarangnya”, begitulah kata orang tua kita. Sejauh apa pun saya melangkah dan berlari, toh pada akhirnya saya harus kembali ke “habitat” saya di kompleks blogsphere. Apa pun yang terjadi, ngeblog sudah menjadi bagian dari “kebutuhan” untuk bereksistensi diri. Sungguh akan semakin naif apabila spirit ngeblog yang sudah terbangun sejak 2007 itu terus-terusan terjun bebas dan tiarap, hingga akhirnya terkubur dalam deraan sang waktu.

Ngeblog, dalam pandangan awam saya, merupakan cara paling sederhana bagi seorang blogger untuk berekspresi. Berbagai persoalan hidup bisa ditulis dalam berbagai gaya dan selera. Tak ada sortir dan tak butuh redaktur. Blogger sejatinya juga seorang redaktur bagi karyanya sendiri. Sepanjang tak meniup-niupkan konflik dan perpecahan, apalagi yang sensitif terhadap persoalan SARA, tulisan seorang blogger akan tetap eksis sebagai salah satu kekayaan perpustakaan virtual yang bisa dibaca setiap penunjung, kapan dan di mana pun.

Itulah sebabnya, meski sudah terlalu jauh masa-masa “subur” ngeblog meninggalkan jejak saya, spirit dan semangat ngeblog tak pernah bisa dibunuh dan dimatikan. Selalu saja ada alasan untuk mengekspresikan berbagai suara yang hanya bergaung di gendang nurani kepada publik. Sejauh itu pula, ada banyak persoalan pendidikan, bahasa, sastra, budaya, politik, sosial, dan berbagai thethek-bengek persoalan hidup yang lain yang berjumpalitan dan terekam dalam memori saya. Sungguh, akan sangat menyesal apabila saya terus membiarkan suara-suara itu hanya berserakan dan menggerogoti naluri saya berekspresi.

Itulah pula sebabnya, bertepatan dengan momentum Ramadhan 1436 H ini, saya ingin kembali ke “habitat” kepenulisan saya. Saya masih belum terlalu rela apabila suara-suara nurani yang butuh diekpresikan itu hanya menggelinjang di dinding angan-angan belaka. Nah, selamat menjalankan ibadah puasa yang penuh berkah, mohon maaf lahir dan batin. ***


Soal Klasik tentang Pindah Agama

$
0
0

Pindah agama sesungguhnya merupakan persoalan klasik. Ia (baca: pindah agama) tak semata-mata dipengaruhi oleh faktor lingkungan (keluarga dan faktor kekerabatan, misalnya), tetapi juga spirit religiusitas yang ada dalam diri seseorang. Spirit religiusitas seseorang yang masih “mulur-mungkret” yang dimanifestasikan dalam bentuk perilaku “ambigu” –serba bimbang dan ragu—akan membuka katup keagamaan hingga akhirnya memantabkan keyakinan seseorang untuk menganut agama tertentu. Tak peduli seorang artis atau masyarakat awam. Siapa pun bisa terkena sindroma religius “mulur-mungkret” itu.

Lukman SardiMaka, ketika media sosial “menghebohkan” kepindahan agama Lukman Sardi, aktor yang pernah membintangi K.H. Akhmad Dahlan dalam “Sang Pencerah” itu, bagi saya, merupakan soal klasik. Toh, hanya lantaran faktor popularitas si Lukman Sardi yang membuat persoalan ini mencuat ke permukaan. Toh, sesungguhnya bukan hanya putra Idris Sardi itu saja yang menunjukkan spirit religiusitas “mulur-mungkret” hingga meyakinkannya untuk “bermigrasi” ke agama tertentu. Di sekeliling kita, tidak sedikit orang yang menunjukkan fenomena serupa. Toh, juga tak ada seorang pun yang mempersoalkan. Tuhan pun memberikan pilihan “jalan hidup”, termasuk agama, kepada hamba-Nya. Seandainya separuh penduduk di muka bumi ini ramai-ramai pindah agama; dari Islam ke non-Islam, misalnya, tak sedikit pun mengurangi kebesaran Tuhan.

Agama bukanlah sekadar atribut. Apalagi jargon atau slogan. Untuk menunjukkan keislamannya, misalnya, orang tidak harus pakai sorban lantas berteriak-teriak “Allahu Akbar” sambil membawa pentungan untuk merazia tempat-tempat tertentu yang menjadi wilayah aparat kemananan. Agama merupakan salah satu unsur kesejatian diri seseorang secara personal. Ia sendiri yang kelak akan mempertanggungjawabkan keyakinannya itu. Kalau ada jalan A, B, C, D, E, atau F, membentang di hadapannya, dan seseorang memilih jalan B untuk menuju ke alam terakhirnya, orang lain –bahkan yang sama-sama menempuh jalan B sekalipun—tak bisa melakukan intervensi. Agama merupakan pilihan dan “jalan hidup” yang diyakini kebenarannya berdasarkan spirit religiusitasnya.

Maka, ketika media sosial “menghebohkan” seorang Lukman Sardi yang “bermigrasi” agama, toh pada akhirnya akan senyap dan hening. Tak jauh berbeda ketika kita menyaksikan seorang penumpang kereta di sebuah stasiun yang pindah jalur yang diyakininya lebih aman dan nyaman, lantas kita teriaki dengan berbagai umpatan dan caci-maki. Bukankah kita yang akan capek dan lelah sendiri? Semoga kita tidak termasuk orang yang terkena sindroma religius “mulur-mungkret” yang gampang sekali “bermigrasi” agama, hingga akhirnya memancing banyak orang untuk berteriak, mengumpat, dan mencaci-maki. ***

Tafsir Pragmatik tentang Guyonan Gus Dur

$
0
0

Semasa hidupnya, Kyai Haji Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dikenal sebagai tokoh kharismatik dan inspiratif. Pemikirannya tentang keislaman, keindonesiaan, dan kemanusiaan, telah menginspirasi banyak kalangan untuk mewujudkan sebuah Indonesia yang demokratis, ramah, damai, dan toleran. Meski telah bersemayam di alam keabadian sejak 30 Desember 2009 silam, beliau meninggalkan banyak “warisan” berharga. Tak hanya di kalangan para nahdliyin, tetapi juga buat anak-anak bangsa dalam mewujudkan peradaban yang demokratis, beradab, dan berbudaya. Salah satu “warisan” yang saya anggap cukup menarik disimak adalah joke-joke jenakanya.  Ringan dan segar, sekaligus mengundang banyak tafsir.

Coba simak dua joke segarnya berikut ini!

Humor Gus DurGus Dur coba cari suasana di pesawat RI-01. Kali ini dia mengundang Presiden AS dan Prancis terbang bersama buat keliling dunia. Seperti biasa, setiap presiden selalu ingin memamerkan apa yang menjadi kebanggaan negerinya.

Tidak lama terbang, Presiden Amerika, Clinton mengeluarkan tangannya dan sesaat kemudian dia berkata: “Wah kita sedang berada di atas New York!”

Presiden Indonesia ( Gus Dur): “Lho kok bisa tau sih?”

“Itu, patung Liberty kepegang!”, jawab Clinton dengan bangganya.

Tidak mau kalah, Presiden Prancis Jacques Chirac, ikut menjulurkan tangannya keluar. “Tahu nggak? Kita sedang berada di atas kota Paris!”, katanya dengan sombongnya.

Presiden Indonesia: “Wah, kok bisa tau juga?”

“Itu… menara Eiffel kepegang!”, sahut presiden Prancis tersebut.

Giliran Gus Dur yang menjulurkan tangannya keluar pesawat. “Wah… kita sedang berada di atas Tanah Abang!” teriak Gus Dur.

“Lho kok bisa tau sih?” tanya Clinton dan Chirac heran.

“Ini, jam tangan saya ilang,” jawab Gus Dur kalem.

Apa yang menarik dari joke tersebut? Ya, ya, secara pragmatik, Gus Dur mencoba melakukan komparasi peradaban antara negara maju dan negara berkembang. Ketika negara maju semacam Amerika atau Perancis telah memiliki ikon-ikon kemajuan peradaban yang disimbolisasikan melalui patung Liberty di Amerika atau menara Eiffel di Perancis, Indonesia justru masih direpotkan dengan persoalan kemiskinan dan keterbelakangan yang disimbolisasikan melalui kawasan Tanah Abang yang setiap hari bergelut dengan tindak premanisme, seperti pencopetan, pemalakakan, dan berbagai perilaku vandalistis lainnya. Joke “Ini, jam tangan saya ilang,” ketika pesawat kepresidenan RI melintas di kawasan Tanah Abang, sungguh mengena untuk menggambarkan situasi Indonesia yang masih sarat dengan perilaku kriminal dan kekerasan.

Demikian juga joke berikut!

Ini humor Gus Dur. Ceritanya para presiden dan pemimpin negara berdialog dengan Tuhan.

Presiden AS Ronald Reagen: ” Tuhan, kapan negara kami makmur?” Tuhan menjawab, “20 tahun lagi”. Presiden AS menangis.

Presiden Prancis Sarkozy: “Tuhan, kapan negara Prancis makmur?” Tuhan menjawab, “25 tahun lagi.” Mendengar jawaban Tuhan, Presiden Prancis menangis.

PM Inggris Tony Blair: “Tuhan, kapan negara Inggris bisa makmur?” Tuhan menjawab, “20 tahun lagi.” PM Tony Blair ikut juga menangis.

Presiden Gus Dur: “Tuhan, kapan negara Indonesia bisa makmur?” Tuhan tidak menjawab, gantian Tuhan yang menangis.

Sungguh, secara pragmatik, ini joke cerdas yang tidak hanya sarat sindiran, tetapi juga menohok ulu hati penguasa. Kalau penguasa Amerika, Perancis, dan Inggris menangis karena kemakmuran negerinya baru akan terwujud antara 20-25 tahun, lantas kemakmuran Indonesia? Bukan penguasanya yang menangis, melainkan Tuhan yang menangis. Ini sebuah “parodi”. Sedemikian rumit dan kompleksnya persoalan yang menelikung Indonesia, hingga tak jelas kapan kemakmuran yang adil dan merata bisa terwujud di negeri yang “gemah ripah loh jinawi” ini.

Sungguh, tidak mudah menemukan tokoh sekaliber Gus Dur yang bisa memahami situasi keindonesiaan melalui joke-joke segarnya. Butuh kecerdasan dan kemurnian nurani tersendiri. Tentu masih banyak joke-joke Gus Dur yang membuat kening dan nurani kita berkerutan. ***

Guru sebagai Inovator Pembelajaran atau Peneliti?

$
0
0

Keberadaan Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 16 Tahun 2009 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya digugat oleh PGRI. Melalui Ketua Umum Pengurus Besar-nya, Sulistiyo, kewajiban meneliti dan menulis karya ilmiah melalui publikasi ilmiah dinilai memberatkan. “Apalagi jika guru tidak melakukannya, lalu dia tidak bisa naik pangkat, bahkan tunjangan profesinya terancam tidak diberikan, sungguh kebijakan yang keliru dan menyengsarakan guru,” ujarnya sebagaimana dilansir berbagai media.

revJika guru diwajibkan melakukan penelitian, maka bisa berdampak pada gagalnya pelaksanaan tugas utama guru. Guru dan dosen memang pendidik, tetapi tugas utama guru itu berbeda dengan dosen. Guru, terang Sulistiyo, adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik  pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Ini terdapat dalam Undang-undang tentang Guru dan Dosen Pasal 1 Ayat (1). Sedangkan, dosen adalah pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian. Ini berdasarkan Undang-undang tentang Guru dan Dosen Pasal 1 Ayat 2.

Ditegaskan Sulistiyo bahwa peran guru itu bukan peneliti, bukan juga ilmuwan. Kalau guru harus juga melakukan penelitian dan penulisan karya ilmiah, maka kegiatan itu tidak boleh menjadi kewajiban yang menghambat nasib guru jika dia sudah melaksanakan tugas pokoknya dengan baik (www.republika.co.id).

Ya, ya, argumen yang disampaikan Sulistyo tidaklah berlebihan. Guru yang memiliki tugas utama untuk mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik, jangan sampai terbebani oleh kewajiban tambahan untuk meneliti di luar tugas utamanya.

Nah, tugas guru untuk melakukan penelitian dan penulisan karya ilmiah, sebagai syarat kenaikan pangkat sebagaimana tertuang dalam Permen PAN-RB Nomor 16 Tahun 2009 dianggap sebagai “momok” bagi guru, sehingga guru terancam tidak bisa naik pangkat apabila kewajiban melakukan aktivitas publikasi ilmiah gagal dilaksanakan. Imbasnya, hak guru sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (pasal 14) untuk: (a) memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial; dan (b) mendapatkan promosi dan penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja; gagal terwujud.

PTK sebagai Potret Guru Hebat?
Salah satu bentuk publikasi ilmiah yang wajib dilakukan guru adalah melakukan Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Awalnya PTK memang dimaksudkan untuk merangsang dan memotivasi guru agar melakukan penelitian untuk memperbaiki proses dan hasil pembelajaran di kelas. Namun, seiring dengan perkembangan dari waktu ke waktu, PTK dinilai sudah menyimpang dari kaidah-kaidah keilmuan yang wajib dijunjung tinggi. Proses plagiasi marak terjadi. Tingkat kejujuran guru sebagai peneliti dalam mengolah data pun diragukan integritasnya.

Ironisnya, Penelitian Tindakan Kelas (PTK) hingga saat ini dianggap sebagai satu-satunya instrumen yang mampu memotret guru hebat. Lihat saja dalam event lomba guru berprestasi, PTK selalu dinyatakan sebagai “entry-point” yang mampu mengangkat marwah guru.

Persoalannya, benarkah guru yang melakukan PTK benar-benar mencerminkan sosok guru hebat dan bermarwah tinggi? Kalau mau jujur, PTK yang selama ini “didewakan” sebagai “entry-point” guru hebat, dalam amatan awam saya, lebih banyak menampilkan “penelitian semu” yang berawal dari data penelitian yang rentan dimanipulasi. Dalam proses PTK, bukan hasil penelitian yang harus mengikuti pengolahan data yang sahih dan objektif, melainkan data yang ada diolah dan disesuaikan dengan hasil penelitian yang sudah didesain sebelumnya. Apa pun metode, model, atau media pembelajaran yang diteliti, selalu menunjukkan peningkatan hasil belajar yang signifikans. Sangat jarang, bahkan langka, guru peneliti yang secara jujur memaparkan bahwa metode, model, atau media pembelajaran yang diteliti tidak menunjukkan peningkatan hasil belajar, meskipun data yang dikumpulkan menunjukkan kenyataan sebaliknya.

Bagaimana mungkin dunia pendidikan di negeri ini bisa maju dan berkembang secara dinamis kalau bersumber dari data-data manipulatif dan rentan rekayasa? Bagaimana mungkin pembelajaran di negeri ini bisa ter-orkestrasi secara indah dan mengundang daya tarik peserta didik sebagaimana tergambarkan dalam pembelajaran quantum kalau pada kenyataannya hasil belajar peserta didik “dipaksa” mengikuti desain penelitian semu bernama PTK?

Saya bukan anti-PTK. Beberapa kali pernah menyusun PTK dan salah satunya pernah dibiayai oleh Balitbang Kemdikbud. Bahkan, jika dilakukan secara benar, PTK mampu memicu dan memacu semangat guru untuk meningkatkan kompetensi profesional, pedagogik, sosial, dan kepribadian. Namun, melihat kecenderungan hasil PTK yang sarat dengan rekayasa dan manipulasi belakangan ini, lantas hasil PTK dijadikan sebagai “entry point” untuk menunjukkan sosok guru hebat, sungguh, fenomena ini bisa jadi akan menjadi “racun” dalam dunia pendidikan kita.

Guru sebagai Inovator Pembajaran
Tanpa harus melakukan PTK, secara naluriah, guru sesungguhnya merupakan sosok inovator pembelajaran. Dari berbagai pengalaman yang ditimba selama melakukan proses pembelajaran di kelas, guru dengan sendirinya akan berupaya mencari inovasi dan terobosan baru untuk menginspirasi peserta didiknya menjadi generasi masa depan yang jempolan. Materi-materi pembelajaran yang selama ini sulit dicerna dan dipahami peserta didik, guru akan terus berupaya menemukan pendekatan, strategi, metode, dan teknik dalam sebuah model yang dianggap sebagai pembelajaran terbaik (best-practice) bagi peserta didiknya.

Jika dikaitkan dengan argumen yang disampaikan PB-PGRI, peningkatan profesionalitas guru idealnya perlu ada upaya serius untuk mengembalikan “khittah” guru sebagai inovator pembelajaran yang akan terus bergulat dengan berbagai model pembelajaran yang dibutuhkan peserta didiknya. Pengalaman guru yang dianggap sebagai model pembelajaran terbaik selanjutnya didokumentasikan dan didiseminasikan di kalangan rekan sejawat, sehingga tumbuh semangat untuk saling berbagi dan bercurah pendapat.

Upaya mendokumentasikan pengalaman terbaik guru idealnya juga tidak serumit sistematika dalam PTK; tidak perlu dibatasi dengan siklus yang acapkali membelenggu guru sehingga muncul fenomena rekayasa dan manipulasi data. Dalam laporan inovasi pembelajaran, cukuplah guru menggunakan sistematika yang cukup sederhana, tetapi lebih bisa dipertanggungjawabkan kesahihannya. Yang dilakukan guru benar-benar riil, tidak ada batasan siklus, apalagi indikator penelitian. Yang dipaparkan guru dalam inovasi pembelajaran merupakan pengalaman pembelajaran terbaik dari sekian pengalaman yang pernah dilakukannya. Jika dalam Permen PAN-RB Nomor 16 Tahun 2009 ada ketentuan Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB) tentang Publikasi Ilmiah, laporan inovasi pembelajaran bisa dijadikan sebagai alternatif pengganti PTK bagi guru yang keberatan melakukan PTK yang benar-benar sahih dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Inovasi pembelajaran dalam konteks ini jelas berbeda dengan karya inovatif, seperti: (a) menemukan teknologi tepat guna; (b) menemukan/menciptakan karya seni; (c) membuat/memodifikasi alat pelajaran/peraga/praktikum; dan (d) mengikuti pengembangan penyusunan standar, pedoman, soal dan sejenisnya.

Seiring dengan dinamika dunia pendidikan yang makin rumit dan kompleks, perlu ada upaya serius untuk meningkatkan profesionalitas guru sesuai dengan “khittah”-nya. Selama ini kita sudah cukup risau dengan feneomena ujian nasional yang sarat dengan berbagai kecurangan. Jangan sampai guru yang berdiri diri di garda terdepan dalam peningkatan mutu pendidikan, justru membiasakan dan membudayakan diri sebagai peneliti yang diragukan tingkat kejujurannya dengan merekayasa dan memanipulasi data PTK.

Ini artinya, upaya peningkatan profesionalitas guru menjadi sebuah keniscayaan sejarah. Memberikan ruang bagi guru untuk menjadi inovator pembelajaran ulung jauh lebih terhormat, bermarwah, dan bermartabat ketimbang menggiring mereka menjadi peneliti yang terus bersikutat dengan berbagai data yang rawan dimanipulasi dan direkayasa.

Nah, tetap semangat dan terus berkarya buat bangsa! ***

Enam Purnama Tanpa Jejak

$
0
0

Sudah enam purnama, saya tidak meninggalkan jejak di blog ini. Sejatinya, enam bulan dalam kalkulasi aktivitas di dunia nyata bukanlah waktu yang terbilang lama. Namun, dalam kalkulasi kalender ngeblog, enam purnama tanpa jejak bisa dibilang telah “mati suri”. Betapa tidak, di tengah kencangnya arus informasi pada peradaban digital ini, dalam kurun waktu sepanjang itu, seorang blogger dianggap telah gagal menghimpun kekuatan untuk bisa terus bertahan dalam bereksistensi diri.

revAda apa? Tanpa bermaksud berapologi, ngeblog memang memiliki dinamika tersendiri. “Mulur-mungkret”, begitulah kata orang tua kita. Sebagai aktivitas kedua, ngeblog memang tidak selalu bisa berada di depan secara konsisten. Dulu, ketika aktivitas menulis masih mengandalkan media cetak sebagai media mainstream untuk berekspresi, kreativitas menulis, mesti diakui, justru makin menemukan bentuknya dalam bereksistensi diri. Namun, ketika kejayaan media cetak memasuki situasi senjakala, jejak kepenulisan saya ikut menyurut. Kalau toh ada, tulisan yang tersaji, baik melalui blog maupun sekadar tumpahan unek-unek di jejaring sosial, kualitasnya tak bisa dibandingkan dengan tulisan yang berhasil menembus ketatnya barikade redaksi media cetak.

Tambahan lagi, aktivitas pertama sebagai seorang guru seringkali juga tidak bisa sepenuhnya menyisihkan waktu untuk bisa terus menulis dan menulis. Dalam situasi demikian, jujur saja, saya sangat kagum dengan blogger guru –bukan guru blogger loh ya—yang mampu menjaga “adrenalin”-nya untuk bisa terus ngeblog dan ngeblog. Sungguh!

Sebagai dunia yang penuh dinamika, ngeblog memang tidak dibatasi kurun waktu. Blogger memiliki hak “prerogatif” untuk mengelola aktivitasnya. Sepanjang rumah “maya”-nya masih “hidup”, seorang blogger masih memiliki banyak kemungkinan untuk bisa menjaga semangat dan adrenalinnya dalam ngeblog. Kecuali, kalau memang niat dan minatnya sudah terbang jauh ke dunia lain. Nah, salam kreatif! ***

Membalas Cerita Ombak

$
0
0

MEMBALAS CERITA OMBAK
Ali Syamsudin Arsi

Kata-kata ombak:

( 1 )
“Ya ampun, Odes et Ballades itu karya Victor Hugo. Itu puisi terkenal, Wai! Dia itu putra seorang jenderal yang cukup terkemuka di zaman Napoleon. Oh, ya, antologi puisinya yang lain juga tak kalah hebat, seperti Les Orientalis, Les Voix Interiues, dan Les Rayons et Les Ombers.”

Aku manggut-manggut dengan bosan. “Kurasa kamu tahu, aku dari dulu tidak suka sejarah.”

“Ini bukan sejarah, ini ilmu sastra, Wai, sastra!” protes Lian. Mulutnya memberengut. Sejenak kemudian, wajahnya menatapku serius. Dia menepuk judatnya dengan keras. “Jangan bilang kamu juga tidak kenal Sir Walter Scott, atau lebih parah lagi, kamu tidak tahu Joseph Kipling itu siapa!”

….

“Coba kamu tanyakan tentang puisi karya Gaseline Ahmad, Iberamsyah Baihaqi, Amadita Fulkani atau Rindu Ara Lesmana, ya … pasti aku tahu.”

// Sepucuk Surat dari Temanku; Aulia Fitri, halaman 3.

Salam gumam asa, nukilan dari buku “Sepucuk Surat dari Temanku”

editor: Andi Jamaluddin Ar Ak

( 2 )
“Ayu,” ucap Putri lembut, “Kalau hanya berlatih sesering-seringnya tidaklah cukup. Latihanmu harus diselingi dengan membaca karya-karya sastra juga.”

rev“Karena kita masih dalam tahap berkembang,” jawab Putri, “Kita perlu belajar dari orang lain dengan cara membaca karya-karya mereka. Karya-karya sastra dari orang-orang yang sudah berpengalaman bisa jadi sumber inspirasi kita, lho. Jadi menurutku, kalau cuma belajar sendiri belum tentu cukup.”

“Maksudmu seperti kita membaca karya-karya orang lain dan meniru mereka?”

“Wah, bukan!” Putri mengeluarkan pekikan. “Itu terlarang! Tidak boleh! Maksudku adalah, kita harusnya mencontoh dari orang-orang profesiaonal lewat karya-karya mereka. Menurutmu apa kita bisa belajar membuat puisi tanpa melihat puisi.”

            // Alasan Sebenarnya; Dinzha Fairrana Atsir, halaman 18-19.

Salam gumam asa, nukilan dari buku “Sepucuk Surat dari Temanku”
editor Andi Jamaluddin Ar Ak

( 3 )
Tapi Lana menggelengkan kepalanya.

“Aku harus mendapatkan ikan yang banyak hari ini, Bu,” ucapnya lembut.

Ibunya mencoba membujuknya, tapi entah kenapa Lana tetap bersikeras untuk pergi melaut hari itu. Dan Pak Udin menuruti kemauan anaknya dengan hati yang berat.

// Nyanyian Anak Nelayan; Eka Ayunita, halaman 26.
Salam gumam asa, nukilan dari buku “Sepucuk Surat dari Temanku”

editor Andi Jamaluddin Ar Ak

( 4 )
Hamzah menyesal tak mengetahui ini dari dulu. Andaikan dia mengetahuinya dari dahulu, dia akan setia melindungi dan menjadi sahabatnya. Dan tentulah dia akan berguru kepadanya yaitu Maryam.

“Gadis gagu itu …, kenapa dia menyembunyikan dirinya? Dan kenapa hari ini dia tidak mengirimkan puisinya?” Hamzah heran.

“Akh, besok Maryam harus menceritakan semuanya kepadaku,” kata Hamzah dalam hati yang tak sabaran ingin bertemu Maryam.

            // Kutemukan dalam Cerita; Fathul Jannah, halaman 37.

Salam gumam asa, nukilan dari buku “Sepucuk Surat dari Temanku”
editor Andi Jamaluddin Ar Ak

( 5 )
Dari kejuhan terlihat Buku Kunci Hitam melayang dan berkata, “Mereka anak-anak yang beruntung, Cerdas dan pantang menyerah. Akan kutulis kisah ini di dalam bukuku  untuk membuktikan kepada generasi yang akan datang bahwa buku adalah jalan menuju kesuksesan.”

            // Kunci Hitam; Firdha Assyfa, halaman 52.
Salam gumam asa, nukilan dari buku “Sepucuk Surat dari Temanku”
editor Andi Jamaluddin Ar Ak

( 6 )
10 tahun kemudian.

Seorang pria turun dari mobilnya. Ia membuka bagasi mobil dan menurunkan sebuah kardus yang penuh berisi buku.

….

“Oh, saya hanya ingin menyumbangkan beberapa buku koleksi saya,” jawab pria tersebut.

Guru itu pun menghampiri pria tersebut dan menatapnya lekat-lekat. Lalu beliau membuka kardus yang dibawa pria tadi. Ia pun tersenyum melihat beberapa novel yang melampirkan nama penulis yang tak asing lagi baginya, M. Ardhi Faddakiri.

            // Sebuah Proses; Jihan Nadiah, halaman 62-63.

Salam gumam asa, nukilan dari buku “Sepucuk Surat dari Temanku”
editor Andi Jamaluddin Ar Ak

( 7 )
Menjadi nelayan adalah pekerjaan turun-temurun dari keluarganya. Ayah Rio saat muda sudah menangkap ikan dan diturunkan kepada Rio, maka dari itu Rio tidak asing lagi dengan hal tersebut. Semenjak hari itu, keseharian Rio adalah bekerja untuk mencari biaya pengobatan Bapak.

            // Ayahku Seorang Nelayan; Kharisma Anjar Siska, halaman 75.

Salam gumam asa, nukilan dari buku “Sepucuk Surat dari Temanku”
editor Andi Jamaluddin Ar Ak

( 8 )
“Berita itu sangat cepat dan mudah tersebar,” kata Lan dalam hati sembari mengingat kelompok-kelompok siswa berjumlah lima yang menggerombol di depan perpustakaan. “Bagaimana bisa? Berita itu?” tanyanya lagi dengan setengah berbisik pada dirinya sendiri sembari merangkai langkah pulang dari sekolah.

Sunyi, senyap dan hening. Itulah ungkapan dari diamnya semua hal yang ada di rumah, kecuali suara hujan yang volumenya telah mengecil. Lan mengambil kursi dan memposisikan dirinya untuk duduk di depan jendela yang terbuka, renungan pun dimulainya.

// Alasan Sebenarnya; Ningrum Zahrohtul Janah, halaman 80 dan 81.
Salam gumam asa, nukilan dari buku “Sepucuk Surat dari Temanku”
editor Andi Jamaluddin Ar Ak

( 9 )
“Setiap manusia itu berhak mempunyai impian, berhak mewujudkannya. Berusahalah dan berdoalah, setiap ada kemauan, keberhasilan pasti mengiringi langkahmu. Apabila awal dari langkahmu gagal, itu wajar. Karena Tuhan ingin menilai seberapa mampu kamu mempertahankan impianmu itu dan Tuhan selalu merencanakan yang terbaik dari segala hal yang baik.”

            // Secercah Impian Nyata Sang Idola; Sarah Abdaliah, halaman 95.
Salam gumam asa, nukilan dari buku “Sepucuk Surat dari Temanku”
editor Andi Jamaluddin Ar Ak

( 10 )
Aku tersentak ketika peringatan waktu istirahat akan segera berakhir terdengar dari pengeras suara sekolah. Peringatan yang kemudian memecah keheningan di perpustakaan. Aku memang selalu merasa kekurangan waktu jika sudah menikmati bacaan di perpustakaan. Seperti biasa, aku lebih suka menghabiskan waktu istirahat di perpustakaan.

            // Perpustakaanku Sayang; Sumarni, halaman 90.
Salam gumam asa, nukilan dari buku “Sepucuk Surat dari Temanku”
editor Andi Jamaluddin Ar Ak

( 11 )
Hari-hariku selanjutnya kuisi dengan menambah pengetahuanku tentang karya sastra.

// Sastra dalam Nadi; Risna Ningsih, halaman 107.
Salam gumam asa, nukilan dari buku “Sepucuk Surat dari Temanku”
editor Andi Jamaluddin Ar Ak

Harapan-harapan Ombak
Ali Syamsudin Arsi

Sebaiknya saya tidak terlalu masuk kepada persoalan teknis bagaimana menulis yang baik dan ini dan itu, tetapi saya ingin lebih kepada bagaimana melihat potensi dan sumber daya dari para penulis buku ini sebagai aset yang selayaknya diperhatikan sejak dini dan tentu akan menjadi bagian dari ruang gerak pembangunan di daerah ini, khususnya bagi seluruh kawasan Kabupaten Tanah Bumbu.

Tentu saja mereka akan terus berproses sejalan guliran waktu bila bicara tentang teknis menulis yang baik, dan itu wajib mereka lakukan, masih banyak hal yang harus dilakukan dan biarlah itu berjalan karena kita yakin mereka selalu belajar untuk menjadi lebih baik.

Kata-kata ombak dari mereka sebagai rangkaian susun kata menjadi kalimat dan susun kalimat menjadi paragraf kemudian susun paragraf menjadi wacana-wacana sudah menunjukkan bahwa mereka peduli kepada sekitarnya, itu berarti mereka sangat mengetahui dan selalu memperhatikan maju mundurnya pertumbuhan juga perkembangan di sekitar mereka tinggal.

Ada banyak hal yang layak dan memang semestinya mereka dapatkan dengan kemampuan beberapa instansi terkait atas prestasi yang mereka raih dalam proses kepenulisan ini dan ketika itu dikumpulkan kemudian diterbitkan menjadi sebuah buku maka tentu tidak hanya berhenti sampai di sana saja, apakah setelah itu semua dianggap selesai, tentu jawabnya tidak begitu seharusnya. Lantas, bagaimana.

Potensi mereka tentu saja perlu wadah yang lebih khusus dan menjadi orang-orang istimewa karena dari kemampuan mereka serangkaian agenda sebanyak mungkin acara dapat mengikutinya.

Beberapa misal:
Pernahkah mengajak mereka berkunjung ke perpustakaan kemudian mereka tahu semua aktifitas sebuah perpustakaan. Adakah layanan khusus dengan penjelasan-penjelasan terbaik yang diberikan kepada mereka ketika mereka nanti sudah berada di sebuah perpustakaan, tentu saja petugas perpustakaan sangat memahami apa yang seharusnya dilakukan dan menerima mereka dengan penuh suka dan polesan senyum keramahan.

Imbal baliknya adalah mereka diminta untuk menghasilkan tulisan atas pengalaman selama berada di perpustakaan bahkan bila memungkinkan mengadakan agenda ‘magang’ beberapa hari di perpustakaan.

Adakah agenda serius dari Dinas Pendidikan yang memperjalankan mereka dari satu sekolah ke sekolah lain sebagai bentuk sosialisasi tentang prestasi yang mereka raih baik satu kelompok besar maupun dibagi dalam kelompok-kelompok kecil lalu masuk ke dalam kelas dan berbincang banyak tentang kepenulisan yang mereka lakukan.

Imbal baliknya tentu saja ada kewajiban untuk menuliskan laporan perjalanan atau kesan-kesan mereka dan dalam jenis puisi pun tidaklah mengecewakan. Apalagi selain cerita pendek mereka tentu juga mampu menjelajah dalam jenis puisi.

Pernahkah seorang Bupati dengan jajarannya memperhatikan mereka lalu mengundang masuk ke ruang kerja untuk berbincang banyak bagi mimpi-mimpi dan harapan yang akan diwujudkan pada setiap program pembangunan di seluruh Tanah Bumbu ini. Biarkan mereka merekam dan membuka daya imajinasinya masing-masing, yang jelas sebuah perlakuan positif untuk perkembangan jauh ke depan. Bagaimana pun mereka adalah orang-orang istimewa yang akan turut berupaya membuka cara berpikir dan berlaku atas zaman yang nanti diembannya masing-masing. Layak dan wajar kepada mereka untuk mendapatkan beasiswa atas upaya dan capaian ini juga untuk selanjutnya.

Imbal baliknya serahkan kepada mereka karena pada memori mereka sudah secara otomatis bekerja apa yang semestinya mereka lakukan.

Tersediakah ruang khusus bagi mereka ketika ada perayaan rutin di daerah ini yang bernama pesta pantai itu, atau banyak dari kita cuek saja dan tidak pernah memperhatikan bahwa dari sebuah tulisan apalagi dari banyak tulisan akan semakin mencerdaskan banyak orang dan dari proses cerdas itu maka perkembangan daerah ini akan semakin jauh melejit melewati batas-batas yang biasa karena dari tulisan itu akan hadir ide-ide dan gagasan-gagasan yang luar biasa.

Mari kita simak dan resapkan kata-kata ombak dari cerita-cerita yang telah mereka buat di atas.

Mari kita balas cerita-cerita ombak mereka dengan keterbukaan ruang-ruang atas masa depan mereka yang lebih baik, karena masa depan mereka adalah juga masa depan seluruh kepentingan warga daerah mereka tinggal.

Mari sebarkan tulisan mereka dalam bentuk apapun ke seluruh penjuru daerah kita karena biasnya adalah pencerdasan sesuai bahasa mereka.

Mari kita susun agenda sebagai mata rantai yang tak putus sampai di sini sebab ini belum selesai.

Apakah kita benar-benar peduli kepada dunia kepustakaan dan terlebih dunia penulisan. Karena kita peduli maka agenda lomba tentu akan diiringi dengan mata rantai agenda lain agar kepedulian kita menjadi maksimal.

Salam gumam asa
Banjarbaru, 23 September 2015.

—————————-
Kertas kerja ini disampaikan pada acara bedah buku untuk memasuki ruang motivasi kepada para penulis dalam buku kumpulan sebelas cerpen “Sepucuk Surat dari Temanku” (kumpulan cerpen hasil lomba mengarang cerpen tingkat sekolah lanjutan pertama dan sekolah lanjutan atas/ sederajat se-Kabupaten Tanah Bumbu tahun 2015, oleh Perpustakaan, Arsip dan Dokumentasi Daerah Kabupaten Tanah Bumbu), diskusi terbuka pada hari Selasa, tanggal 29 September 2015 di Aula SKB (Sanggar Kegiatan Belajar) Pagatan, Kec. Kusan Hilir, Kab. Tanah Bumbu, Prov. Kalimantan Selatan; Editor buku : Andi Jamaluddin Ar Ak.

Penerbitan Antologi Puisi: Memo Anti-Terorisme!

$
0
0

(Beberapa waktu yang lalu, saya mendapatkan forwad surat elektronik dari Bang Asa(Ali Syamsudin Arsy). Namun, baru kali ini saya sempat mengunggahnya dalam sebuah postingan. Ya, sebuah gagasan mencerahkan dari penyair Sosiawan Leak yang mengajak pencinta sastra untuk berkarya kreatif dalam sebuah puisi untuk selanjutnya diantologikan ke dalam sebuah buku. Berikut tulisan selengkapnya.)

Gagasan:

revMeski masih terus mengalami perkembangan serta belum ada definisi baku namun jika dirunut secara kebahasaan kata “terorisme” di antaranya merujuk pada terrere (bahasa latin) yang berarti menimbulkan rasa gemetar dan cemas. Dalam khasanah bahasa Inggris dikenal pula istilah to terrorize (menakuti-nakuti) yang diturunkan menjadi kata terrorist (pelaku teror), terrorism (membuat ketakutan atau membuat gentar), serta terror (ketakutan atau kecemasan). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia secara singkat terorisme diartikan sebagai penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai tujuan (terutama tujuan politik). Dari pengertian sederhana tersebut tampak bahwa pada dasarnya aktivitas terorisme selalu terkait dengan unsur-unsur kekerasan (oleh pelaku) hingga menyebabkan ketakutan (bagi korban) dalam rangka mencapai tujuan (tertentu).

Menimbang sistem kehidupan bersama komunitas masyarakat, negara, bangsa, dan dunia, terorisme merupakan tindakan yang menyempal dari aturan. Sebab sejatinya setiap komunitas yang bergabung dalam tata kelola kehidupan bersama telah melewati proses memahami, menerima hingga menyepakati norma yang berlaku. Maka jika kemudian terjadi kekerasan yang mengatasnamakan komunitas tertentu, hal tersebut tidak langsung bisa menjadi indikasi bahwa tujuan komunitas tersebut tidak terwakili atau gagal tercapai. Sebab selain unsur-unsur di atas, terorisme juga sering diawali dengan klaim-klaim khusus yang acap bersifat subyektif (berlaku hanya bagi komunitas pelaku teror).

Belakangan problem paling krusial dari terorisme bukanlah soal tujuan (tertentu) itu. Bagi sebagian besar masyarakat, klaim (manipulatif) sepihak yang kerap meledak menjadi kekerasan membabi buta, faktanya sudah diamini sebagai tindakan tak beradab yang mengkhianati norma hidup bersama. Apalagi lewat jalan kelicikan dan kepengecutan terorisme kerap menyasar kepada benda, barang, dan tempat (fasilitas publik) yang tak terkait langsung dengan kepentingan mereka. Terbukti terorisme biasa bertindak setengah hati; tidak benar-benar berniat menghancurkan dan meluluhlantakkan benda, barang, dan tempat yang mereka targetkan. Terorisme hanya menjadikan semua itu sebatas untuk mengirim sinyal kepada pihak yang menghalangi cita-cita mereka. Demikian pula orang-orang yang menjadi korban (kebanyakan dari kalangan warga biasa) kerapkali tak ada hubungan atau tidak memiliki akses signifikan dengan pihak yang menjadi rival utama terorisme.

Kelicikan dan kepengecutan itu dilakukan lantaran terorisme tak pernah mampu menikam langsung jantung lawannya. Mereka tak pernah punya daya untuk menyerang inti kehidupan pihak utama yang disasarnya. Berhadap-hadapan muka dengan yang mereka anggap sebagai musuh sejatinya pun mereka gentar. Itulah kenapa terorisme butuh sasaran ‘antara’ yang empuk lantas menumbuk kelemahan si sasaran (fasilitas publik dan warga biasa) dengan cara menebar kecemasan dan ketakutan massal bersandar kepada kedigdayaan senjata, kekuatan fisik, dan keberanian semu sang pelaku.

Mencermati kondisi semacam itu penyair bersama warga masyarakat yang rentan menjadi sasaran ‘antara’ tidak boleh tinggal diam. Mereka harus mampu merubah posisi dari hanya pasrah sebagai obyek (alat pengirim pesan) terorisme, menjadi kekuatan yang berani bersikap, tegas menolak, serta lebih berdaya di hadapan terorisme. Di samping aktif melacak jejak klaim-klaim subyektf lantas mengkonternya dengan gagasan bernilai argumentatif dan berkekuatan analitis, penyair juga mesti kian gencar menyuarakan nilai-nilai unggul kemanusiaan dengan jujur serta tanpa kekerasan lewat ekspresi estetis yang senapas dengan kebudayaan dan peradaban jaman.

Jika terorisme adalah puncak dari aksi kekerasan, maka puisi harus menjadi dasar dari kelembutan dan akal budi yang tak memberi kesempatan kepada kekerasan itu lahir apalagi mendaki hingga ke puncak kehidupan tertinggi. Jika teroris adalah penebar kedengkian dan kebencian lewat rupa ketakutan dan kecemasan, maka penyair adalah penyebar cinta dan kasih sayang dengan wajah nurani yang hakiki.

Teknis:
1)   Penerbitan Antologi Puisi “MEMO ANTI TERORISME!” bersifat independen, nirlaba, serta berdasar kemandirian individu yang menjunjung tinggi kebersamaan.

2) Penerbitan ini merupakan kelanjutan dari program penerbitan antologi puisi sebelumnya yang selama ini dilakukan oleh Komunitas Memo Penyair; merangkum dan mengakomodir puisi karya para penyair dan masyarakat umum dari seluruh Indonesia dengan beragam latar belakang, strata, etnis, usia, dan gaya penulisan.

3) Puisi merupakan karya asli, bertema “ANTI TERORISME” yang merupakan representasi atau tafsir dari gagasan di atas.

4) Untuk menjaga kesesuaian tematik dan kualitas puitik agar penerbitan ini proporsional sebagai buku sastra, akan dilakukan seleksi obyektif atas puisi yang masuk oleh Sosiawan Leak (Koordinator Memo Penyair).

5)   Biaya percetakan/penerbitan akan didukung bersama-sama oleh para penyair yang karyanya lolos seleksi dan dimuat dalam antologi.

6) Selain mengirim karya, pada tahap selanjutnya (usai seleksi) penyair yang karyanya lolos dimohon mengirim iuran ongkos cetak/penerbitan minimal Rp 100.000.

7)   Iuran tersebut akan dikembalikan kepada para penyair dalam wujud Buku Antologi Puisi “MEMO ANTI TERORISME!” yang jumlahnya sebanding dengan nominal iuran.

8) Seluruh proses mulai dari pengumpulan naskah, seleksi, administrasi, dan tahapan penerbitan akan diinformasikan secara transparan lewat Facebook MEMO PENYAIR, dan Facebook Sosiawan Leak.

9) Kesediaan berpartisipasi dan mengirim puisi ditunggu hingga tanggal 29 Pebruari 2016.

10) Pengumuman seleksi karya akan diinformasikan secara terbuka tanggal 15 Maret 2016.

11) Dipersilahkan mengirim lebih dari 1 puisi (disertai biodata 10 baris, foto diri, alamat detil, email, facebook, dan nomor hp) ke email: sosiawan.leak@yahoo.com atau inbox Facebook: Sosiawan Leak.

Sosiawan Leak (Koordinator Penerbitan)

Balutan “Luka” di Balik Perayaan Laut

$
0
0

Sebuah Catatan Pendek atas Kumpulan Puisi Setia Naka Andrian *)
Oleh: Sawali Tuhusetya

Sebagai sebuah produk budaya, teks sastra tak pernah terlahir dalam situasi kosong. Ia berkelindan dengan berbagai persoalan dan dinamika sosial yang terjadi di seputar kehidupan sang sastrawan. Tidak berlebihan apabila teks sastra tak pernah diam; ia terus menyuarakan luka, derita, bahkan juga kegelisahan sang sastrawan. Teks sastra, dalam konteks demikian, bisa dijadikan sebagai medium sang sastrawan dalam menyuarakan kegelisahan, luka, dan derita yang mengendap dalam ruang batinnya.

revDemikian juga halnya dengan teks puisi. Sebagai genre sastra, teks puisi juga tak pernah hadir dalam situasi kosong. Ia senantiasa mengusung berbagai persoalan yang berkelindan dalam diri personal sang penyair (jagat cilik) dan berbagai dinamika sosial yang terjadi di seputar kehidupan sang penyair (jagat gedhe). Melalui kepekaan intuitifnya, sang penyair senantiasa terlibat dalam pergulatan kreatif untuk menyuarakan kegelisahan yang mengerak dalam gendang nuraninya. Melalui bahasa sebagai medium utama dalam berekspresi, sang penyair melakukan transpirasi total kepenyairan sesuai dengan gaya tutur dan licentia poetica yang dimilikinya. Dalam proses pergulatan kreatif yang semacam itu lahirlah berbagai genre puisi dengan corak khasnya masing-masing.

revPuisi-puisi karya Setia Naka Andrian (SNA) yang terkumpul dalam Perayaan Laut (PL) pun –dalam penafsiran awam saya– tak luput dari pergulatan yang semacam itu. SNA dengan amat sadar memilih puisi sebagai teks yang dianggap tepat untuk memberikan “kesaksian” dan menyuarakan kegelisahan yang mengendap dalam ruang batinnya. Kepiawaian dalam merawi kosakata, idiom, atau langgam bahasa agaknya dimanfaatkan benar untuk mengekspresikan berbagai persoalan yang bernaung di bawah jagat cilik dan jagat gedhe yang membayang dalam gendang nuraninya. Tak berlebihan kalau sejumlah puisi yang terantologikan dalam PL menyiratkan berbagai persoalan personal dan sosial yang menggelisahkan nuraninya; semacam cinta, idealisme, religi, atau hajat kehidupan yang yang lain.

Tema yang didedahkan dalam setiap puisinya pun tidak terjebak dalam narasi-narasi besar yang berambisi kuat untuk melakukan sebuah perubahan. SNA lebih suka mengakrabi persolan-persoalan keseharian yang seringkali luput dari perhatian banyak orang. SNA agaknya sangat menikmati betul ketika sedang berproses kreatif. Tema-tema keseharian yang diangkatnya justru mampu menumbuhkan imaji-imaji “liar” dan mencengangkan. Ibarat orang mau memetik mangga, ia tidak langsung melemparnya dengan batu, tetapi ia panjat dengan penuh kenikmatan sambil merapal mantra-mantra suci yang dianggap mampu menjadi sugesti untuk mendapatkan buah mangga yang diinginkannya. Dalam proses semacam inilah, SNA menemukan berbagai imaji dari “dunia lain” yang dianggap “liar” dan “mencengangkan”.
***

Jika ditilik dari muatan isi, 74 puisi yang terkumpul dalam anotologi PL sesungguhnya merupakan kisah tali-temali antara jagat cilik dan jagat gedhe yang yang bernaung-turba dalam kehidupan SNA. Sebagai sosok anak manusia yang secara biologis memiliki naluri sebagaimana makhluk Tuhan yang lain, SNA tak luput dari kisah pergulatan dengan masa depan yang “disembunyikan”, percintaannya dengan lawan jenis (fa?), aktivitasnya sebagai awak Teater Gema, hubungan kekerabatan dengan sanak-saudara, atau berbagai respon dan “kesaksian”-nya terhadap berbagai fenomena sosial yang mencuat ke permukaan.

Melalui kelincahannya dalam bertutur dengan permainan metafora yang secara estetik membuka ruang multitafsir, “keliaran” imaji yang mencengangkan tampak melalui dekonstruksi logika yang secara diametral sangat kontradiktif dengan logika awam. Simak saja: //Para masa depan terlihat lelah yang berjamaah/para masa depan mengantuk/lalu kita giring mereka pulang ke rumah/Kita ajak para masa depan untuk minum susu/kemudian mengajak mereka bergegas ke kamar mandi// (“Masa Depan yang Kelelahan”: 93); //kau pasti akan selalu gemetar/setiap mendengar kabar dari rumah/setiap pagi, ponselmu berkeringat/tak segan memukul mata dan telingamu// (“Perempuan Rantau”: 82); //Hari-hari telah sepakat/menjatuhkan bibir kita di laut/agar ikan-ikan semakin gemar/menidurkan petaka kita/dan membunuhnya pelan-pelan/dengan penuh ciuman// (“Perayaan Laut”: 72); //Hujan, maukah kau menjadi temanku/pagi ini sungai terlanjur menggantung dirinya/di atap kamar// (“Hujan, Maukah Kau Jadi Temanku”: 64).

Sebagai pemilik “kemerdekaan berekspresi”, tentu sah-sah saja SNA melakukan proses dekonstruksi logika untuk menciptakan metafora dalam menggarap persoalan yang dipuisikannya. Ia tidak harus mengikuti arus metafora “mainstream” yang sering didaur-ulang untuk menciptakan kekuatan dan daya estetik. Persoalan apakah puisinya bisa dipahami orang lain atau tidak, itu soal lain. “Pulchrum dicitur id apprensio”, begitulah kata filsuf skolastik, Thomas Aquinas. Adagium yang berarti “keindahan bila ditangkap menyenangkan” itu menyiratkan makna bahwa keindahan menjadi mustahil menyenangkan tanpa media sosialiasi. Begitulah, pergulatan kreatif SNA sudah tertunaikan ketika ia berhasil merawinya ke dalam sebuah teks puisi.

Yang tidak kalah menarik, selalu saja ada balutan “luka” yang membayang dalam sebagian besar puisi SNA. Simak saja pada puisi bertitel “Bidadari Tidur dalam Kitab Suci” (:11), “Beberapa Nama yang Sering Muncul di Ponselmu” (:25), “Untuk Pernikahan yang Tak Sebatas Ciuman” (:27), “Kaki dan Kenangan Kita yang Terpisah-pisah” (:29), “Dari Perempuan Elegan hingga Perempuan Es Degan” (:34), “Kita Lahir dari Musim yang Bersebelahan” (:36), “Takdir yang Mempertemukan Kita” (:38), “Seorang Pemuda di Hati Kita” (:43), “Ada yang Tenggelam di Balik Rel Kereta” (:44), “Perihal Sandiwara” (:47), “Munajat Air Mata” (:52), “Tabrakan” (:55), “Seorang Luka” (:57), “Perempuan Berhati Kaca” (:58), “Rindu” (:61), “Lampu Merah” (:62), “Kehidupan Aneh di Balik Jendela” (:63), “Hujan, Maukah Kau Jadi Temanku” (:64), “Negeri Berhidung Panjang” (:66), “Perayaan Laut” (:72), “Perempuan yang Ingin Menjadi Kereta” (:75), atau “Kematian Hari-hari yang Menjadi Kamarmu” (:80).

Meski bertutur tentang “luka”, puisi-puisi tersebut tidak lantas terjebak dalam ungkapan-ungkapan vulgar yang sarat dengan sumpah serapah. Melalui permainan metaforanya, “luka” dibalut dalam kemasan bahasa tutur yang subtil dan lembut. //kau terus membayangi perjalananku/yang semakin subuh mendoakan cinta-cinta/kepada para tetangga yang sedang asyik menyeruput malapetaka dalam rahim istrinya// (:25), //dan orang-orang di sekitar kita/akan membaca hikayat kematiannya masing-masing/yang selalu bermula-mula/karena kesepakatan kita/adalah doa pertanggungjawaban lupa// (:27), //Begitulah takdir, mempertemukan kita/dari perjalanan dan pengkhianatan-pengkhianatan/Ia yang membawa kita menelusuri jejak dan luka-luka// (:38), atau //hendak kau kirim ke mana lagi/air matamu/lihatlah, sungai tiba-tiba dangkal/kesedihan meriwayatkan senyumnya/sebab keridaan tlah tak berpenghuni,/mereka bunuh diri/menggantung kakinya/setinggi-tinggi di atas kepala// (:52).

“Luka” dalam PL agaknya bukanlah fokus dan basis utama SNA dalam berproses kreatif. “Luka” lahir sebagai bagian dari “digresi” pemaknaan arus hidup yang mustahil dihindarinya ketika luka-luka peradaban masih menganga di tengah panggung kehidupan sosial. SNA hanya sekadar mewartakan dan memberikan kesaksian tentang “luka” yang memfosil dalam ceruk kehidupan umat manusia yang belum sepenuhnya terpotong oleh sejarah. Balutan “luka” dalam konteks PL juga bisa dimaknai sebagai pengejawantahan totalitas sikap SNA yang ingin tetap “setia” pada jalur kepenyairan yang “khas” menjadi miliknya; bertutur tentang persoalan apa pun, metafora tetap menjadi bagian esensial dalam sebuah teks puisi. Dengan kata lain, esensi puisi sebagai teks sastra akan kehilangan “roh”-nya apabila menanggalkan bahasa sebagai medium utama dalam membangun kekuatan dan daya estetika.
***

Sebagai sebuah catatan pendek, tulisan ini mustahil dapat menampilkan telaah secara utuh dan lengkap terhadap puisi-puisi SNA dalam PL. Masih banyak aspek dan unsur yang terabaikan. Menelaah puisi SNA membutuhkan kecermatan interteks secara intens. Saya berharap catatan pendek ini bisa dilengkapi melalui diskusi bersama.

Nah, selamat berdiskusi! ***

—————————————————–
*)   Disajikan dalam “Bedah Buku Puisi Perayaan Laut Karya Setia Naka Andrian” pada Selasa, 17 Mei 2016 (pukul 19.00-selesai) di Kedai Kopi Jakerham, Sekopek, Kaliwungu” yang digelar oleh Pelataran Sastra Kaliwungu (PSK)


“Kesaksian Literer” di Balik Kisah-Kisah Kemanusiaan

$
0
0

Pengantar Kumpulan Cerpen Ba karya Riyono Pratikto
Oleh: Sawali Tuhusetya

Karya-karya Riyono Pratikto (RP), khususnya cerita pendek (cerpen) yang lahir pada  sekitar tahun 1950-an, agaknya belum semua terpublikasikan. Situasi politik Orde Baru yang cenderung represif terhadap kreativitas sastrawan yang dinilai tidak sehaluan politik dengan penguasa setidaknya ikut berpengaruh terhadap publikasi karya-karya sastrawan, termasuk RP. Padahal, cerpen-cerpennya memancarkan pesona kemanusiaan yang tidak kehilangan daya pikat meskipun zaman terus berubah. Cerpen-cerpennya membumi. Hampir tak pernah ditemukan cerpen-cerpen karya sastrawan kelahiran Ambarawa, Jawa Tengah, 27 Agustus 1932 ini yang berbicara tentang narasi dan persoalan besar yang rumit dan kompleks.

revDalam situasi semacam itu, upaya untuk mendokumentasikan dan memublikasikan karya-karya sastrawan yang meninggal 30 Oktober 2005 ini menjadi penting dan relevan untuk memperkaya khazanah sastra Indonesia mutakhir. Penting dan relevan bukan sekadar untuk menunjukkan bukti bahwa negeri ini memiliki sosok sastrawan yang rendah hati dan konsisten, meskipun tekanan politik rezim Orde Baru nyata-nyata telah menyingkirkannya dari panggung kesusastraan Indonesia mutakhir. Juga bukan sekadar latah untuk mengenang romantika kreativitas seorang RP pada masa suburnya dalam berkarya, melainkan lantaran dari sisi literer karya-karyanya memang sangat layak untuk diapresiasi para pencinta, pemerhati, dan pengamat sastra.

Ditilik dari kisah-kisah yang diangkat ke dalam cerpen-cerpennya, RP bisa digolongkan sebagai sosok sastrawan yang sangat dekat dengan rakyat kecil dalam arti yang sesungguhnya. Nasib “wong cilik” tidak semata-mata dijadikan sebagai objek, tetapi dijadikan sebagai subjek penggarapan cerita yang disentuh dengan naluri kemanusiawian yang mengharukan. Cerpen-cerpennya mengalir hawa kemanusiaan yang cukup kuat. Setiap peristiwa keseharian yang dijadikan tema cerpen-cerpennya direnungkan secara sublimatif, dibedah, dan diolah dengan menggunakan bahasa sederhana, tetapi indah. Ada pesan-pesan moral kemanusiaan yang senantiasa terpancar dalam setiap cerita, tetapi jauh dari kesan menggurui.

Yang menarik, hampir setiap cerpen senantiasa mengandung suspense; serba tak terduga, dan seringkali membuat kening pembaca berkerutan. Ada bumbu mistis, angker, dan menyeramkan. Bisa jadi, bumbu-bumbu semacam itu merupakan gambaran terhadap realitas tradisi hidup masyarakat tahun 1950-an –ketika cerpen-cerpen tersebut dibuat– yang masih kental dengan nuansa takhayul dan klenik. Membaca cerpen-cerpen RP mengingatkan kata akan gambaran realitas masyarakat pasca-revolusi fisik yang serba “anomie”. Secara lahiriah, masyarakat sudah mulai terbebas dari kungkungan penjajah, tetapi secara batiniah masih terikat pada nilai-nilai tradisional yang masih sangat kuat mengakar di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Kondisi masyarakat “anomie” semacam itu setidaknya menjadi ilham tersendiri bagi RP untuk memberikan semacam “kesaksian literer” melalui teks-teks cerpen yang lahir dari tangannya. Sebagai sastrawan yang selalu bergelut dengan dunia imajiner, realitas-realitas sosial yang terjadi di tengah-tengah masyarakat agaknya menjadi “kegelisahan” tersendiri bagi RP untuk berproses kreatif.
***

Sebagai sastrawan yang memilih genre cerpen sebagai media kreatifnya, tentu saja sah-sah saja RP menggarap cerpen-cerpennya dengan nuansa kisah semacam itu. Setiap pengarang memiliki kepekaan dalam menangkap setiap geliat peristiwa di sekitarnya. Setiap peristiwa tentu saja tidak hanya akan berhenti sebagai sebuah peristiwa sebagaimana layaknya sebuah berita yang ditulis seorang jurnalis. Justru di sinilah kepekaan dan kreativitas seorang pengarang diuji. Kepekaan intuitif dan “keliaran” imajinasi menjadi sebuah pergulatan kreativitas tanpa henti, sehingga sebuah peristiwa keseharian tak sekadar berhenti sebagai sebuah peristiwa semata, melainkan menjadi adonan kisah yang mengundang daya pikat dan daya tarik tersendiri buat pembaca. Dengan kata lain, kemampuan menafsirkan sebuah peristiwa menjadi tuturan kisah yang mampu menyentuh nurani kemanusiawian pembaca benar-benar menjadi sebuah keniscayaan bagi seorang pengarang.

Dari sisi ini, RP bisa dibilang sebagai pengarang yang sangat berhasil dalam menafsirkan setiap peristiwa menjadi dedahan kisah yang menyentuh nurani dan mengharukan. Setiap peristiwa dikuliti, diolah, dan disuguhkan kepada pembaca menjadi sebuah adonan kisah yang kaya rasa dan kaya warna. Satu hal yang tidak bisa dilupakan dalam setiap cerpennya adalah mengaitkan peristiwa keseharian yang terekam ke dalam ceruk imajinasinya dengan situasi mistis, seram, bahkan menakutkan. Saya pikir, hal ini lumrah terjadi dalam sebuah teks fiksi, khususnya cerpen.

Simak saja 20 cerpennya dalam antologi ini. Dalam cerpen “Pembalasan pada Manusia”, misalnya, ada balutan suasana yang cukup mencekam dan menyeramkan. Seseorang yang memercayai arloji berhiaskan gigi orang yang telah meninggal yang ditemukan saat menggali pekarangan dekat rumahnya sebagai “azimat” membuat gempar warga. Lelaki pemakai azimat itu mendadak berubah seperti harimau buas. Anak dan isterinya tewas mengenaskan dengan kepala dan dada yang robek-robek dengan darah berceceran di lantai kamar. Karena tak sanggup menghadapi amukan warga, lelaki yang telah berubah menjadi binatang buas itu tak berdaya. Tubuhnya babak-belur dihajar massa yang kalap. Ketika hampir mati, satu tusukan bambu runcing mengenai gigi di arloji sakunya hingga akhirnya meninggal. Anehnya, si “lelaki harimau” itu merasa bahwa yang dimakan bukan anak dan isterinya, melainkan semangka ranum yang telah membangkitkan air liurnya.

Demikian juga, dalam “Dalam Kereta Api”. Cerpen ini semula mengalir seperti halnya yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari di sebuah kereta api. Penumpang berdesak-desakan dan suara bising. Namun, perjalanan kereta mulai tampak aneh ketika setiap penumpang bebas turun di mana pun mereka mau. Yang lebih aneh, masinis sepertinya paham betul dengan kemauan penumpang tanpa harus ditanya. Plot cerpen memang terkesan meloncat-loncat. Bahkan, di dalam cerpen ini juga dikutipkan beberapa terjemahan yang dinukil dari ayat suci Alquran. Cerpen ini ditutup dengan dialog antara tokoh “aku” dan seorang penumpang. Suasana mistis cukup terasa selama mengikuti perjalanan kereta api ini, seperti berada di “dunia lain”. Yang mengejutkan, tokoh “aku” didoakan oleh seorang penumpang agar mendapatkan kematian yang sempurna? Wow…. Semacam “kereta hantu” yang pernah menghebohkan warga masyarakat sekitar rel kereta api beberapa waktu yang lalukah? Ya, ada unsur surealis yang cukup kuat dalam cerpen ini; antara dunia realitas dan dunia “sonyaruri” menyatu dalam sebuah tuturan kisah yang cair sekaligus nglangut.

Nada dan suasana mistis juga bisa ditemukan dalam “Jalangkung”. Dituturkan, sosok misterius yang selalu hadir dalam pertemuan sastra membuat seorang sekretaris perkumpulan penasaran. Sosoknya belum pernah dilihat, tetapi namanya selalu mengusiknya. Setiap pertemuan, si sekretaris berupaya untuk menemuinya, tetapi selalu gagal. Ada yang menyimpulkan bahwa sosok misterius itu sesungguhnya adalah roh yang sudah tidak lagi hidup di dunia. Akhirnya, ada yang mengusulkan agar dipanggil melalui jalangkung yang konon diyakini bisa menjadi perantara untuk memanggil roh orang yang sudah meninggal. Aneh, ternyata Jalangkung dapat menjawab setiap pertanyaan yang diajukan dengan menuliskannya di sebuah batu dengan kapur tulis. Pada sebuah pertemuan sastra, tiba-tiba saja muncul seseorang bertubuh kurus yang namanya pernah diundang Jalangkung. Si kurus ini dalam pertemuan tersebut membacakan sajak-sajaknya. Ketika ditanya, mengapa selama ini tidak pernah memperkenalkan diri dalam pertemuan sastra? Si kurus yang selama ini diyakini sebagai sosok misteris menjawab bahwa dia berasal dari keluarga miskin. Jika alamatnya ditulis, takut diminta uang iuran. Hemm …. Sebuah cerpen yang menyentil bagi penggiat sastra “tempo doeloe” yang sering menarik iuran untuk menggelar sebuah pertemuan. Suasana mistis yang dibangun dalam cerpen ini memang tidak terlalu kental. Agaknya, pengarang hanya sekadar ingin memberikan gambaran terhadap realitas budaya masyarakat saat itu yang sering menggunakan “Jalangkung” sebagai medium spiritual untuk “iseng” memanggil roh orang yang sudah meninggal.

Suasana yang sangat menyentuh dan mengharukan dapat disimak pada cerpen bertitel “Haus”. Cerpen ini bertutur tentang seorang gadis yang tiba-tiba menyembul dari genteng rumah seorang nenek. Tangannya menggapai ke angkasa, lantas mulutnya menganga meminum air yang tumpah dari langit. Menurut si nenek, anak perempuannya yang minum air hujan sebenarnya sudah meninggal akibat sakit. Menurut dukun yang mengobatinya, selama sakit tidak boleh diberi minum setetes pun, sebab bisa mengakibatkan kematian. Sampai akhir hayatnya, si nenek juga tidak memberikan air minum, meskipun anak gadisnya mengeluh kehausan. Ketika tokoh aku menengok kamar si gadis, kamar itu kosong dan hanya ada sebuah bale dengan tikar yang kelihatan tertutup debu. Ya, sebuah kisah yang menggambarkan betapa kuatnya kepercayaan masyarakat saat itu terhadap otoritas seorang dukun dalam menyembuhkan penyakit. Apa yang dikatakan sang dukun dianggap sebagai “sabda” tak terbantahkan, meskipun secara medis dan logika sangat tidak masuk akal. Secara tersirat, ada pesan moral sang pengarang yang cukup kuat dalam cerpen ini. Otoritas sang dukun dimentahkan oleh fakta “imajiner” bahwa pada akhirnya si gadis, anak sang nenek tetap tak bisa diselamatkan nyawanya meski sang nenek telah mengikuti pesan sang dukun yang melarang anak gadisnya minum setetes air sekalipun. Bahkan, almarhumah sering menengadahkan wajahnya ke langit melalui kamar “abadi”-nya untuk meminum air hujan.

Cerpen “Pada Sebuah Lukisan” menampilkan adonan kisah yang cukup tragis. Sebagai pelukis, tokoh aku merasa kagum dengan raut wajah lelaki yang dilukisnya. Berbadan besar dan wajahnya terlihat bengis, tetapi ada sifat lembut dan kelemahannya. Ketika menghadapi lelaki itu, tokoh “aku” merasa tak sadarkan diri dan seolah mengapung di alam lain. Si lelaki yang dikaguminya itu bercerita tentang suasana perang melawan Belanda dan pengkhianatan. Suatu ketika si lelaki besar mencari Achmad yang dianggap sebagai penghkhianat. Ketika bertemu di rumahnya yang dikepung pasukan Belanda, si lelaki berhasil menyusup ke dalam dan mencekik leher achmad, kemudian mengecap darah si Achmad sebagaimana biasa dilakukan setiap kali membunuh seseorang. Menurut lelaki yang menjadi objek lukisan, jiwa orang yang dibunuh itu akan selalu menggoda, mengganggu, mengejar dan membuat pembunuh gila. Untuk itu, darah orang yang dibunuh harus dikecap dengan tujuan untuk memiliki dan memakannya, meskipun hanya sedikit saja.

“Mudah sekali memahaminya. Apabila setelah membunuh seseorang kita merasa gugup atau berdebar-debar seolah-olah dikejar rohnya, dan karenanya kita menjadi takut atau bingung, berarti orang yang telah kita bunuh itu adalah pribadi yang besar dan berpengaruh,” kata si objek lukisan untuk meyakinkan tokoh “aku” yang sedang melukisnya. Anehnya, selama melukis si pembunuh itu, imajinasi “liar” yang berkecamuk pada tokoh “aku” adalah macan yang buas. Si lelaki besar murka, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Ya, ini sebuah cerpen yang cukup menarik. RP tidak hanya berhasil bertutur tentang perjuangan dan pengkhianatan pada masa revolusi fisik, tetapi juga mampu menyuguhkan tabiat seorang pembunuh setelah memangsa korbannya dengan cara yang sangat “rasional”. Dengan gaya tutur yang bening, bernas, dan lincah, RP berhasil menyuguhkan adonan cerita yang sarat konflik, tetapi indah untuk dinikmati.

Dalam cerpen “Kepanjangannya”, RP bertutur tentang bayi tujuh bulan dalam kandungan yang tiba-tiba raib. Untuk mengenangnya, sang ayah membuat nisan dari kayu dan memahat nama bayinya. Lantas, mereka mengadakan selamatan dan membacakan doa-doa supaya arwah si bayi diterima di tempat yang layak di sisi Tuhan. Meski banyak yang menentangnya, sang ayah tetap menaburi bunga-bunga di makamnya. Suatu ketika, teman sang ayah menawari beberapa ekor anjing. Untuk mengobati kekecewaan terhadap kematian misterius anaknya yang masih dalam kandungan, sang ayah mengambil seekor anak anjing betina dan dipelihara dengan penuh kasih sayang. Beberapa tahun kemudian, keluarga sang ayah dikaruniai beberapa anak. Mereka hidup bahagia, hingga kelak anak-anak mereka dewasa. Suatu ketika terjadi peristiwa aneh. Ketika purnama penuh di tahun  kedua puluh sejak anaknya mati dalam kandungan, anjing kesayangannya berubah menjadi seorang gadis cantik. Esok harinya, kuburan anak sulungnya di halaman rumah digali. Di dalamnya terdapat sebuah peti kosong yang selanjutnya menjadi tempat peristirahatan terakhir gadis cantik jelmaan anjing kesayangan itu. Cerpen bertiti mangsa 1954 ini cukup berhasil “membombardir” benak pembaca dengan segala peristiwa yang serba mengejutkan; semacam “dongeng” modern yang dibalut dengan peristiwa-peristiwa keseharian yang sarat konflik.

Kelincahan RP dalam menuturkan kisah-kisah yang beraroma mistis tidak berhenti sampai di situ. Masih ada beberapa cerpen lain yang memiliki balutan mistis yang serba mengejutkan dan menyeramkan. Masih mengambil latar situasi pasca-revolusi fisik, RP mengajak pembaca untuk mengapresiasi cinta sejati sepasang kekasih dalam cerpen bertitel “Satu”. Si lelaki menjadi pejuang, sedangkan si perempuan menjadi relawan. Semasa hidup, mereka berikrar agar kelak makamnya disandingkan. Setelah gugur, amanat itu dilaksanakan teman-teman seperjuangannya. Tapi aneh, ketika makam tersebut digali, kerangka sang lelaki menyatu dengan kerangka si gadis. Cerpen ini ingin menyampaikan seruan moral berupa keinginan seorang rakyat yang memimpikan persatuan di negerinya yang disimbolkan dengan menyatunya kerangka sepasang kekasih di alam kubur.

Nada dan suasana yang benar-benar mencekam bisa dinikmati dalam cerpen “Si Rangka” yang bertutur tentang kegelisahan dan ketakutan seorang isteri bernama Suriah yang selalu mendengar suara biola di salah satu tembok kamarnya. Namun, suaminya tak pernah mendengarnya. Suara itu terus menggodanya, hingga suatu ketika datang seorang lelaki bernama Naryo. Kehadiran Naryo membuat Suriah selalu terusik perhatiannya. Ia melihat sepasang mata Naryo seperti lubang sumur yang sangat dalam. Suatu ketika, suara biola di balik tembok kamar berubah menjadi suara rintihan seperti orang terjepit hingga akhirnya dibongkar. Di bawah dinding tembok itu ternyata ada kerangka manusia. Pada suatu hari, Naryo mengajak Suriah untuk ikut pindah ke rumah barunya. Malam itu juga, Suriah mati. Demikian juga pada cerpen “Tanpa Judul”. Pak Prada yang mengidap penyakit jantung meninggal. Namun, pada suatu hari, tokoh aku melihat sosok Pak Prada berkelebat memasuki rumahnya. Karena penasaran, tokoh aku bergegas menuju rumah Bu Prada. Di rumah itu terdengar jerit-tangis. Ternyata, Bu Prada meninggal menyusul suaminya.

Sebuah cerpen bernapaskan “petualangan gaib” bisa dinikmati dalam cerpen bertitel “Pengejaran”. Tokoh “aku” mengejar seseorang yang telah meloncat dari kereta api karena merampas barangnya yang sangat berharga. “Aku” terus mengejarnya melintasi rerimbunan belukar dan perbukitan terjal. Ketika hendak sampai di rumah si perampas yang sangat terpencil, terjadi perkelahian seru, hingga akhirnya si perampas berhasil dirobohkan. Ketika terjadi percakapan di rumah si perampas, ia mengaku sebagai orang dari masa silam. Lalu, ia menceritakan ibunya yang buta dan ayahnya yang suka mengganggu teman-teman seperjuangan. Tokoh “aku” tertidur dan keesokan harinya, datang penduduk desa sebelah dan bercerita kalau rumah terpencil itu sudah lama kosong.

Pada cerpen “Tiga Benua”, pembaca disuguhi kisah pergulatan antara dunia manusia dan dunia jin. Beberapa tahun sebelum pecah perang, sepasang suami isteri yang baru menikah mendapat warisan yang banyak. Mereka sepakat untuk membangun sebuah rumah yang mereka inginkan. Setelah rumah yang cukup besar berhasil dibangun, mereka menjadi kaya raya dan terhormat. Si suami pedagang yang sukses. Namun, kehidupan mereka terganggu ulah pencuri. Suatu ketika seorang Arab kenalan si suami menyanggupi untuk menempatkan empat jin di setiap penjuru rumah agar aman dari pencurian. Sejak saat itu, rumah mereka aman. Jin penunggu rumah itu terdiri 3 jin laki-laki yang memperebutkan seorang jin perempuan. Suasana rumah pun sering ribut. Dari 3 jin itu, hanya tinggal 1 yang masih hidup. Dua yang lainnya mati dalam perkelahian. Jin yang menang itu pun akhirnya menikah dengan jin perempuan. Mereka memiliki beberapa anak. Ketika anak-anak mereka sudah banyak, timbul keinginan isteri jin untuk menguasai rumah itu. Jin laki-laki menyanggupinya dengan cara membuat anak pemilik rumah jatuh sakit. Akhirnya, dua di antaranya meninggal tanpa diketahui apa penyebab sakit dan kematiannya. Kini, pemilik rumah hanya memiliki dua anak. Yang satu pun akhirnya menyusul ke alam baka. Pemilik rumah mencari paranormal. Terjadilah perjuangan mengusir jin yang cukup sengit hingga berbulan-bulan. Pemilik rumah tidak lagi sanggup bertahan dan memilih pindah rumah. Namun, datanglah si Arab kenalannya yang dulu mencarikan jin penjaga rumah. Si Arab marah dan menghukum jin. Anak satu-satunya yang sakit akhirnya sembuh dari sakit. Namun, mereka tidak lagi kerasan tinggal di rumah itu karena sudah berubah menjadi rumah tua yang mulai rusak.

Sementara itu, cerpen berjudul “Setia Seekor Anjing” menuturkan kesetiaan seekor anjing terhadap “majikan”-nya. Anjing yang sangat setia terhadap majikan, tetapi galak kepada orang lain itu berbuat ulah setelah kematian sang majikan. Anjing bernama “si Boi” itu ikut makam majikannya. Keesokan harinya, ada kabar jenazah sang majikan keluar dari kuburnya, duduk di samping onggokan makam dan bersandar pada batang pohon kamboja. Akhirnya, jenazah sang majikan dikuburkan kembali dan ditunggui. Para penjaga makam terkejut ketika pada dini hari mendengar suara gonggongan anjing. Keesokan harinya ada kabar kalau sang majikan bangun kembali dari dalam kubur. Kabar ini pun tersebar luas. Akhirnya, si Boi dicari untuk ditangkap, tetapi tak seorang pun yang berhasil menemukannya. Namun, setiap malam terdengar gonggongan si Boi yang memelas, menangisi majikan yang telah meninggalkannya.

Ya, adonan kisah yang sarat dengan ketegangan, kesuraman, keharuan, kecemasan, kegelisahan, dan ketakutan agaknya menjadi tema yang selalu mengusik “intuisi” RP untuk memberikan “testimoni literer” terhadap berbagai fenomena sosial yang terjadi di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Sebagai genre sastra, cerpen memang tak pernah tercipta dalam situasi “kosong”. Artinya, selalu ada nilai-nilai tradisi dan budaya yang dengan amat sadar diangkat sang pengarang sebagai bagian dari pernik-pernik peradaban umat manusia.

***

Masih ada delapan cerpen lain yang tidak kalah menarik untuk dibaca dan dinikmati. “Anjing Penjaga”, “Dengan Maut”, “Jampi Cinta Seorang Nenek”, “Pasukan Terakhir”, “Rindu pada Manusia”, “Sebuah Persahabatan”, “Semalam Aku Bersama Ayahku Almarhum”, dan “Tangan Kecil” banyak membidik persoalan kemiskinan, kejahatan, cinta, perjuangan, kerinduan, persahabatan, dan kegetiran hidup. Dalam cerpen-cerpen tersebut tampak kepedulian sang pengarang (RP) terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang sering terlupakan di tengah pergulatan dan dinamika hidup manusia yang demikian rumit dan kompleks.

Dalam “Anjing Penjaga” dituturkan, karena hidup miskin, seseorang tega membunuh anjing — yang selama ini setia menjaga rumahnya– di rel kereta api. Tak ampun lagi, anjing penjaga itu pun tewas mengenaskan. Menurut pemiliknya, anjing itu suka mencuri makanan, sehingga dia dan keluarganya sering menderita kelaparan. Namun, setelah kematian anjing itu, pemilik anjing justru dirundung bencana beruntun. Rumahnya sering kemasukan pencuri dan anak gadisnya dibawa lari seorang pemuda jahat. Sementara itu, dalam cerpen “Dengan Maut” dituturkan kecemasan hidup seorang pengarang menjelang eksekusi kematian. Namun, oleh komandan eksekusi yang bertubuh besar, sang pengarang diberi kesempatan untuk menulis cerita hingga akhirnya menjadi sebuah buku. Akhirnya, sang pengarang dibebaskan dari hukuman mati. Bahkan, buku yang ditulisnya selama menghadapi hukuman mati disambut gembira oleh masyarakat dan diterjemahkan ke dalam bahasa asing.

Lain lagi dengan “Jampi Cinta Seorang Nenek”. Cerpen ini bertutur tentang dendam cinta seorang nenek. Waktu muda, si nenek jatuh cinta pada seorang pemuda, tetapi cintanya bertepuk sebelah tangan. Suatu ketika terjadi “kecelakaan”. Si pemuda jagoan yang tidak dicintainya telah merenggut kegadisan si nenek hingga akhirnya menikah dan melahirkan seorang anak menjadi gadis cantik. Ia bertekad untuk mencari “ilmu” yang bisa membuat seseorang jatuh hati. Anak dan cucunya dijadikan sebagai “umpan” dan media untuk melampiaskan dendamnya.

Suasana tragis pada masa perjuangan kembali diangkat RP dalam cerpen “Pasukan Terakhir” dan “Tangan Kecil”. Cerpen “Pasukan Terakhir” bertutur tentang perjalanan jauh sejumlah lulusan SMA. Di suatu desa, mereka menginap di rumah seorang perempuan dengan disuguhi ketela pohon rebus. Tokoh “aku” tertarik pada kisah yang dituturkan nyonya rumah tentang desa yang hanya dihuni janda. Suami mereka pergi ke medan perang dan akhirnya mereka gugur sebelum bisa bertemu keluarganya. Sementara itu, “Tangan Kecil” mendedahkan cerita tentang sisa pasukan yang sampai di tepi batas sebuah desa. Dalam keadaan lapar, sisa pasukan berteduh di rumah seorang ibu yang sedang menyusui anaknya. Di bawah ancaman ujung bayonet, kepala pasukan memaksa si ibu untuk membuatkan bubur. Karena terpaksa, si ibu keluar rumah sambil menggendong bayinya. Ada prasangka buruk bahwa perempuan itu akan menyembelih anaknya dan dagingnya disuguhkan kepada pasukan. Si perempuan terus sibuk di dapur. Setelah matang, sambil menunduk dan menangis, si ibu menyiapkan hidangan. Karena sudah tak sabar, pasukan menyerbu hidangan daging. Terjadilah kehebohan. Salah satu pasukan melihat ada tangan kecil di balik daging yang dimasak. Mereka muntah-muntah. Pasukan memaki-maki. Si ibu menangis. Perempuan itu dianggap telah menghidangkan daging bayinya untuk mereka. Lantai rumah jadi berantakan. Penuh kotoran. Namun, ternyata bayinya tertidur lelap beralas amben kecil dekat tumpukan kayu.

Cerpen dramatis yang mengangkat sisi-sisi kemanusiaan dapat dinikmati pada cerpen “Rindu pada Manusia”, “Sebuah Persahabatan”, dan “Semalam Aku Bersama Ayahku Almarhum”. Dalam cerpen “Rindu pada Manusia” dituturkan kisah seorang gadis kecil anak nelayan yang berusaha mencari bapaknya. Si gadis melarikan diri dari kampung. Penduduk kampung mencarinya. Namun, mereka tidak tahu di mana si gadis berada. Orang-orang mengira jika ia tenggelam dan terseret gelombang laut. Ternyata, ia naik pohon kelapa di tepi pantai dan bersembunyi si sana, lari dari dunia, lari dari manusia yang tak pernah bisa memahaminya. Di atas sana, ia merasakan kebahagiaan meski sesaat; ia merasa jauh dari kebencian. Empat hari, lima hari, enam hari, ia tak juga merasa lapar. Badannya juga tak bergerak, hanya sebentar ia menggantungkan kaki dan merentangkan tangan. Dari atas, ia melihat kelakuan orang-orang yang mencarinya. Ia merasa betapa bodohnya manusia. Pada hari keenam, ia merasa aneh pada dirinya. Badannya lemas seolah-olah tak bertenaga dan kepalanya pusing. Ia tiba-tiba merasa diserang kerinduan: rindu kepada manusia. Ia rasanya ingin berteriak memanggil manusia, memanggil siapa saja. Tapi badannya sudah tak bertenaga lagi. Gadis itu akhirnya jatuh ke bumi, ke pangkuannya. Keinginannya agar lekas sampai di dunia tercapai, tapi bagaimana dengan kerinduannya pada manusia?

“Sebuah Persahabatan” misterius masih tersisa dalam cerpen yang mengangkat nilai-nilai kemanusiaan. Ketika sepasang suami-istri membuka album foto, si suami kaget atas pertanyaan yang diajukan isterinya. Si Darma yang telah meninggal ditembak Belanda ternyata muncul di sebuah foto. Bahkan, menurut pengakuan si isteri, Darma datang dan ikut makan pada saat pesta tahun baru sebelum mereka resmi menikah. Ternyata, Darma menepati janjinya, datang di hari yang penting bagi sepasang suami-isteri itu. Sang suami terharu dan menitikkan air mata ketika mengenang kembali masa persahabatan yang kekal.

Kesetiaan terhadap tugas dan keluarga tercermin dalam cerpen “Semalam Aku Bersama Ayahku Almarhum”. Tokoh “aku” yang dituntut harus segera menyelesaikan pekerjaan tak bisa pulang mudik lebaran ke Jakarta. Ia tinggal sendirian di sebuah pondokan. Pada malam menjelang lebaran esok hari, si “aku” tidak bisa tidur. Tiba-tiba saja, “aku” merasakan seseorang yang datang ke kamar tidurnya. Ya, almarhum ayahnya yang seorang pejuang menemuinya menjelang lebaran dan terjadilah percakapan. Banyak hal yang diperbincangkan. Tokoh aku merasa bangga dengan ayahnya yang gugur di medan perang.
***

20 cerpen yang terkumpul dalam antologi ini memang terasa belum cukup untuk menakar eksistensi RP dalam menggeluti dunia penciptaan cerpen. Namun, setidaknya bisa menjadi bukti otentik tentang keberpihakan RP terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang sering terabaikan. Kisah-kisah kemanusiaan yang dituturkan dengan gaya tutur yang bening, bernas, dan lincah bisa dibilang sebagai sebuah “kesaksian literer” terhadap pernik-pernik peradaban yang kerap terabaikan banyak orang akibat dinamika hidup yang makin rumit dan kompleks.

Yang menonjol dalam cerpen-cerpen RP sejatinya bukan persoalan mistik, klenik, atau hal-hal yang menyeramkan lainnya semata, melainkan upaya sang pengarang untuk mengingatkan entitas kemanusiaan yang sering terenggut oleh otoritas kekuasaan. Ada pesan-pesan moral yang cukup kuat yang selalu tersirat dalam setiap cerpennya. Seandainya muncul balutan suasana menakutkan, menyeramkan, “sonyaruri”, atau “dunia lain” muncul dalam cerpen-cerpennya, hal ini tak lepas dari gaya bertutur RP yang memang telah menjadi semacam “branding” kreativitasnya dalam berkarya.

Manifestasi gaya bertutur yang serba “seram” dalam mengangkat nilai-nilai kemanusiaan dalam cerpen adalah hadirnya sebuah teks yang selalu mengundang banyak tafsir terhadap jalinan peristiwa yang dituturkan. Tak berlebihan kalau setiap membaca cerpen RP selalu muncul tafsir baru dalam memaknai peristiwa yang dialami tokoh dalam setiap cerpennya. Meski dihasilkan pada kisaran tahun 1950-an, cerpen-cerpen dalam antologi ini tetap menghadirkan tafsir baru yang bisa jadi masih amat relevan dalam konteks kekinian.

Kehadiran antologi ini tentu diharapkan makin memperkaya khasanah Sastra Indonesia mutakhir di tengah arus kehadiran cerpen yang terus membanjir dari tangan sastrawan kita. Selain itu, juga mampu mengundang “animo” para pemerhati, pengamat, dan ahli sastra untuk menelisik dan membedah lebih tajam cerpen-cerpen karya almarhum Riyono Pratikto. Semoga Almarhum menemukan kedamaian dan kebahagiaan abadi di alamnya yang baru. ***

Kendal,   18 Februari 2016
Sawali Tuhusetya (guru dan blogger, tinggal di Kendal-Jawa Tengah)

——————————
Yang ingin memiliki kumpulan cerpen ini, silakan kontak ke putra Almarhum Riyono Pratikto, Mas Riyogarta yang telah memprakarsai terbitnya buku ini.

Munas I Agupena: Momentum Mewujudkan Gerakan Guru (Indonesia) Menulis

$
0
0

Oleh: Sawali Tuhusetya, Anggota Steering Committee Munas I Agupena

Jika tak ada aral melintang, Pengurus Pusat Asosiasi Guru Penulis Indonesia (Agupena) akan menggelar Musyawarah Nasional (Munas) I pada 29-31 Juli di Kampus Unis Tangerang dan Hotel Permata Mulia, Tangerang Selatan, Banten. Tema besar yang diangkat adalah “Penguatan Peran Guru Penulis dalam Meningkatkan Kualitas Masyarakat dan Pendidikan”.

revSelain memilih Ketua Umum Agupena Pusat yang baru, menetapkan/mengubah AD/ART Agupena, memusyawarahkan berbagai permasalahan internal Agupena, dan merumuskan berbagai rekomendasi demi kemajuan dunia pendidikan di Indonesia, baik untuk dilaksanakan oleh Pengurus Pusat Agupena maupun diusulkan kepada berbagai pihak terkait, Munas yang akan dihadiri Mantan Wakil Menteri Pendidikan Nasional, Prof. Dr. H. Fasli Djalal dan Mantan Kepala Dinas Pendidikan Banten, Drs. H. Hudaya Latuconsina itu, juga meluncurkan buku Bunga Rampai Pendidikan bertajuk Membangun Kapasitas Guru Penulis yang merupakan kumpulan esai pendidikan karya para penggiat Agupena di seluruh tanah air. Selain itu, juga pemberian anugerah Agupena Award kepada para tokoh yang dinilai memiliki jasa besar terhadap kelahiran Agupena.

Guru sebagai Pencerah Peradaban

revSejatinya, guru merupakan pencerah peradaban. Dari tangannya telah lahir banyak tokoh bersejarah –dengan semangat zamannya– yang telah berhasil menorehkan tinta emas dalam perjalanan berbangsa dan bernegara. Dinamika hidup dan kehidupan negeri ini, dengan segenap keriuhan kemajuan, modernitas, dan globalitasnya, tak luput dari sentuhan seorang guru. Beragam profesi –dengan berbagai disiplin ilmunya masing-masing– yang tersebar di seantero negeri, diakui atau tidak, pernah mendapatkan sentuhan “tangan dingin” seorang guru. Meski jasa mereka tak jarang terabaikan, kehadiran sosok guru tak pernah tergantikan. Mereka tetap berada di garda terdepan dalam memberikan pencerahan di tengah dinamika dan silang-sengkarutnya peradaban.

Namun, seiring dengan tantangan dunia pendidikan yang kian rumit dan kompleks, guru agaknya membutuhkan “asupan” lain agar tetap bisa berkiprah sebagai pencerah peradaban, yakni menulis. Guru –meminjam bahasa Pramoedya Ananta Toer– boleh pandai setinggi langit, tetapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Ini artinya, sehebat apa pun guru terampil mengajar, peran kemanusiaannya –sebagai pencerah peradaban– tidak bisa ditunaikan dengan baik sepanjang mereka tidak mengakrabi dunia kepenulisan. Mereka hanya dikenal sebagai tukang ajar yang menerapkan kurikulum sekolah secara sempit dan belum sanggup berkiprah sebagai guru inspiratif yang menerapkan kurikulum kehidupan yang sesungguhnya. Dalam konteks demikian, menulis sejatinya merupakan “fitrah kemanusiaan” seorang guru sebagai agen pembelajaran yang harus terus-menerus memberikan pencerahan di tengah dinamika zaman.

Gerakan Guru (Indonesia) Menulis
Dalam konteks demikian, Munas I pada akhir Juli 2016 mendatang perlu mengambil peran untuk mewujudkan Gerakan Guru (Indonesia) Menulis. Munas I menjadi momentum yang strategis bagi Agupena untuk merumuskan langkah dan agenda penting dalam memberikan “asupan” guru Indonesia dalam dunia kepenulisan.

Di tengah maraknya organisasi profesi guru dengan berbagai slogan dan tagline-nya, sepanjang pengamatan awam saya, Agupena tak didesain untuk menjadi institusi yang memosisikan diri sebagai organisasi oposisi sebagai bentuk perlawanan terhadap organisasi profesi guru yang dianggap telah gagal memperjuangkan aspirasi guru. Kelahiran Agupena bukan dilandasi semangat resistensi terhadap carut-marut dunia keguruan, melainkan lebih dilandasi oleh semangat untuk melakukan perubahan melalui aksi-aksi konkret yang bersentuhan langsung dengan dunia kepenulisan. Senjata Agupena adalah pena sebagai alat bedah untuk menyalurkan pemikiran-pemikiran kritis, kreatif, cerdas, dan mencerahkan yang diharapkan mampu membangun nilai-nilai kesejawatan antarguru, sehingga sosok pendidik di negeri ini memiliki posisi tawar yang lebih terhormat dan bermartabat, tidak lagi terpinggirkan akibat ketidakberdayaan guru dalam menghadapi berbagai persoalan rumit yang menelikungnya, terlebih dengan hadirnya Permen PANRB Nomor 16 Tahun 2009 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya yang mewajibkan guru untuk menyusun publikasi ilmiah dan/atau karya inovatif agar bisa naik pangkat.

Agupena juga tak tertarik untuk memasuki wilayah politis-ideologis yang seringkali dapat memicu sentimen primordial dan kesukuan. Ia lintasbudaya, lintasagama, dan tidak berafiliasi ke dalam partai politik apa pun. Kalau toh ada sebutan wilayah teritorial, semacam nama provinsi atau kabupaten/kota, semata-mata itu sekadar penanda untuk memudahkan manajemen organisasi yang memang didesain secara berjenjang sesuai dengan ketentuan yang telah disepakati. “Roh” Agupena bisa tumbuh dan hidup kapan dan di mana saja, tanpa belenggu ranah ruang dan waktu. Agupena bisa ada di mana-mana dengan beragam karakter pengurus dan anggotanya, tetapi visi dan misinya tetap mengacu pada nilai-nilai universalitas untuk membangun jejaring sosial yang mampu memberdayakan guru dalam mengembangkan talenta kepenulisannya.

Dalam situasi seperti itu, guru abad ke-21 agaknya juga perlu memperkuat jejaring sosial untuk melakukan Gerakan Guru (Indonesia) Menulis yang secara kolektif dan masif bergerak bersama untuk mewujudkan Indonesia yang berkeadaban dengan kultur literasi yang mengagumkan.  Melalui sebuah komunitas, suara guru yang tersalurkan melalui tulisan akan lebih bergaung sehingga harapan untuk melakukan sebuah perubahan itu dapat terwujud.

Guru perlu menjadi “pionir” Gerakan Guru (Indonesia) Menulis dengan senantiasa mengabadikan pemikiran-pemikiran kritis dan kreatifnya melalui tulisan. Gerakan ini juga senada dengan budaya literasi yang kini tengah masif digencarkan oleh pemerintah. Melalui tulisan, pemikiran-pemikiran cerdas dan bernas dari seorang guru tidak akan menguap begitu saja di tengah riuhnya peradaban.

Menulis merupakan aktivitas dinamis yang selalu bersentuhan dengan kepekaan kita dalam merespons berbagai persoalan yang terjadi. Agar mampu menjadi “pionir” Gerakan Guru (Indonesia) Menulis, seorang guru perlu menjaga atmosfer kepenulisan agar “adrenalin” kita untuk melahirkan tulisan-tulisan yang mencerahkan bisa terus eksis dan terjaga. Dalam konteks demikian, jejaring sosial guru perlu diperluas dengan terlibat aktif dalam berbagai organisasi profesi yang secara intensif mampu merangsang “adrenalin” kepenulisan. Salah satu organisasi profesi guru yang dinilai mampu menciptakan “adrenalin” kepenulisan adalah Asosiasi Guru Penulis Indonesia (Agupena) yang berupaya serius untuk mengawal marwah dan martabat guru menjadi lebih profesional melalui gerakan dan aksi-aksi kepenulisan.

Sudah saatnya menulis menjadi kultur baru bagi para guru yang diposisikan sebagai agen pembelajaran yang harus memiliki kompetensi pedagogik, profesional, sosial, dan kepribadian. Peran kemanusiaan sebagai guru kreatif dan inspiratif akan cepat menguap di tengah belantara informasi apabila guru “lumpuh” menulis. Kini, pilihan terbentang di depan mata. Mau menjadi guru inspiratif yang sanggup mengilhami peserta didik menjadi sosok yang cerdas dan berkarakter melalui tulisan atau menjadi guru kurikulum yang memosisikan siswa sebagai “robot” peradaban akibat kealpaan kita dalam mengabadikan pemikiran-pemikiran kritis, kreatif, cerdas, dan mencerahkan.

Nah, selamat menyongsong Munas I Agupena, semoga berlangsung lancar dan sukses, serta mampu merumuskan langkah dan agenda strategis dalam “menggerakkan” guru di seluruh pelosok nusantara untuk menulis, menulis, dan menulis. **

Catatan:
Dengan berbagai pertimbangan dan masukan dari Pembina Agupena Pusat, Munas I diundur. Diperkirakan akan berlangsung pada bulan Oktober 2016, dengan harapan Munas tidak hanya sekadar memilih ketua umum, tetapi juga ikut berkiprah membahas isu-isu nasional yang terkait dengan masalah pendidikan. Terima kasih dan mohon maaf…

Gerakan Literasi melalui Aktivitas Penulisan Puisi

$
0
0

(Sebuah Pengantar Antologi Puisi Nafas Pelor karya Siswa SMK Al Musyaffa’ Kendal)
Oleh: Sawali Tuhusetya *)

Ketika Pak Abdul Muid, Kepala SMK Al Musyaffa’ Kendal, menawari saya untuk memberikan pengantar terhadap antologi puisi karya murid-muridnya, saya tersentak sekaligus gembira. Tersentak karena Pak Abdul Muid dan murid-muridnya bernaung dan beraktivitas di sebuah institusi pendidikan kejuruan yang selama ini terkesan “jauh” dan menjaga jarak terhadap dunia kesastraan, termasuk puisi. Sungguh, jarang –kalau tak boleh dibilang langka– murid-murid SMK yang dengan amat sadar mau berakrab-akrab dengan sastra, apalagi terlibat secara intens dalam dunia penciptaan puisi. Sungguh, juga bukan hal yang mudah menggerakkan pelajar sekarang untuk mengakrabi dunia penciptaan puisi –meskipun saya juga tahu kalau Pak Abdul Muid adalah seorang sarjana sastra– di tengah situasi peradaban yang kian konsumtif, materialistik, dan hedonistik. Hal-hal yang secara finansial dianggap kurang menguntungkan, termasuk sastra, akan dengan mudah ditinggalkan dan disingkirkan.

revNamun, saya juga gembira, kalau pada akhirnya puisi menjadi bahasa universal yang bisa diakrabi oleh siapa pun, tanpa membedakan dari mana mereka berasal dan dari latar belakang kehidupan macam apa mereka berada. Ini artinya, puisi telah menjadi “bahasa kehidupan” yang mampu menembus batas-batas primordial, pendidikan, dan status sosial. Siapa pun, di mana pun, dan kapan pun, sah-sah saja seseorang menjadikan puisi sebagai bagian dari ekspresi kehidupan. Demikian juga halnya dengan anak-anak SMK Al Musyaffa’ Kendal. Mereka telah menjadi bagian dari dunia sastra, khususnya puisi, dan akan tercatat dalam “sejarah” kehidupan bahwa mereka pernah merasakan dinamika dunia penciptaan puisi yang bersentuhan langsung dengan domain imajinasi yang sesekali “liar” dan mengejutkan.

Beragam puisi yang diusung oleh anak-anak SMK Al Musyaffa’ Kendal dalam antologi ini, selain menepis anggapan bahwa anak-anak SMK cenderung jarang bersentuhan dengan dunia sastra, juga senapas dengan budaya literasi yang kini tengah gencar digelorakan secara masif oleh pemerintah. Secara sederhana, literasi berkelindan dengan kemampuan membaca dan menulis. Jika literasi ini “memfosil” dalam kebiasaan hidup sehari-hari, maka akan menjadi sebuah budaya.

Budaya membaca dan menulis sesungguhnya akan mampu memberikan sumbangsih yang cukup besar dalam membangun karakter bangsa. Sebagaimana kita ketahui,  akibat rendahnya budaya literasi di negeri ini, disadari atau tidak, bangsa kita masuk pada peringkat dua terbawah berdasarkan data yang dihimpun oleh Association for the Educational Achievement (IAEA) tahun 1992. Sementara, Finlandia dan Jepang sudah termasuk negara dengan tingkat membaca tertinggi di dunia. Sungguh, kenyataan semacam ini jika terus berlanjut akan menjadi sebuah “bencana moral” yang akan berimbas –meminjam istilah Nurcholish Madjid– pada “kebangkrutan nurani”. Perilaku kekerasan dan vandalisme akan bersimaharajalela di kalangan pelajar dan generasi muda. Mereka gampang kalap, agresif, biadab, dan gagal mengatasi masalah yang dihadapi dengan dengan cara-cara yang beradab akibat rendahnya kemampuan membaca sekaligus menulis. Imbas selanjutnya, nurani menjadi “lumpuh” dan kian terseok-seok dalam memahami makna kearifan dan kebajikan hidup. Bukankah ini akan menjadi sebuah “malapetaka” bagi bangsa kita yang sudah lama dikenal sebagai bangsa yang beradab dan berbudaya?

Dalam situasi demikian, kita layak memberikan apresiasi kepada siswa SMK Al Musyaffa’ Kendal –seberapa pun bobot kualitas karyanya– yang dengan amat sadar melakukan gerakan literasi melalui aktivitas penulisan puisi. Setidaknya, mereka telah berhasil “melompati” aktivitas membaca dalam pengertian yang seluas-luasnya. Tidak hanya sekadar membaca teks, tetapi juga membaca ayat-ayat Allah yang tergelar di alam semesta.
***

Ada puluhan, bahkan ratusan, judul puisi yang terkumpul dalam antologi ini. Beragam tema pun mereka angkat ke dalam genre puisi dengan berbagai gaya tutur. Bagaikan mozaik, persoalan keseharian khas remaja, semacam cinta, persahabatan, Narkoba, kenakalan pelajar, kepahlawanan, religi, atau kerinduan, jalin-menjalin membangun kisah romantik dan heroik yang unik dan menggelitik. Yang tidak kalah menarik, ada juga puisi karya mereka yang bersentuhan dengan “jagad gedhe”, sebuah dunia yang penuh dengan intrik sosial, kemiskinan, penderitaan, korupsi, dan kekuasaan. Persoalan-persoalan “anomali” kehidupan sosial yang mereka baca melalui berbagai media, baik cetak maupun elektronik, mereka renungkan, mereka refleksi, mereka endapkan, untuk selanjutnya diekspresikan ke dalam teks puisi melalui bahasa khas remaja.

Sekadar contoh, simak saja puisi “Bidak Tirani” karya Laili Zahrotun Nisa berikut ini. //Kami/Sekumpulan otak di bawah kaki/Berpikir, berkreasi, beride, menggagas/Tapi gagal jadi/Terhalang sol beludru para Menteri//Peluh kami teguk/Receh kami rantang//Mari berpulang/walau pulang, tak harus rumah/hanya istana 3×3/berkubah jalan tol//Di tanah kami/undang-undang mengira kami bos tanah/kami tertawa pedih//Kenapa tak berorasi?/Mengapa bungkam?//Kami hanya bidak tirani//

Ya, ya, sebuah lirik yang sarat dengan kritik terhadap proyek jalan tol yang dinilai abai terhadap nasib wong cilik yang hanya memiliki rumah berukuran 3 x 3 meter dan harus bernaung di bawah jalan tol. Rakyat kecil hanya bisa bungkam karena hanya menjadi bidak yang harus mengikuti kemauan penguasa sebagai bidak tirani.

Dalam gaya tutur yang berbeda, Agung Setiawan mengungkapkan rasa muaknya terhadap perilaku koruptor yang tega mengemplang uang rakyat di tengah jeritan kemiskinan melalui puisi bertitel “Koruptor” berikut ini. //Di saat kau berjalan kaki/kau bak seorang yang berbudi/berpakaian rapi berdasi/punya kursi dan jabatan tinggi//Ketika semua orang sibuk sendiri/berpikiran ke sana kemari/berdiam diri mencari solusi dapat berkorupsi// Di saat kau ketahuan mencuri/kau berlari…/bersembunyi… di tempat sepi/menjadi buronan banyak polisi//Koruptor//Kau bagaikan tikus yang bersembunyi/mengambil makanan di sebuah panci/dan berlari ke sana kemari/mencari tempat untuk selamatkan diri//

Puisi dengan lirik yang berima sama pada akhir larik ini terkesan amat emosional terhadap perilaku koruptor yang dimetaforkan bagaikan “tikus yang bersembunyi” untuk menyelamatkan diri dari kepungan polisi. Kesan emosional ini bisa jadi mewakili jeritan jutaan rakyat di negeri ini yang sudah amat bernaung-turba kebenciannya terhadap fenomena korupsi yang mewabah di negeri ini.

Nada kerinduan anak terhadap seorang ibu yang berada “nun jauh di sana” diungkapkan oleh Dian Romadhonah dalam puisi “Cahaya Bundaku”: //Selalu saja kurindu/abad-abad yang terus berlalu//Nun jauh di sana/sepasang mata yang begitu indah//Menatapku dengan haru/seraya penuh rindu//Itulah cahya bundaku/yang selalu kurindu//

Bisa jadi, puisi ini mewakili kerinduan seorang anak yang sudah amat lama ditinggalkan oleh sang bunda yang jauh berada di negeri seberang. Begitu dalam kerinduan itu sehingga sepasang mata bundanya yang begitu indah selalu menatapnya dengan penuh cinta dan kerinduan. Terkesan sentimentil memang. Namun, begitulah yang dirasakan sang penyair yang senantiasa ditelikung rasa rindu kepada sang bunda yang seolah-olah telah berlangsung berabad-abad lamanya.

Lain lagi dengan puisi bernapaskan religius yang juga merupakan hasil karya Laili Zahrotun Nisa bertajuk “Suara Alam”: //Katakanlah/wahai angin yang berhembus/engkau sibakkan/jemari daun pinus yang berangkulan/bertasbihlah engkau pada Tuhan kita/dengan tegaknya pohon mekarnya mawar/Allah hidupkan yang mati dengan kuasa-Nya//Bisikkanlah/akan gesekan atom di tujuh labgit/gelegar merdu dari sang petir/Maha suci Allah/bilamana kilatmu terangi gelap/tak ragu, kekuatan dari manakah/dapat kau belah awan hingga mendung//Nyanyikanlah/dari paruhmu, makhluk kecil Allah/ya burung, Tuhan mengangkatmu di udara/tetaplah berkicau dengan mengagungkan asma Allah//

Puisi religius ini mengandung idiom penuh cinta kepada Sang Khalik. Ya, cinta akan kekuasaan Tuhan melalui suara alam yang terdengar melalui hembusan angin, gesekan atom, gelegar suara petir, bahkan juga nyanyian burung yang senantiasa mengagungkan asma-Nya.
***

Masih banyak puisi lain yang secara stylistik mengandung kekuatan estetik dengan mendayagunakan berbagai kiasan, idiom, dan langgam bahasa yang khas kaum remaja. Namun, tentu saja tidak akan cukup untuk membahas satu persatu puisi karya mereka yang memancarkan semangat kepenyairan dan elan vital yang luar biasa. Yang pasti, puisi-puisi yang terkumpul dalam antologi ini bisa menjadi bukti bahwa gerakan literasi itu tidak hanya mengapung dalam bentangan slogan dan retorika belaka. Para penyair SMK Al Musyaffa’ Kendal telah membuktikannya.

Puisi-puisi yang lahir dari tangan mereka jelas tidak muncul secara tiba-tiba, tetapi melalui pergulatan kreatif yang tanpa jeda. Mereka terus “membaca” –sekali lagi dalam pengertian yang seluas-luasnya– dan menulis “tanda-tanda zaman” ke dalam larik-larik puisi sesuai dengan “licentia poetica” alias kebebasan kreatif yang mereka miliki.

Semoga kepenyairan mereka tidak seperti “obor blarak” yang sekali menyala untuk kemudian mati. Namun, terus melekat secara emosional ke dalam ruang batin dan jiwa hingga kelak mereka menjadi generasi masa depan yang kuat budaya literasinya; tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga cerdas secara emosional, spiritual, dan sosialnya. ***

*) Sawali Tuhusetya, seorang guru dan pemerhati sastra, tinggal di Kendal

Kang Badrun, Gawai, dan Nilai Sosial yang Terluka

$
0
0

Sejak beli gawai baru, Kang Badrun tenggelam dalam keriuhan massa di jejaring sosial. Nada pemberitahuan (nyaris) meluncur tiap detik. Dengan gerakan yang mulai terlatih, jemarinya sibuk menari-nari di atas bantalan kunci gawainya yang berbasis android. Dengan mata berbinar, sesekali tersenyum sendirian. Tubuh Kang Badrun memang di rumah, tetapi pikiran dan perasaannya menerawang entah ke mana. Hanya dengan duduk manis di rumah, lelaki separuh baya itu bisa dengan mudah menjalin kontak dengan siapa pun, di mana pun, dan kapan pun. Facebook, twitter, instagram, path, atau whatshapp sudah sangat membantunya untuk terbang menyusuri celah dan ceruk dunia.

Dengan sangat percaya diri, kini Kang Badrun mendadak memosisikan dirinya sebagai narasumber informasi tentang banyak hal di tengah orang-orang di sekelilingnya. Baginya, gawai (nyaris) sudah menjadi kebutuhan primer dalam mengakses informasi. Satu jam saja melepas gawai, Kang Badrun akan tersaruk-saruk di balik semak-semak. Sementara yang lain sudah melaju mulus di jalan tol. Tak berlebihan jika Kang Badrun kini mesti selalu bertindak cekatan. Kalau tak ada nada dering pemberitahuan dari mulut gawainya, ia bergegas memburu informasi di kebun jagad Mbah Google.

Di kebun jagad Mbah Google itu, Kang Badrun sangat dimanjakan. Ia bebas mengambil, tanpa izin. Ia bebas menggali dan menemukan barang-barang berharga, lantas membawanya pulang, tanpa takut dipenjarakan. Sepanjang untuk keperluan sendiri, sudah lebih dari cukup bagi Kang Badrun untuk menambah pundi-pundi informasinya. Dengan cara demikian, Kang Badrun merasa dirinya selalu up-to-date. Ia upgrade otaknya setiap detik dengan informasi-informasi terkini.

Dengan meramu barang-barang buruan dari kebun Mbah Google, Kang Badrun bisa dengan mudah untuk mendaur-ulang informasi untuk kemudian disebarkan melalui facebook, twitter, path, atau whatshapp. Di whatshapp sendiri, Kang Badrun menjadi anggota puluhan group. Ia semakin mudah untuk menemukan berbagai informasi, kemudian meneruskannya ke group-group lain yang diikuti. Belum lagi ratusan informasi yang terpajang di lini-masa facebook dan twitter. Wow…. Kang Badrun kini benar-benar merasakan kedua telapak tangannya telah menggenggam bejibub informasi yang dibutuhkan banyak orang. Setiap saat, dia bisa memajang status di jejaring sosial dengan beragam informasi.

Sedemikian keranjingannya Kang Badrun dengan gawai kesayangannya, sampai-sampai ia abai terhadap kewajiban-kewajiban sosialnya secara nyata. Ia makin jarang bergaul dengan tetangga terdekat. Kerja bakti, siskamling, dan berbagai kegiatan sosial yang lain sudah (nyaris) jarang ia lakukan. Jika kebetulan diajak Ketua RT untuk menjenguk tetangganya yang sakit, dengan mudah ia mohon izin melalui pesan whatshapp di group kalau sedang ada keperluan. Ternyata, Kang Badrun tidak sendirian. Di group yang sama, Kang Badrun juga menemukan pesan-pesan yang sama dari tetangga dekatnya.

“Kenapa semua jadi ikut-ikutan izin?” tanya Kang Badrun pada dirinya sendiri sembari memelototi pesan-pesan di group whatshapp. Agaknya orang-orang sekampung punya keranjingan yang sama terhadap jejaring sosial.

Tak hanya urusan sosial yang terabaikan, Kang Badrun juga mulai abai terhadap keluarganya. Kehangatan mulai jauh menyusut. Tak ada lagi canda dan tawa bersama. Anak-anak dan isterinya juga sibuk dengan dunia dan gawainya sendiri-sendiri. Keluarga Kang Badrun terjebak dalam keriuhan massa di jejaring sosial. Hidup kesepian di tengah keramaian dunia maya. Belum lagi memikirkan anggaran keluarganya yang kian meroket. Semenjak anak-anak dan isterinya ikut keranjingan main gawai, gaji bulanannya (nyaris) tak lagi tersisa, bahkan sering minus.
***

Sudah sepekan ini, Kang Badrun uring-uringan. Ia tidak lagi menduduki posisi sebagai satu-satunya narasumber informasi. Tetangga dan teman-teman kantornya sudah ikut melesat menjemput bejibun informasi dari berbagai sumber. Setiap kali membuka Whatshapp (WA), kedua bola matanya nyalang dan liar. Jidatnya berkerutan. Ia kaget membaca tebaran informasi yang di whatshapp.

Banyak anggota group yang gampang sekali terjebak untuk menyebarluaskan informasi tanpa mengetahui kejelasan sumbernya. Seperti surat berantai, berita-berita yang tidak jelas sumber dan asal-usulnya itu terus menyebar dari satu group ke group yang lain. Heboh!

“Sontoloyo! Ini orang ndak ada kapok-kapoknya, ya! Sudah puluhan kali dilarang share berita-berita hoax, masih saja bandel! Dasar, gendeng!” gerutu Kang Badrun pada dirinya sendiri. “Group WA bukannya digunakan untuk mengakrabkan silaturahmi, tapi justru malah dipakai untuk melukai orang lain,” gumamnya sambil melemparkan gawainya di atas kasur.

Lantaran mulai risih, Kang Badrun “menyemprit” para anggota group untuk menghentikan kebiasaan menyebarkan informasi tanpa proses klarifikasi dan konfirmasi.

“Mohon maaf, tanpa mengurangi rasa hormat saya terhadap teman-teman yang sering meng-update status berbau SARA, mohon dicek dulu kebenarannya. Kalau memang berita itu benar dan dapat dipercaya, silakan dibagi dan disebarluaskan. Namun, jika berita itu meragukan, apalagi dari sumber yang tidak jelas, mohon untuk tidak buru-buru menyebarluaskannya. Jangan sampai akibat kecerobohan kita dalam berbagi informasi, kita justru yang akan menjadi korban,” kata Kang Badrun dalam sebuah group whatshapp di kampungnya.

Postingan itu ternyata menyulut emosi. Anggota group yang merasa tersindir marah-marah di group. Terjadi debat kusir. Tak ada yang mau mengalah. Kang Badrun juga tidak sendiri. Ada beberapa anggota group yang sependapat dengannya. Namun, agaknya masalah makin meruncing. Terjadilah pertengkaran hebat. Tetangga-tetangga kampung yang berseberangan pendapat dengannya mendadak melabrak rumahnya.

“Sampeyan harus minta maaf di group, Kang, karena telah menghalang-halangi niat baik orang lain untuk berbagi informasi. Itu artinya, Sampeyan telah melanggar hak orang lain yang harus dijunjung tinggi,” teriak seorang tetangganya dengan bola mata memerah saga.

“Saya tidak akan minta maaf karena saya berkata benar. Saya tidak melarang Sampeyan berbagi informasi. Tapi perlu dicek dulu kebenarannya. Jangan ikut-ikutan menyebarkan informasi berbau SARA dan fitnah, karena akan memiliki risiko hukum! Saya hanya sekadar mengingatkan jangan sampai niat baik kita justru akan berdampak buruk akibat kecerobohan kita ikut menyebarkan informasi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya!” jawab Kang Badrun dengan penuh rasa percaya diri.

“Alah, sudahlah, Kang, jadi orang jangan sirik. Sampeyan melarang-larang itu hanya lantaran Sampeyan sekarang merasa tersaingi toh? Saat ini bukan hanya Sampeyan saja yang bisa berbagi informasi, kami pun bisa!” sahut tetangganya yang lain.

“Jangan salah paham, sedulur-sedulur! Saya justru mengajak kita semua saling berbagi informasi. Tapi pilah-pilah dulu kebenarannya, supaya tidak ada yang kena fitnah dan terlukai akibat berita yang kita sebar luaskan!”

“Ah, dasar tukang sirik ya begini ini modelnya. Sudah tahu salah, ndak mau minta maaf, ngeyel lagi! Sudahlah sedulur-sedulur, buat apa lama-lama kita di sini, ndak ada gunanya berdebat sama si tukang sirik!” sergah tetangga yang satunya lagi.

Darah Kang Badrun berdesir. Dadanya turun-naik menahan geram. Kepala nyut-nyutan. Puluhan tahun hidup di kampung, baru kali ini ia disemprot tetangga-tetangganya dengan cara yang sangat tidak manusiawi. Dibantingnya keras-keras gawai kesayangannya ke lantai hingga hancur berantakan. Gawai dan aplikasi besutan Jan Koum (kiri) dan Brian Acton itu agaknya telah ikut andil dalam melukai nilai-nilai sosial yang selama ini nyaman terjaga. Kang Badrun merasakan aliran darahnya makin kencang berdesir menuju ubun-ubun. ***

Setelah 9 Tahun Ngeblog

$
0
0

Juli 2007 merupakan saat pertama saya belajar ngeblog (=mengeblog). Sering berganti-ganti engine, sebelum akhirnya memutuskan untuk mengelola domain dan hosting berbayar. Tidak mudah memang untuk menjaga spirit dan konsistensi ngeblog. Selalu saja muncul “godaan”. Entah itu, pekerjaan offline yang menumpuk, aktivitas pekerjaan dan organisasi, atau aktivitas-akivitas sosial kemasyarakatan yang lain. Pasang-surut pun sudah menjadi hal yang lumrah terjadi.

Meski demikian, blog masih tetap menjadi “rumah” yang tepat dan nyaman bagi saya untuk “mengabadikan” berbagai pemikiran, pengalaman, peristiwa, atau berbagai imajinasi “liar” yang seringkali tak terkendali. Melalui blog, saya bisa menengok perjalanan hidup dan dinamika pemikiran masa silam yang pernah menjadi bagian “mozaik” kehidupan yang saya lakoni.

Jujur saja, sejak blog menjadi “candu” yang menghipnotis saya untuk menulis, saya sudah mulai jarang menulis di media cetak. Sebagian besar ide, pemikiran, pengalaman, dan imajinasi saya, saya publikasikan di blog pribadi. Bukan persoalan apa-apa. Saya hanya membutuhkan ruang yang tepat untuk berekspresi. Hanya itu saja! Melalui blog, saya bisa dengan mudah dan leluasa untuk mengangkat berbagai persoalan yang terkait dengan ranah pendidikan, bahasa, sastra (cerpen atau esai), sosial, atau budaya. Sesekali, tergoda juga untuk mengurai gagasan yang terkait dengan persoalan kekinian, termasuk ranah politik. Berdasarkan data yang tercatat di dasbor blog, ada 1.117 tulisan “gado-gado” yang sudah terpublikasikan. Jumlah tulisan yang tidak terlalu banyak memang dalam kurun waktu lebih dari 9 tahun. Namun, yang jelas dan pasti, berapa pun jumlah tulisan yang ada, bukanlah hal yang terlalu serius untuk saya persoalkan. Nilai sosial yang saya dapatkan dari blog sudah jauh melampaui apa yang pernah saya bayangkan sebelumnya.
***

Sebelum media sosial (medsos) hadir menjadi ruang publik yang menjanjikan kemudahan dan memanjakan penggunanya dalam berinteraksi sosial di dunia maya, blog menjadi “primadona”. Dalam amatan awam saya, kurun waktu 2007-2009 merupakan masa-masa subur bagi narablog untuk berekspresi dan membangun sliaturahmi. Pertemanan melalui blog begitu “mesra” sehingga acara kopdar (kopi darat) menjadi agenda rutin. Para blogger yang selama ini hanya berinteraksi sosial melalui dunia maya, mereka bisa bertatap muka secara langsung dalam suasana hangat, akrab, dan penuh kekeluargaan. Jalinan pertemanan pun meningkat levelnya menjadi sebuah “keluarga”.

Kini, setelah masa-masa subur ngeblog mulai surut dan kompleks blogsphere mulai sepi, atmosfer sosial telah beralih ke medsos. Keriuhan ngeblog telah beralih ke ruang media sosial yang begitu “seksi”. Suasana egaliter yang berhasil dibangun oleh medsos, disadari atau tidak, telah mampu membuka ruang dan sekat-sekat pergaulan. Siapa pun bisa berinteraksi, menjalin pertemanan, atau berdiskusi dalam suasana yang santai dan akrab.

Meskipun demikian, harus diakui juga bahwa medsos tak jarang menjadi ruang yang pengap dan memanas suhunya. Silang pendapat, perdebatan, dan berbagai jenis ujaran vulgar dan sarkastik acapkali mewarnai suasana diskusi. Yang lebih memperihatinkan, medsos tak jarang dimanfaatkan sebagai ruang publik untuk menyebarkan berita hoax, ujaran kebencian, sentimen SARA, dan berbagai bentuk anomali sosial yang lain.

Terlepas dari situasi dan atmosfer semacam itu, sejatinya blog dan medsos bisa menjadi piranti digital yang sinergis untuk beraktualisasi diri. Blog itu ibarat rumah, sedangkan media sosial merupakan ruang publik untuk bertemu banyak orang dengan beragam karakter. Jika terkelola dengan baik, blog dan medsos mampu dimanfaatkan secara positif untuk membangun nilai-nilai sosial dan kemaslahatan hidup. Dalam konteks demikian, sesungguhnya tak ada alasan untuk berhenti ngeblog. Situasi semacam itu setidaknya telah ikut membangun spirit saya untuk tetap ngeblog di tengah “gempuran” godaan yang begitu masif. ***

Viewing all 147 articles
Browse latest View live