Quantcast
Channel: Catatan Sawali Tuhusetya
Viewing all 147 articles
Browse latest View live

Ujian yang Salah Urus dan Mentalitas Korup

$
0
0

Sore yang kurang bersahabat. Angin “jahat” terus saja berkesiur setiap detik. Gerimis yang tajam seperti menusuk-nusuk kulit para penduduk kampung yang terhadang di perjalanan. Di gardu poskamling, Kang Badrun merapatkan sarungnya. Di sebelahnya, Kang Karli tak henti-hentinya membakar dadanya yang keropos dengan kepulan asap nikotin. Di sudut gardu yang lain, wajah Lik Kaderi berselimutkan mendung. Tak secuil pun senyuman keluar dari bibirnya yang tebal. Suasana sepi dan nglangut.

“Sebenarnya yang Sampeyan pikir itu apa toh, Lik? Sedari cemberut. Sedang ada masalah dengan Mbok Wedok?” tanya Kang Badrun memecah kesepian. Lik Kaderi hanya menoleh, tanpa bersuara. Wajahnya tetap saja cemberut.

“Iya, Lik! Kalau ada masalah mbok ya cerita sama kami. Siapa tahu kami bisa mbantu!” sahut Kang Karli sembari membuang puntung rokok “tingwe” untuk ke sekian kalinya.

korupsi

“Alah, tahu apa Sampeyan berdua? Ini perkara besar yang hanya bisa dipecahkan oleh orang-orang besar! Memangnya Sampeyan ini tergolong orang besar apa?” Lik Kaderi yang bertubuh tambun itu akhirnya mengeluarkan suara juga, meski terdengar gatal di telinga.

“Lho! Sampeyan ini gimana toh? Meski jarang bergaul dengan orang besar, saya ini selalu mengikuti berita tentang orang-orang besar. Di mata saya, orang besar itu ya orang yang suka korupsi. Hobi memeras wong cilik, suka melakukan tipu-daya, dan berbagai tindakan culas lainnya!” sergah Kang Badrun sambil membenahi sarungnya yang melorot.

“Bener banget apa kata Kang Badrun itu, Lik! Coba Sampeyan perhatikan! Apa pernah ada tayangan berita TV yang luput memberitakan tentang korupsi, hem? Tidak pernah! Dan Sampeyan lihat siapa saja mereka? Ya itu tadi yang dikatakan Kang Badrun! Rata-rata mereka adalah orang besar yang punya pengaruh, wewenang, dan kekuasaan. Mana mungkin wong cilik seperti saya punya celah untuk korupsi?” sahut Kang Karli. Lik Kaderi terdiam beberapa jurus lamanya. Kang Badrun dan Kang Karli saling berpandangan. Sementara di luar sana, gerimis “tajam” telah berubah jadi hujan yang cukup deras. Berkabut.

“Iya, Lik Kaderi. Ayo, ngomong dong! Kalau memang benar yang Sampeyan maksud  orang besar itu para koruptor yang kini diuber-uber KPK itu apa Sampeyan punya cara dan solusi paling jitu untuk memberantas virus korupsi yang menggurita di negeri ini?” berondong Kang Badrun.

“Hem … bukan, Kang! Kalau korupsi sih sudah jadi berita basi! Hampir setiap detik kita disuguhi tayangan wajah para pengemplang harta negara! Itu persoalan bangsa yang mustahil bisa diselesaikan semudah kita membalikkan telapak tangan! Jangankan saya, presiden saja bisanya hanya sebatas prihatin!” jawab Lik Kaderi. Kang Badrun dan Kang Karli manggut-manggut serempak.

“Lantas, apa sebenarnya yang sedang Sampeyan pikir?” tanya Kang Karli.

“Hem …. Saya itu sedang memikirkan anak saya yang tahun ini mau menempuh Ujian Nasional!”

“Loh! Memangnya kenapa? Khawatir tidak lulus? Apa pula hubungannya kalau persoalan ini hanya bisa diselesaikan orang-orang besar? Anakmu pun sanggup mengatasinya!” sahut Kang Karli.

“Ujian nasional dan mentalitas korup itu sangat dekat hubungannya, Kang. Coba Sampeyan pikir, adakah orang-orang besar di negeri ini yang lahir tanpa melalui lembaga pendidikan? Dan Sampeyan tahu betapa amburadulnya pelaksanaan ujian nasional di negeri ini?” Diberondong pertanyaan retorik semacam itu, Kang Karli dan Kang Badrun hanya saling berpandangan.

Pertanyaan Lik Kaderi memang tidak butuh jawaban. Semua orang sudah tahu kacaunya pelaksanaan ujian nasional dari tahun ke tahun. Anak-anak negeri ini tidak pernah bisa mengembangkan kemampuan berpikirnya secara kritis dan kreatif. Pola berpikir mereka diseragamkan melalui  jawaban soal dalam bentuk pilihan ganda. Kalau jawaban mereka berbeda dengan kunci jawaban, sudah pasti dinyatakan salah. Sangat beralasan jika kemampuan literasi anak-anak negeri ini kalau diukur menggunakan soal-soal berstandar internasional jadi payah.

“Tapi, kok saya masih bingung ya hubungan antara pelaksanaan ujian nasional yang amburadul dengan korupsi?” tanya Kang Badrun.

“Begini loh, Kang! Ujian Nasional itu lebih mementingkan angka alias nilai ketimbang kemampuan bernalar! Artinya, hasil lebih diutamakan ketimbang proses. Akibatnya, banyak pemangku kepentingan yang berusaha keras bagaimana mendongkrak nilai ujian, bukan bagaimana anak berproses menemukan jawaban yang benar berdasarkan prinsip-prinsip keilmuan!”

“Istilah yang Sampeyan pakai hanya pas untuk orang-orang besar, Lik! Saya ndak mudheng, hehe ….!” Segah kang Badrun.

“Hehe …. Saya mulai agak ngeh dengan cara berpikir Lik Kaderi. Menurut saya begini, lho, Kang. Mereka yang bermental korup itu bisa jadi lantaran sistem ujian nasional di negeri kita selama ini tidak mendidik anak-anak negeri ini bersikap jujur. Bahkan, mereka cenderung menghalalkan segala cara untuk mendapatkan hasil ujian yang tinggi. Makanya, perilaku curang, seperti mencontek berjamaah, dapat bocoran kunci jawaban, dan semacamnya itu dianggap sebagai hal yang wajar. Perilaku curang semacam ini mereka bawa setelah mereka jadi pejabat alias orang besar. Melakukan korupsi, manipulasi data, dan mark-up anggaran sudah dianggap sebagai hal yang wajar,” jawab Kang Karli. Lik Kaderi manggut-manggut. Kang Badrun membelalakkan bola matanya.

“Oh, begitu, ya? Agak sedikit paham saya, hehe ….”

Begitulah obrolan sore di bawah guyuran hujan deras yang membadai di tengah perkampungan. Tiga warga kampung itu terus terlibat dalam perbincangan hangat di gardu poskamling yang berdiri kokoh di jantung kampung hingga menjelang azan Maghrib menggema. Entah apa lagi yang mereka obrolkan ketika tiba-tiba gendang telinga mereka menangkap suara kentongan beruntun pertanda banjir besar menghajar perkampungan.

“Celaka!” teriak mereka bertiga (hampir) bersamaan. Lantas, segera berjingkat dengan langkah tergesa-gesa menerobos hujan yang terus membadai. ***


Keteladanan Rasulullah di Tengah Krisis Kepemimpinan Nasional

$
0
0

Negeri ini agaknya tengah mengalami krisis kepemimpinan. Mereka yang tengah berada dalam lingkaran elite kekuasaan bukannya berjuang untuk menyejahterakan rakyat, melainkan justru terlena dan tenggelam dalam labirin kekuasan yang korup. Aset negara yang seharusnya dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat makin tak jelas rimbanya. Rakyat hidup dalam jeratan kemiskinan dan keterbelakangan. Kesenjangan sosial pun makin menganga lebar akibat kekayaan yang hanya dinikmati beberapa gelintir orang saja. Selebihnya, rakyat dibiarkan menikmati kelaparan dalam keseharian hidup mereka.

Dalam situasi seperti itu, ada juga yang nyeletuk, “Siapa suruh jadi orang miskin?” Hem … mereka lupa bahwa kemiskinan struktural yang menjerat nasib rakyat sejatinya lahir akibat sistem kekuasaan berbasis politik transaksional yang abai terhadap nasib rakyat. Negara yang seharusnya hadir di tengah-tengah rakyat yang hidup sengsara, tak pernah menunjukkan “kemauan politik” untuk dekat dan menyatu bersama mereka. “Manunggaling kawula-Gusti” sebagai salah satu pengejawantahan nilai kepemimpinan kian mengapung-apung dalam bentangan slogan dan retorika. Penguasa kian jauh dan berjarak dengan rakyat. Rakyat hanya dibutuhkan ketika calon-calon pemimpin bertarung untuk merebut kursi kekuasaan. Setelah itu, rakyat dilempar ke dalam lembah kemiskinan dan keterbelakangan agar tak mampu bangkit untuk melawan dan memberontak terhadap karakter penguasa yang zalim.

Berkali-kali negeri ini memutar ulang siklus lima tahunan untuk memilih sosok negarawan yang mampu membuat bangsa ini menjadi bangsa besar, terhormat, bermartabat, dan berbudaya. Namun, diakui atau tidak, kita belum juga menemukan sosok negarawan yang visioner dalam mengelola negara. Seorang presiden yang seharusnya menanggalkan “atribut” politiknya, justru malah disibukkan mengurusi persoalan-persoalan politik secara masif. Telinga rakyat dengan jelas menyimak suara sang presiden yang begitu masif meneriakkan yel-yel politik “primordial” dan “sektarian”. Mata rakyat dengan kasat mata menyaksikan jaket kebesaran politik sang presiden yang begitu mencolok di atas mimbar politik. Padahal, rakyat di negeri ini sangat plural dan majemuk pilihan politiknya. Sungguh tidak elok kalau seorang presiden yang tengah berkuasa justru disibukkan untuk mengurus persoalan-persoalan politik ketimbang mengurus rakyat.

Parpol

Sesungguhnya rakyat tidak “alergi” politik. Kalau dioptimalkan untuk menyejahterakan rakyat, politik akan mampu memuliakan martabat manusia. Namun, sebaliknya, jika hanya dimanfaatkan untuk memburu ambisi dan kepentingan kelompok tertentu, politik mampu merontokkan nilai-nilai luhur kemanusiaan.

Dalam konteks demikian, para elite negara seharusnya meneladani sifat-sifat Rasulullah yang shiddiq, amanah, fathonah, dan tabligh. Seorang pemimpin seharusnya memiliki karakter shiddiq yang senantiasa berkata benar. “Sabda pandhita ratu”, begitu kata orang Jawa. Apa yang dikatakan harus senantiasa terjaga kebenarannya untuk menumbuhkan kepercayaan rakyat. Seorang pemimpin juga mesti berkarakter amanah, yang sanggup menjalankan tugas-tugas kenegaraan yang telah dipercayakan kepadanya dengan baik. Rakyat mesti lebih diutamakan ketimbang kepentingan pribadi, keluarga, kelompok, lebih-lebih kepentingan politik. Sosok seorang pemimpin juga harus berkarakter fathonah; yang cerdas, visioner, kreatif, dan memiliki “nyali” besar dalam menghadapi setiap masalah. Yang tidak kalah penting, seorang pemimpin juga mesti berkarakter tabliqh yang senantiasa terbuka dan transparan dalam mengelola negara di depan rakyatnya.

Memang tidak mudah, bahkan mustahil, menemukan sosok pemimpin yang memiliki basis empat karakter secara sempurna sebagaimana tercermin dalam sosok kepemimpinan Rasulullah. Meski demikian, kita masih sangat berharap keteladanan Rasulullah bisa dijadikan sebagai kiblat bagi para pemimpin negeri ini dalam mengelola dan mengurus negara. Apa pun alasannya, karakter seorang pemimpin negara akan menjadi penentu nasib bangsa. Sebagus apa pun sebuah sistem perundang-undangan, peraturan, dan perangkat ketatanegaraan yang lain kalau karakter pemimpinnya makin jauh dari kiblat kepemimpinan Rasulullah, bangsa ini akan makin sulit untuk bangkit dari lembah keterpurukan. Sudah terlalu lama rakyat di negeri ini merindukan sosok pemimpin yang shiddiq, amanah, fathonah, dan tabligh sebagaimana tercermin dalam pribadi Rasululluh Muhammad SAW. ***

Dihujani Komentar Spam

$
0
0

Satu hal yang membuat spirit seorang blogger bisa terus asyik ngeblog adalah komentar pembaca, baik dari sahabat-sahabat blogger maupun pengunjung umum. Selain sebagai penanda silaturahmi, komentar juga bisa dimaknai sebagai sebuah perwujudan sikap responsif terhadap isi blog. Oleh karena itu, saya selalu menyambut positif setiap komentar yang masuk ke blog ini dan sebisa mungkin memberikan balasan sekaligus memberitahukannya kepada komentator via email dengan menggunakan plugin “Comment Email Reply”.

Namun, apa jadinya kalau komentar yang masuk ternyata bukan komentar yang dibuat dengan amat sadar untuk merespon isi blog, melainkan diproduksi secara massal oleh sebuah perangkat elektronik yang sering disebut sebagai komentar spam? Jujur saja, saya risih jika muncul komentar-komentar semacam itu. Dalam dua hari terakhir, blog ini dihujani komentar spam dari nickname yang tidak jelas identitasnya. Mereka menyerbu membabi buta. Dalam hitungan detik bisa mencapai puluhan dan dalam hitungan menit sudah terakumulasi menjadi ratusan jumlahnya.

Akismet yang saya andalkan untuk menjadi “Satpam” agaknya tak selalu berhasil menangkalnya. Selalu saja ada komentar yang lolos dan bertengger di halaman blog ini. Dari hasil browsing di mesin pencari, saya menemukan sebuah tulisan menarik di sini.

Konon, spam merupakan teknik pengiriman pesan dengan menggunakan perangkat elektronik secara bertubi-tubi tanpa dikehendaki oleh penerimanya. Pada mulanya teknik spam digunakan oleh perusahan-perusahaan untuk mempromosikan bisnisnya melalui advertising/iklan yang dikirimkan melalui pesan elektronik. Teknik ini dilakukan karena mereka tidak memiliki budget yang besar untuk biaya promosi melalui media cetak / media on air. Sejak tahun 90-an ketika internet mulai terbuka untuk publik, teknik spam menjadi permasalahan serius karena akan berdampak membanjirnya (flood) pesan-pesan di dalam kotak inbox pesan elektronik target yang dikirimi spam (kala itu yang terkenal adalah e-mail spam).

spam

Dalam perkembangannya kemudian, spam dikendalikan oleh sebuah software/aplikasi yang berfungsi untuk menjalankan aksi-aksi spam dari web robot. Bot bekerja dengan cara repetisi/melakukan pengulangan yang bisa diatur interval waktunya, baik target maupun aksi yang dilakukan.

Pada saat ini, pada web sosial-media seperti Facebook, Twitter, dll, sering dijumpai pada status yang baru saja diposting tiba-tiba dalam waktu kurang dari 1 detik sudah ada orang yang menjawab. Begitu pun pada status teman kita. Dan biasanya komentarnya pun sama, berulang pada interval waktu tertentu dan seringkali tidak ada hubungannya dengan status yang diposting. Seringkali juga ditemui baru saja kita memposting status, tiba-tiba dalam waktu kurang dari 1 detik sudah ada yang Like. Itu semua adalah ulah Bot.

Dampaknya bagi sebuah blog yang dihujani komentar spam? Ya, spam yang semula menjadi metode advertising/iklan kini berkembang menjadi sebuah metode untuk mengganggu, bahkan merusak. Target yang dikirimi spam, selain akan mengalami banjir data, bandwidth internetnya sebagian besar juga dihabiskan oleh spam, sehingga menyebabkan koneksi internetnya menjadi lemot, bahkan tidak menutup kemungkinan akhirnya koneksi internetnya putus karena sifat-sifatnya yang menggangu kenyamanan, bahkan tidak menutup kemungkinan untuk mengakibatkan kerusakan.

Ternyata berbahaya juga, bukan? ***

Lebih Bagus Tulisan Panjang atau Pendek?

$
0
0

Kalau pertanyaannya “suka” atau “tidak suka”, jawabannya sudah jelas. Pasti suka tulisan yang pendek. Di tengah kesibukan yang padat dengan jeda waktu yang amat minim, orang cenderung lebih suka memburu tulisan-tulisan pendek, langsung “to the point”. Tulisan-tulisan panjang, apalagi disesaki dengan setumpuk istilah yang membuat kening berkerutan, sudah pasti tidak disukai orang yang ingin memburu informasi sebanyak-banyaknya dalam waktu instan.

bloggerNamun, suatu ketika, tulisan panjang dengan deskripsi dan paparan detil, pasti juga akan diburu banyak orang. Saya tidak hendak mengatakan bahwa tulisan panjang jauh lebih bagus dan berkualitas ketimbang tulisan pendek. Banyak juga tulisan pendek yang mampu membuat orang “kecanduan”, apalagi dikemas dengan bahasa yang santai dan renyah. Pasti jauh lebih “gurih” rasanya. Ibarat cemilan tak segera membuat orang kenyang, meski bertubi-tubi melahapnya.

Meskipun demikian, esensi sebuah tulisan tak hanya berhenti sebatas “suka” atau “tidak suka”. Pada situasi tertentu orang sangat membutuhkan tulisan panjang yang bernas- berisi; lengkap dengan paparan detilnya. Taruhlah ketika orang tengah memburu informasi di sebuah “mesin pencari” tentang teknik penanaman pohon singon. Sudah bisa dipastikan bahwa mereka tak hanya sekadar butuh informasi tentang apa itu tanaman singon, ciri-ciri, dan manfaatnya, tetapi juga ingin memburu informasi lebih lengkap tentang proses penanamannya. Lantaran berurusan dengan masalah teknik, jelas paparan yang disampaikan tidak cukup hanya 2-3 paragraf. Seorang penulis membutuhkan banyak kosakata dan bahasa teks yang bisa dipahami dengan mudah oleh pembaca untuk mengungkapkan gagasan dan pikirannya.

Persoalannya sekarang, untuk postingan blog, lebih bagus yang panjang atau pendek? Tergantung “mood” dan kebutuhan. Jika ingin menulis yang ringan-ringan, semacam joke atau humor, mungkin akan lebih tepat jika ditulis pendek-pendek saja. Namun, jika ingin mengungkapkan persoalan-persoalan yang membutuhkan analisis serius, apalagi menggunakan pendekatan keilmuan, tentu tak cukup dituangkan dalam tulisan pendek. Demikian juga ketika menulis teks fiksi, semacam cerpen, misalnya, setidaknya ada sekitar 1.000-1.500-an kata. Redaksi koran pun biasanya sangat ketat dalam membatasi jumlah kata, bahkan termasuk jumlah karakternya; tidak terlalu pendek, tapi juga tidak terlalu panjang.

Apakah akan dibaca orang tulisan sepanjang itu? Saya pikir pembaca memiliki karakter yang berbeda-beda. Ada yang suka tulisan yang tuntas dikunyah sekali baca, tetapi tidak sedikit juga pembaca yang memburu tulisan yang membutuhkan renungan mendalam. Ada “passion” tinggi sang pembaca untuk mendapatkan asupan ruhaniah yang mencerahkan. Sepanjang dikemas dengan bahasa yang komunikatif dan mudah dipahami, tulisan sepanjang apa pun tak menyebabkan orang jenuh membacanya.

Kalau persoalannya demikian, haruskah seorang blogger memosting tulisan-tulisan panjang? Saya kira blogger masih menjadi sebuah hobi dan “profesi” yang merdeka. Tidak ada keharusan mesti begini atau begitu. Setiap blogger memiliki “style” yang berbeda-beda dalam berekspresi. Hal itu akan sangat ditentukan oleh karakter sang blogger yang bersangkutan. Mau memosting tulisan pendek serba-minimalis, tak seorang pun yang bisa melarangnya. Atau mau memosting tulisan panjang hingga kehabisan kosakata juga tak ada seorang pun, bahkan sebuah institusi, yang berhak melarangnya. Semuanya ditanggung sah dan halal sepanjang isinya tidak menimbulkan sikap tersinggung atau rasa sakit hati bagi pihak lain.

Yang agak dipertanyakan kalau seorang blogger tidak lagi meninggalkan jejak satu karakter pun di dalam blognya, hehehe … *bercanda*. Terlalu lama “hiatus” atau tenggelam dalam lini masa media sosial ternyata bisa membuat seorang blogger lupa kembali ke “habitat”-nya, haks. ***

Memasang Ikon Share-Social dan Counter secara Manual

$
0
0

Harus diakui, kehadiran media sosial, seperti Facebook, Twitter, Google+, Pinterest, atau Linkedin, saat ini berdampak besar terhadap popularitas dan trafik blog. Jejaring sosial tidak hanya bisa dimanfaatkan untuk update status, tetapi juga bisa dioptimalkan untuk memopulerkan sebuah blog. Bayangkan saja jika banyak sahabat kita yang menjadi follower, kemudian mengklik tautan tulisan yang kita pajang di jejaring sosial, bisa dipastikan kita akan mendapatkan keajaiban kunjungan yang tak terduga. Jejaring sosial bisa menjadi media “gethok tular” antar-follower yang “menakjubkan” sehingga jangkauan penyebaran blog kita menjadi jauh lebih luas. Tidak berlebihan apabila situs-situs bertrafik tinggi senantiasa memajang ikon share-social di setiap postingannya.

Kini, pemilik blog bermesin wordpress maupun blogspot makin mudah dalam memasang ikon share-social beserta counter-nya. WordPress, misalnya, telah menyediakan berbagai plugin share-social yang bisa didapatkan secara gratis. Demikian juga dengan blogspot, ada banyak pilihan widget yang bisa dimanfaatkan. Meski demikian, kita juga perlu mempertimbangkan kecepatan aksesnya. Di balik kemudahan yang ditawarkan, pemasangan ikon share-social bisa menimbulkan dampak yang kurang nyaman terhadap kecepatan akses blog. Loading menjadi lebih berat, bahkan lemot.

Sebagai pengguna mesin wordpress, untuk menyiasati lemot-nya loading blog, saya cenderung meminimalkan penggunaan plugin. Hanya ada 9 plugin yang saya pasang yang saya nilai cukup penting dan tidak berdampak besar terhadap kecepatan akses blog. Untuk sementara plugin W3 Total Cache yang selama ini saya nilai cukup bagus dalam menyimpan cache saya nonaktif-kan karena menimbulkan disfungsi terhadap berbagai fitur di dashboard.

Berikut adalah beberapa plugin yang masih saya pertahankan.
1. Akismet: untuk memfilter komentar spam yang dikendalikan spam-bot.
2. All In One SEO Pack: untuk mengoptimasi SEO blog.
3. Batch Cat: untuk mengedit kategori postingan secara massal.
4. Comment Reply Notification: untuk mengirimkan balasan komentar via email.
5. Delete-Revision: untuk menghapus arsip revisi tulisan yang tak terpakai secara massal.
6. SEO Smart Links: untuk mengoptimasi seo postingan berdasarkan judul, kategori, page, atau tag.
7. SRG Clean Archives: untuk membuat halaman arsip tulisan.
8. Twitter Like Box Widget: untuk memasang boks follower twitter.
9. WP No Frames: untuk mencegah penyalahgunaan trafik blog oleh blog lain.

Karena plugin share-social berdampak kurang baik terhadap kecepatan akses blog, maka saya berusaha menggantinya dengan memasang ikon secara manual. Memang agak repot karena berdasarkan hasil pencarian, masih sangat minim rujukan praktis yang bisa saya gunakan.

Ada dua tahap penting dalam memasang ikon share-social dan counter secara manual, yaitu menyiapkan image ikon yang kita butuhkan dan snippet (kode php)-nya. Baik ikon maupun snippetnya bisa kita cari di internet.

Berikut adalah langkah-langkah pemasangan ikon share-social dan counter secara manual versi saya.

1. Setelah mendapatkan image ikon yang kita butuhkan, seperti RSS, facebook, twitter, google+, pinterest, atau linkedin, gambar-gambar tersebut dikompress dengan teknik css-sprite. Saya menggunakan tool CSS Sprite Generator di spritegen.website-performance.org. CSS Sprites merupakan teknik CSS untuk menggabungkan beberapa file gambar (khusus gambar yang berdimensi kecil) menjadi satu gambar utuh. Tujuannya untuk mengurangi waktu delay download resource & HTTP Requests file-file gambar sebelum digabungkan. Dengan cara demikian, pemanggilan file gambar bisa berlangsung lebih cepat. Kelebihan CSS Sprite Generator, menurut saya, kita bisa mengunggah beberapa file gambar sekaligus dalam format winzip sehingga lebih praktis. Selain itu, juga disediakan kode css yang sesuai dengan style gambar yang telah kita unggah. Langkah selanjutnya adalah memodifikasi kode css agar kompatibel dengan performa blog kita. Jangan lupa, unggah juga ikon share social (RSS, facebook, twitter, google+, pinterest, dan linkedin) non-css sprite ke dalam folder image theme satu persatu. Ikon tersebut bisa diambil dari ikon share sebelum dikompress melalui css-sprite.

Berikut adalah kode css sprite yang saya gunakan di blog ini.

<style type="text/css">
.sprite-1rss-35 {background:url(alamat url gambar css sprite yang telah diunggah di folder image theme) 0 0; width:35px; height:35px;}.sprite-2facebook-35 {background:url(alamat url gambar css sprite yang telah diunggah di folder image theme) -37px 0px;width:35px; height:35px;}.sprite-3twitter-35 {background:url(alamat url gambar css sprite yang telah diunggah di folder image theme) -74px 0px;width:35px; height:35px;}.sprite-4googleplus-35 { background:url(alamat url gambar css sprite yang telah diunggah di folder image theme) -111px 0px;width:35px; height:35px;}.sprite-5pinterest-35 { background:url(alamat url gambar css sprite yang telah diunggah di folder image theme) -148px 0px;width:35px; height:35px;}
.sprite-6linkedin-35 { background:(alamat url gambar css sprite yang telah diunggah di folder image theme) -185px 0px;width:35px; height:35px;}.sprite-7email-35 { background:(alamat url gambar css sprite yang telah diunggah di folder image theme) -222px 0px;width:35px; height:35px;}
</style>

Kode tersebut dipasang di header.php sebelum kode </head>. Sebelum kode css dipasang, gambar hasil css-sprite diunggah dan disatukan dalam folder images theme yang digunakan. Info detil tentang kode css-sprite bisa ditemukan dengan mudah di mesin pencari. Selanjutnya, kita gabungkan ikon share social dengan url-nya seperti berikut ini!

<div style="margin:-5px 0 -25px 0;text-align:center"><span style="margin-right:-30px"><a href="isi alamat feed/rss" target="_blank"><img class="sprite-1rss-35" style="box-shadow:none !important" src="isi alamat url ikon feed/rss non-css sprite yang telah diunggah dalam folder image theme" alt="RSS" width="35" height="35" /></a></span><span style="margin-right:-30px"><a href="http://www.facebook.com/sharer.php?u=<?php the_permalink();?>&amp;t=<?php echo urlencode(get_the_title($id)); ?>" target="_blank"><img style="box-shadow:none !important" class="sprite-2facebook-35" src="isi alamat url ikon facebook non-css sprite yang telah diunggah dalam folder image theme" alt="facebook" width="35" height="35" /></a></span><span style="margin-right:-30px"><a href="http://twitter.com/home?status=<?php echo urlencode("Luangkan waktu untuk membaca tulisan menarik ini: "); ?><?php the_permalink(); ?>" target="_blank"><img style="box-shadow:none !important" class="sprite-3twitter-35" src="isi alamat url ikon twitter non-css sprite yang telah diunggah dalam folder image theme" alt="twitter" width="35" height="35" /></a></span><span style="margin-right:-30px"><a href="https://plus.google.com/share?url=<?php the_permalink(); ?>" onclick="javascript:window.open(this.href,
'', 'menubar=no,toolbar=no,resizable=yes,scrollbars=yes,height=600,width=600');return false;" target="_blank"><img class="sprite-4googleplus-35" style="box-shadow:none !important" src="isi alamat url ikon google+ non-css sprite yang telah diunggah dalam folder image theme" alt="google+" width="35" height="35" /></a></span>
<span style="margin-right:-30px"><a href='javascript:void((function()%7Bvar%20e=document.createElement(&apos;script&apos;);
e.setAttribute(&apos;type&apos;,&apos;text/javascript&apos;);e.setAttribute(&apos;charset&apos;,
&apos;UTF-8&apos;);e.setAttribute(&apos;src&apos;,&apos;http://assets.pinterest.com/js/pinmarklet.js?
r=&apos;+Math.random()*99999999);document.body.appendChild(e)%7D)());'><img style="box-shadow:none !important" class="sprite-5pinterest-35" src="isi alamat url ikon pinterest non-css sprite yang telah diunggah dalam folder image theme" alt="pinterest" width="35" height="35" /></a></span><span style="margin-right:-30px"><a href="http://www.linkedin.com/shareArticle?mini=true&amp;url=<?php the_permalink() ?>&amp;title=<?php the_title(); ?>&amp;summary=&amp;source=<?php bloginfo('name'); ?>" target="_blank"><img style="box-shadow:none !important" class="sprite-6linkedin-35" src="isi alamat url ikon linkedin non-css sprite yang telah diunggah dalam folder image theme" alt="linkedin" width="35" height="35" /></a></span><span style="margin-right:0px"><a href="http://feedburner.google.com/fb/a/mailverify?uri=feedburner/CatatanSawaliTuhusetya&amp;loc=en_US" target="_blank"><img style="box-shadow:none !important" class="sprite-7email-35" src="isi alamat url ikon email non-css sprite yang telah diunggah dalam folder image theme" alt="email" width="35" height="35" /></a></span></div>

Kode tersebut dipasang di single.php. Posisinya bisa disesuaikan dengan struktur post theme yang digunakan.

2. Tahap pemasangan kode snippet counter share-social saya anggap agak ribet dan merepotkan. Kita perlu melakukan teknik “trial and error” untuk menghasilkan visualisasi ikon dan counter share-social yang sesuai selera. Agar bisa memasang counter share-social kita perlu mendapatkan kode API key dengan melakukan sign-up di sini. Sedangkan, snippet bakunya bisa kita dapatkan di sini.

Berikut adalah kode bakunya:

<?php
$url = ((!empty($_SERVER['HTTPS'])) ? "https://": "http://" ) . $_SERVER['SERVER_NAME'].$_SERVER['REQUEST_URI'];
$json = file_get_contents("http://api.sharedcount.com/?url=" . rawurlencode($url) . "&apikey=XXXXXXX");
$counts = json_decode($json, true);
echo "This page has " . $counts["Twitter"] ." tweets, " . $counts["Facebook"]["like_count"] . " likes, and ". $counts["GooglePlusOne"] . "+1's";
?>

Keterangan: silakan ganti kode XXXXXXX dengan kode api yang telah kita dapatkan.

Langkah selanjutnya adalah menggabungkan, ikon share-social dan counternya. Berikut adalah snippet lengkap yang saya pasang di single.php.

<div style="margin:-5px 5px -12px -15px;padding:10px;text-align:left;font:normal 12px arial;">
<table><tr><td><div style="width:80px;background:#eee;border:1px solid #bbb;box-shadow:3px 3px 3px #666;margin:0px 10px 0px 115px;padding:9px 5px 7px 5px;text-align:center;"><iframe src="//www.facebook.com/plugins/like.php?href=<?php the_permalink() ?>&amp;width&amp;layout=button_count&amp;action=like&amp;show_faces=false&amp;share=false&amp;height=21&amp;appId=265048624250" scrolling="no" frameborder="0" style="border:none; overflow:hidden; height:21px;" allowTransparency="true"></iframe></div></td><td>
<div style="background:#eee;width:20px;height:auto;margin:0px 10px 0px -8px;padding:5px 10px 5px 10px;text-align:center;border:1px solid #bbb;box-shadow:3px 3px 3px #666;">
<?php
$url = ((!empty($_SERVER['HTTPS'])) ? "https://": "http://" ) . $_SERVER['SERVER_NAME'].$_SERVER['REQUEST_URI'];
$json = file_get_contents("http://api.sharedcount.com/?url=" . rawurlencode($url) . "&apikey=XXXXXXX");
$counts = json_decode($json, true);
echo " " . $counts["Twitter"] ." ";
?><span style="margin:0 0 0 -7px;padding:0px;text-align:center;font:bold 11px arial"><a href="http://twitter.com/home?status=<?php echo urlencode("Luangkan waktu untuk membaca tulisan menarik ini: "); ?><?php the_permalink(); ?>" target="_blank">Tweet</a></span></div></td>
<td>
<div style="background:#eee;width:20px;height:auto;margin:0px 10px 0px -8px;padding:5px 10px 5px 10px;text-align:center;border:1px solid #bbb;box-shadow:3px 3px 3px #666;"><?php
$url = ((!empty($_SERVER['HTTPS'])) ? "https://": "http://" ) . $_SERVER['SERVER_NAME'].$_SERVER['REQUEST_URI'];
$json = file_get_contents("http://api.sharedcount.com/?url=" . rawurlencode($url) . "&apikey=XXXXXXX");
$counts = json_decode($json, true);
echo " ". $counts["GooglePlusOne"] . " ";
?><span style="margin:0px;padding:0px;text-align:center;font:font:bold 11px arial"><a href="https://plus.google.com/share?url=<?php the_permalink(); ?>" onclick="javascript:window.open(this.href,
'', 'menubar=no,toolbar=no,resizable=yes,scrollbars=yes,height=600,width=600');return false;" target="_blank">G+s</a></span></div></td>
<td>
<div style="background:#eee;width:20px;height:auto;margin:0px 10px 0px -8px;padding:5px 10px 5px 10px;text-align:center;border:1px solid #bbb;box-shadow:3px 3px 3px #666;">
<?php
$url = ((!empty($_SERVER['HTTPS'])) ? "https://": "http://" ) . $_SERVER['SERVER_NAME'].$_SERVER['REQUEST_URI'];
$json = file_get_contents("http://api.sharedcount.com/?url=" . rawurlencode($url) . "&apikey=XXXXXXX");
$counts = json_decode($json, true);
echo " " . $counts["Pinterest"] ." ";
?><span style="margin:0px;padding:0px;text-align:center;font:font:bold 11px arial"><a href='javascript:void((function()%7Bvar%20e=document.createElement(&apos;script&apos;);
e.setAttribute(&apos;type&apos;,&apos;text/javascript&apos;);e.setAttribute(&apos;charset&apos;,
&apos;UTF-8&apos;);e.setAttribute(&apos;src&apos;,&apos;http://assets.pinterest.com/js/pinmarklet.js?
r=&apos;+Math.random()*99999999);document.body.appendChild(e)%7D)());'>PIN</a></span></div></td>
<td>
<div style="background:#eee;width:20px;height:auto;margin:0px 10px 0px -8px;padding:5px 10px 5px 10px;text-align:center;border:1px solid #bbb;box-shadow:3px 3px 3px #666;">
<?php
$url = ((!empty($_SERVER['HTTPS'])) ? "https://": "http://" ) . $_SERVER['SERVER_NAME'].$_SERVER['REQUEST_URI'];
$json = file_get_contents("http://api.sharedcount.com/?url=" . rawurlencode($url) . "&apikey=XXXXXXX");
$counts = json_decode($json, true);
echo " " . $counts["LinkedIn"] ." ";
?><span style="margin:0px;padding:0px;text-align:center;font:font:bold 11px arial"><a href="http://www.linkedin.com/shareArticle?mini=true&amp;url=<?php the_permalink() ?>&amp;title=<?php the_title(); ?>&amp;summary=&amp;source=<?php bloginfo('name'); ?>" target="_blank">INs</a></span></div></td>
<td>
<div style="background:#eee;width:20px;height:auto;margin:0px 10px 0px -8px;padding:5px 10px 5px 10px;text-align:center;border:1px solid #bbb;box-shadow:3px 3px 3px #666;">
<?php
$obj=new shareCount(get_permalink( $post->ID ));
echo $obj->get_tweets() + $obj->get_plusones() + $obj->get_fb() + $obj->get_stumble() + $obj->get_pinterest() + $obj->get_delicious() + $obj->get_linkedin();
?><br /><span style="margin:0px 0 0 -5px;padding:0px;text-align:center;font:bold 11px arial"><a href="http://www.stumbleupon.com/submit?url=<?php the_permalink(); ?>&amp;title=<?php echo urlencode(get_the_title($id)); ?>" target="_blank">Share</a></span></div></td></tr></table></div>

Keterangan: ganti kode XXXXXXX dengan kode api key dari sharedcount.com

Modifikasi kode snippet menghasilkan screenshot berikut ini.

social counter

Memang agak ribet, tetapi memberikan pengaruh yang cukup signifikan terhadap akses blog. Loading menjadi lebih enteng. Hal itu bisa dilihat berdasarkan skor di gtmetrix.com atau tools.pingdom.com.

Berikut screenshotnya:

gtmetrix
pingdom

Speed post dengan satu gambar hanya beda sedikit dengan speed home-page-nya yang memiliki Page Speed Grade: A (99%) dan YSlow Grade: A (98%). Dengan memasang share social dan counter secara manual mudah-mudahan trafik blog semakin meningkat tanpa kehilangan kecepatan akses secara optimal. ***

Hasil Wawancara dengan Wartawan KoranSindo Jateng

$
0
0

Jumat, 31 Januari 2014, pukul 14.00 WIB, Wikha Setiawan, seorang wartawan Koran Sindo Jateng, datang ke rumah. Ia bermaksud mewawancarai saya seputar aktivitas ngeblog yang saya lakukan sejak 2007. Tentu saja saya tak kuasa menolaknya. Hasil wawancara dan testimoni putri sulung saya serta seorang teman sastrawan Kendal dimuat di KoranSindo Jateng edisi Minggu, 2 Februari 2014 (halaman 20) pada rubrik Lebih Dekat dengan ….

Berikut hasil wawancara dan testimoni yang telah diolah oleh Wikha Setiawan.

Sawali Tuhusetya, Guru SMPN 2 Pegandon, Kendal

Taklukkan Internet demi Kemajuan Anak Didik

Menjadi seorang guru bukanlah hal yang mudah, apalagi berhadapan dengan kemajuan teknologi yang serba digital. Selain mencerdaskan, guru juga harus bertanggung jawab mempersiapkan mental anak didiknya supaya tangguh di era yang akan datang.

Sawali Tuhusetya, merupakan salah seorang guru yang kerap memberikan opini untuk kemajuan pendidikan Tanah Air melalui blog di internet. Bloggger yang mengabdikan diri sebagai guru di SMPN 2 Pegandon, Kendal ini menerima sejumlah penghargaan atas aktivitasnya itu. Lalu, apa yang sebenarnya ingin dicapai Sawali melalui tulisan-tulisannya di blog untuk dunia pendidikan Indonesia? Berikut ini petikan wawancara KORANSINDO JATENG dengan Sawali.

Koran Sindo JatengKoran Sindo Jateng
 
Internet identik dengan hal negatif. Bagaimana menurut Anda dengan adanya internet?

Internet sekarang ini sudah menjadi media virtual. Jadi, itu tergantung orang yang menggunakannya. Seperti halnya media lain, saya pikir internet ketika dimanfaatkan secara positif akan banyak hal-hal yang kita dapatkan di luar dugaan. Namun, ketika digunakan oleh orang-orang iseng atau digunakan untuk hal yang negatif, internet juga akan menjadi sesuatu yang sangat tidak bermanfaat.

Sejak 1990-an kita ini merupakan generasi digital native, penduduk asli dunia virtual. Tak heran jika generasi sekarang akrab dengan piranti internet seperti facebook, twitter, blog, dan lain sebagainya. Situasi itu tidak mungkin kita tolak. Untuk itu, internet tetap memberikan kita manfaat, melalui internet kita secara cepat mendapatkan informasi.

 

Lalu, apa kaitannya dengan dunia pendidikan di Indonesia?

Nah, seperti yang saya katakan tadi, generasi sekarang adalah digital native sehingga perlu adanya kesadaran bagi pendidik atau guru untuk bisa mengarahkan generasi sekarang supaya bisa memanfaatkan internet dengan baik. Kalau generasi sekarang tidak mendapat arahan secara baik, tentu ke depan generasi kita akan rusak.

Tidak harus dilarang, kalau dilarang justru mereka akan melakukan tindakan-tindakan di luar pengawasan kita sehingga justru tidak baik tadi. Siswa kita arahkan, saya yakin mereka dapat memanfaatkan internet ini demi kebaikan masa depan mereka.

 

Hal itu pula yang membuat Anda aktif menyampaikan gagasan melalui internet?

Awalnya saya ini memang suka menulis. Sering tulisan-tulisan saya itu dimuat di beberapa media cetak, terutama di majalah pendidikan. Namun, banyak juga tulisan saya yang tidak dimuat karena kebijakan redaksi. Padahal, tulisan itu saya buat dengan serius dan banyak menghabiskan stamina. Nah, mulai saat itu saya berpikir tidak mau tergantung dengan kebijakan redaksi. Akhirnya saya memilih menjadi redaksi bagi diri sendiri menuangkan gagasan dengan membuat blog.

 

Sejak kapan Anda nge-blog?

Mulai nge-blog tahun 2007. Saat itu jaringan internet masih terbatas sehingga untuk mencari informasi yang saya butuhkan harus lari ke waret (warung internet) yang jaraknya cukup jauh. Pada 2008, akhirnya saya pasang saluran antena internet sendiri di rumah mengingat kebutuhan untuk menghidupi blog saya. Selain itu, nge-blog merupakan aktivitas saya di sela-sela saya sebagai guru.

 

Apa saja gagasan yang ingin Anda sampaikan lewat blog?

Pada prinsipnya ada tiga hal yang saya bidik, yakni budaya, sastra, dan pendidikan. Namun, memang terkesan lebih banyak untuk perkembangan pendidikan Indonesia. Lewat blog ini, saya ingin bertukar pikiran dengan guru lain untuk memajukan dunia pendidikan. Saya berpikir, menjadi seorang guru harus punya visi dan misi ke depan lebih baik. Selain itu, guru bukan hanya menyampaikan kurikulum, melainkan juga harus bisa menjadi inspirasi bagi generasi sekarang.

 

Bagaimana pandangan Anda tentang pendidikan Indonesia sekarang?

Dunia pendidikan sekarang semakin rumit dan kompleks. Tidak hanya pada persoalan menghadapi dunia digital, tapi juga rentan dimasuki politik. Untuk itu, seorang guru harus update perkembangan dan pengetahuan diri sendiri supaya mampu menghadapi persoalan yang dihadapi. Sudah banyak tulisan yang saya tuangkan di blog, itu wujud saya untuk sharing demi kemajuan pendidikan Indonesia.

Pada prinsipnya, saya ingin guru harus cerdas, arif, dan matang dalam hal pengetahuan. Nah, kecerdasan guru yang juga harus ditularkan kepada anak didiknya ada empat, yakni kecerdasan intelektual, emosional, spiritual, dan sosial. Empat kecerdasan ini menjadi penting untuk guru dan pembekalan anak didiknya.

 

Sejauh mana blog Anda mempengaruhi dunia pendidikan di Indonesia?

Blog itu kan menjadi salah satu media virtual. Melalui blog ini tentu ada sesuatu yang ingin saya sampaikan kepada publik. Selama ini internet merupakan alat komunikasi yang cepat dan mudah. Nah, blog juga alat komunikasi yang mudah sekaligus jangkauannya sangat luas. Setidaknya, blog yang berisi tulisan-tulisan saya itu mampu memberikan pencerahan dan inspirasi rekan sejawat.

 

Bagaimana dengan keluarga?

Keluarga sangat mendukung sekali. Istri saya sangat tahu kegemaran saya menulis. Selain itu, saya juga masih meluangkan banyak waktu untuk keluarga, terutama, anak-anak.

 

Bagaimana harapan Anda ke depan?

Harapannya, semua guru bisa nge-blog. Ya, karena guru harus memiliki sisi kompetensi pedagogik, profesional, kepribadian, dan sosial. Saya juga berharap Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bisa memperhatikan upaya guru membuat blog karena saya pikir ini akan berdampak positif bagi dunia pendidikan.

 

Biodata:

Nama : Sawali
Lahir : Grobogan, 19 Juni 1964
Pekerjaan : Guru SMP Negeri 2 Pegandon, Kendal
Alamat : Perum BTN C-21 RT 03/RW X Langenharjo, Kendal
Website : http://sawali.info
Istri : Sri Wahyu Utami
Anak : Galih Nirmalahesti, Tuhusetia Mahardhika, Yusa Wahid Gifari
Pendidikan : SD Nampu 2 Karangrayung, Grobogan (1977), SMP Pemda Telawah, Karangrayung, Grobogan (1981), SPG Negeri Purwodadi, Grobogan (1984), S1 IKIP Negeri Semarang, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (1988), S2 Universitas Negeri Semarang, Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia (2005)
Pekerjaan : Guru Bahasa Indonesia SMA Islam Karangrayung, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, 1990-1995, Guru Bahasa Indonesia SMP Negeri 2 Pegandon-Kendal, 1995 sampai sekarang
Karya Buku : Buku Bahasa dan Sastra Indonesia untuk SD/MI diterbitkan oleh PT Citra Aji Parama Yogyakarta (2004), Buku Bahasa dan Sastra Indonesia untuk SMP/MTs diterbitkan oleh PT Citra Aji Parama Yogyakarta (2005),  Buku kumpulan cerpen Perempuan Bergaun Putih diterbitkan oleh Bukupop dan Maharini Press (2008)

 

Hobi Wayang Kulit via Radio Streaming

 

Sawali Tuhusetya hampir tidak punya waktu banyak untuk bersantai. Selain sibuk mengabdikan diri sebagai guru SMPN 2 Pegandon, Kendal, dia juga kerap menghabiskan waktu di hadapan laptop untuk menuangkan gagasan yang kemudian di-posting di blog miliknya.

Dia juga punya satu kegemaran yang biasa dilakukan pada malam hari, yakni mendengarkan pertunjukan wayang kulit lewat radio. Menurutnya, wayang kulit dengan musik gamelan mampu me-refresh pikiran dan penat setelah seharian penuh dengan aktivitas. “Ya, saya sangat suka wayang kulit, dengan suara gamelannya. Kebetulan saya punya radio streaming di rumah,” ujar Sawali yang pernah menjadi nominator blog terbaik dari Indonesia dalam Kompetisi Blog Internasional The BOBs 2012 yang dilaksanakan di Berlin, Jerman.

Kegemaran itu juga karena pria kelahiran Grobogan, 19 Juni 1964 ini memang dikenal sebagai sastrawan di Kabupaten Kendal. Jiwa seninya itu membuatnya dipercaya menjadi Ketua Bidang Pengembangan SDM Seniman Dewan Kesenian Kabupaten Kendal (DK-2). “Wayang kulit itu pertunjukan yang sangat berbeda dibanding tontonan sekarang,” ujar peraih penghargaan dari Menteri Pendidikan Nasional sebagai Penulis Artikel Pendidikan Terbaik di Media Cetak dalam rangka Memperingati Hari Pendidikan Nasional 2004 ini.

Sawali menambahkan, wayang kulit selain memiliki bentuk artistik yang diciptakan dalang, juga memiliki cerita yang penuh dengan nilai moral bagi bangsa ini.  “Banyak ajaran yang baik dalam pertunjukan wayang kulit. Wayang juga merupakan kesenian peninggalan nenek moyang yang harus dilestarikan. Kelebihan lain, wayang kulit terdapat adegan goro-goro, yang pada prinsipnya memberikan pencerahan melalui guyonan,” papar peraih juara I Lomba Blog Kebahasaan dan Kesastraan yang digelar Badan bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 2012 ini.

 

:: TESTIMONI

SLAMET PRIYATIN (Sastrawan Kendal)

Mumpuni tapi Tak Jumawa

Kenal dengan Pak Sawali sejak terjun ke dunia kesenian di Kabupaten Kendal. Saat ini dia menjabat Ketua Bidang Pengembangan SDM Seniman Dewan Kesenian Kabupaten Kendal (DK-2), sedangkan saya di Komisi Sastra.

Selama ini Pak Sawali dikenal oleh para seniman sebagai orang tua yang dapat memberikan suri teladan yang baik bagi seniman muda Kendal. Meskipun memiliki berbagai pengalaman, dia tidak jumawa dan tetap menghormati yang lebih tua serta membimbing yang lebih muda. Menurut saya, Kendal sangat beruntung memiliki dia. Kepribadian dan pengetahuan yang mumpuni itu, beliau salurkan kepada generasi sekarang, terutama anak didiknya di SMPN 2 Pegandon.

Satu hal yang juga patut dicontoh adalah dia selalu memberikan semangat seniman muda untuk tetap berkarya. Di antaranya sering menghadiri berbagai acara kesenian di Kabupaten Kendal.

 

GALIH NIRMALAHESTI (Putri Sulung Sawali)

Pendidikan Jadi Nomor Satu

Bapak merupakan orang tua yang sangat baik. Dia selalu memberikan kesempatan untuk keluarga dan anak-anaknya berpendapat. Selain itu, selalu mendiskusikan sesuatu untuk menemukan solusi ketika berbeda pendapat.

Pada prinsipnya, bapak merupakan orang tua yang demokratis. Selain itu, bagi bapak, pendidikan adalah hal yang paling utama. Biaya sekolah semahal apa pun akan dipenuhi demi keberhasilan anaknya di dunia pendidikan. Itu karena pendidikan merupakan bekal utama mengarungi kehidupan di masa mendatang.

Keinginan dan semangatnya tersebut selalu disampaikan kepada anak-anaknya sehingga saya dan kedua adik saya sangat termotivasi memberikan yang terbaik bagi keluarga, terutama dalam menempuh pendidikan.

Hasil Wawancara dengan Pengurus ISPI

$
0
0

(Beberapa waktu yang lalu, redaksi web ispi.or.id (melalui Pak Deni Kurniawan Asy’ari) menyodorkan beberapa pertanyaan kepada saya melalui email. Hasil wawancara tersebut akan dimuat di web ISPI (Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia). Lagi-lagi, saya tak kuasa menolaknya. Berikut hasil wawancara selengkapnya yang sudah dipublikasikan di sini)

Menjadi Guru Inspiratif, Tekad dari Sawali Tuhusetya

Pendidikan

Oleh: Sawali Tuhusetya

Dalam rangka menginspirasi para sarjana pendidikan di tanah air, redaksi web ISPI akan menampilkan tokoh-tokoh sarjana pendidikan dari kalangan guru, dosen, pengawas, widyaiswara dan profesi lainnya.

Kali ini tokoh yang ditampilkan dan diwawancarai adalah salah satu guru SMPN 2 Pegandon, Kendal, Jateng bernama Drs. Sawali, M.Pd. Beliau memiliki dedikasi, prestasi dan karya yang patut dicontoh di bidang kepenulisan dan dunia blogger.

Berikut profil singkatnya. Drs. Sawali, M.Pd lahir pada 19 Juni 1964, di sebuah dusun di Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Ayah dari tiga anak—-Galih Nirmalahesti, Tuhusetia Mahadhika, dan Yusa Wahid Gifari itu telah melahirkan karya buku diantaranya Buku Bahasa dan Sastra Indonesia untuk SD/MI (PT Citra Aji Parama Yogyakarta, 2004), Buku Bahasa dan Sastra Indonesia untuk SMP/MTs (PT Citra Aji Parama Yogyakarta, 2005), Buku kumpulan Cerpen Perempuan Bergaun Putih (Bukupop dan Maharini Press, 2008).

Lulusan terbaik Program Pascasarjana Prodi Pendidikan Bahasa Indonesia UNNES Tahun 2005 tersebut sejak kecil telah berminat dan bercita-cita menjadi guru berkat sugesti yang begitu kuat dari guru-guru SD di kampungnya. Tulisan-tulisan suami Sri Wahyu Utami ini dapat dibaca di situs pribadinya www.sawali.info.

Sebagian prestasi yang pernah dicapai mantan Ketua MGMP Bahasa Indonesia SMP Kendal yang telah meraih golongan IV B itu diantaranya Juara 2 Sayembara Mengarang tentang Pengajaran Sastra untuk Guru SLTP se-Indonesia (1998), Juara 1 Lomba Karya Tulis Peningkatan Imtaq Siswa bagi Guru SLTP/SMU/SMK Tingkat Nasional (2000), Penghargaan dari Menteri Pendidikan Nasional dalam memperingati Hardiknas sebagai lima penulis artikel pendidikan terbaik di media cetak tingkat nasional (2004), Juara 2 Lomba Guru Berprestasi tingkat kabupaten Kendal (2004), Juara 1 Lomba Inovasi Pembelajaran SMP Tingkat Nasional Bidang Studi Bahasa Indonesia (2006), Anugerah Gatra Bakti Budaya sebagai seniman berprestasi Kab. Kendal (2006), Juara 1 Guraru Award sebagai penghargaan tahunan kepada guru-guru terpilih yang dinilai telah memanfaatkan teknologi dengan efektif dan kreatif (2011), Juara 1 Lomba Blog Kebahasaan dan Kesastraan, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2012), dan memperoleh Anugerah Insan Pendidikan Terpuji kategori Guru, penulis buku, sastrawan, dan blogger sejati tahun 2013 dari LPMP Jateng.

Berikut hasil wawancara lengkap redaksi dengan beliau.

Boleh tahu, apa prinsip hidup yang bapak pegang selama ini dalam menjalankan tugas sebagai seorang guru?

Guru adalah dunia panggilan. Peran guru tak hanya sebatas menjadi guru kurikulum yang ruang kerjanya dibatasi tembok ruang kelas, tetapi juga menjadi guru inspiratif dalam ruang kreativitas yang (nyaris) tak terbatas hingga mampu memberikan inspirasi kepada peserta didiknya agar kelak menjadi generasi masa depan yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga cerdas secara emosional, spiritual, dan sosial.

Siapa tokoh yang menginspirasi bapak sehingga menjadi tokoh hebat seperti sekarang?

Terlalu berlebihan kalau predikat itu disandangkan buat saya. Saya guru biasa dan belum menjadi seorang tokoh, apalagi dengan embel-embel “hebat”, hehe …. Ki Hajar Dewantoro adalah tokoh pendidikan yang hingga kini mengilhami saya agar dunia pendidikan memberikan kontribusi besar dalam mengakrabkan anak pada lingkungan sosial dan kulturalnya. Gagasan-gagasan Ki Hajar Dewantoro yang lebih membumi perlu terus direvitalisasi agar dunia pendidikan di negeri ini mampu melahirkan generasi masa depan yang cerdas dan kreatif, tanpa kehilangan basis kulturalnya. Tagline “Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, dan tut wuri handayani” yang dikembangkan oleh almarhum memiliki nilai filosofis yang sangat kontekstual dengan dinamika dunia pendidikan yang kini sedang berada dalam pusaran arus global yang kian rumit dan kompleks. Dunia pendidikan kita perlu kembali ke “khittah”-nya sebagai pusat kebudayaan yang berpandangan visioner dengan tetap berpijak pada akar tradisi dan budaya bangsa.

Boleh bapak berbagi bagaimana awal mula tertarik untuk menjadi seorang guru yang suka menulis?

Ketertarikan saya pada dunia menulis berawal ketika saya duduk di bangku SPG Purwodadi-Grobogan, Jawa Tengah, sekitar awal tahun 1980-an. Saat itu saya suka membaca buku-buku fiksi yang tersedia di perpustakaan sekolah. Kegemaran membaca saat itu ternyata memberikan pengaruh yang sangat kuat terhadap saya untuk bisa menulis. Pertanyaan yang selalu menggelisahkan saat itu, “Bisakah saya menulis seperti para pengarang yang karya-karyanya saya baca?” Entah, sejak saat itu saya semakin rakus membaca, entah itu puisi, novel, cerpen, artikel, dan berbagai jenis bacaan lain. Dan sejak saat itu saya seperti punya “passion” besar agar bisa menulis. Namun, lantaran minimnya media saat itu, saya hanya menulis apa yang melintas di kepala dan akhirnya masuk ke laci. Nah, suatu ketika saya iseng-iseng mengirim puisi ke sebuah Radio Pemda setempat yang membuka ruang sastra. Tanpa saya duga, ternyata puisi saya dibacakan secara ekspresif oleh penyiar radio. Jujur saja, saya sangat bangga saat itu.

Bisa ceritakan sedikit tentang masa-masa sekolah atau kuliah bapak dulu yang mungkin berkaitan dengan salah satu alasan untuk menulis?

Gairah saya agar bisa menulis ternyata tak pernah mati. Selepas SPG saya melanjutkan belajar ke IKIP Negeri Semarang. Waktu kuliah saya banyak bergaul dengan teman-teman dan kakak angkatan yang lebih dulu eksis menulis. Saya banyak belajar dan menimba pengalaman dari mereka bagaimana agar tulisan saya bisa dimuat di media cetak yang saat itu sangat bergengsi bagi anak kuliahan. Dan alhamdulillah, cerpen saya “Santhet” dimuat di sebuah koran sore sekitar tahun 1987. Dimuatnya cerpen itu membuat “adrenalin” saya dalam menulis semakin terpacu hingga akhirnya tulisan-tulisan saya berikutnya berhasil dimuat di koran lokal. Tak hanya cerpen, tetapi juga artikel, esai sastra, dan beberapa liputan budaya. Honor menulis saya gunakan untuk membeli mesin ketik butut agar saya bisa terus menulis tanpa harus pinjam mesin ketik milik teman. Akhirnya, saya berkesimpulan bahwa menulis ternyata bisa juga mendatangkan uang untuk menutup kebutuhan anak kuliahan tanpa harus bergantung sepenuhnya pada orang tua.

Menurut bapak mengapa sampai saat ini masih banyak guru yang kesulitan untuk menulis?

Persoalan sebenarnya bukan sulit atau mudah, mampu atau tidak mampu, melainkan mau menulis atau tidak. Saya kira guru memiliki bekal yang cukup untuk bisa menulis. Mereka pernah menulis skripsi, bahkan tesis. Ini artinya, tidak ada alasan bagi seorang guru untuk tidak bisa menulis. Persoalan substansinya terletak pada upaya untuk menciptakan passion dan atmosfer dalam menulis. Guru yang memiliki hasrat untuk menulis, menurut saya, perlu menciptakan gairah dan atmosfer kepenulisan yang kuat dari dalam dirinya. Buktinya, banyak rekan sejawat yang sukses menjadi penulis karena keberhasilan mereka dalam memotivasi dirinya sendiri dalam menulis.

Apa yang sebaiknya dilakukan pemerintah agar guru mampu menulis?

Menulis sebenarnya wilayah privat. Aktivitas menulis lebih banyak terkait dengan gairah seseorang untuk bereksistensi diri. Meminjam bahasa Abraham Maslow, menulis termasuk tingkat kebutuhan seseorang untuk beraktualisasi diri. Ini artinya, aktivitas menulis sepenuhnya menjadi hak privat seseorang untuk bereksistensi dan beraktualisasi diri. Kalau toh pemerintah harus turun tangan, peran mereka adalah memberdayakan kemampuan guru agar benar-benar eksis menulis, untuk selanjutnya memberikan ruang dan media bagi guru untuk menulis, serta memberikan reward yang layak bagi guru yang tulisan-tulisannya memiliki kontribusi besar dalam memajukan dunia pendidikan. Jika situasi seperti ini dibangun dengan amat sadar oleh pemerintah, saya kira akan makin banyak guru yang berbondong-bondong untuk aktif menulis.

Apa yang sebaiknya dilakukan organisasi profesi seperti PGRI agar guru mampu menulis?

Saya tidak tahu persis apakah dalam kepengurusan PGRI ada divisi kepenulisan buat guru atau tidak karena saya memang bukan pengurus PGRI. Sepanjang yang saya tahu kiprah PGRI sebagai organisasi profesi bukan pada ranah menulis, melainkan memperjuangkan hak-hak guru agar guru menjadi profesi yang bermartabat dan dimuliakan. Idealnya, memang perlu ada organisasi profesi yang khusus bergerak dalam ranah kepenulisan. Dulu, saya pernah begitu bersemangat untuk membesarkan Agupena (Asosiasi Guru Penulis Indonesia). Namun, lantaran hingga saat ini belum memiliki akte pendirian yang diakui keberadaannya (mohon maaf kalau penafsiran saya keliru), secara perlahan semangat dan gairah saya di Agupena juga menyurut. Legalitas sebuah organisasi profesi guru menjadi amat penting karena berkaitan dengan posisi tawar organisasi yang bersangkutan di tengah dinamika dunia pendidikan yang kian rumit dan kompleks.

Apa yang sebaiknya dilakukan guru sendiri agar mampu menulis?

Sekali lagi, saya ingin menyatakan bahwa guru sudah memiliki modal yang lebih dari cukup untuk mampu menulis. Yang diperlukan adalah bagaimana mengasah kemampuan menulis itu agar benar-benar menjadi sebuah tradisi baru di kalangan rekan sejawat. Perbanyak membaca, pelajari gaya tulisan para penulis idola, untuk selanjutnya menulis, menulis, dan menulis. Itu saja!

Menurut bapak apa yang menjadi kelebihan dari seorang guru yang suka menulis?

Saya kira menulis menjadi salah satu aktivitas yang paling tepat dilakukan oleh seorang guru di tengah dinamika pendidikan yang kian kompleks. Melalui aktivitas menulis, seorang guru bisa membangun opini publik hingga akhirnya mampu mendorong semua elemen bangsa untuk peduli terhadap dunia pendidikan secara kolektif. Guru yang aktif menulis juga mampu memberikan inspirasi bagi banyak orang dalam mencerdaskan dirinya. Dari sisi ini, jelas bahwa guru yang suka menulis, selain dikenal banyak orang, juga memiliki posisi tawar yang cukup baik di tengah-tengah kehidupan sosial.

Bagaimana tanggapan bapak tentang Permenpan dan RB Nomor 16 Tahun 2009 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya, di mana salah satunya pengembangan profesi dalam bentuk publikasi ilmiah dan/atau karya inovatif untuk guru PNS sudah harus dilakukan oleh para guru yang akan naik ke golongan III c (pasal 17 ayat 2). Semula, ketentuan ini hanya berlaku bagi para guru yang akan naik ke golonganl IVb dan seterusnya?

Jujur saja, bukan hal yang mudah untuk mendorong guru agar mau menulis, meskipun sejatinya mereka mampu menulis. Kalau hanya sekadar imbauan, agaknya guru akan makin “tiarap” untuk menulis. Salah satu cara agar guru mau menulis ya “dipaksa” melalui regulasi yang jelas payung hukumnya. Keluarnya Peraturan Menteri ini, saya pikir, merupakan salah satu upaya pemerintah untuk “memaksa” guru agar mau menulis. Saya sangat yakin, sebenarnya guru sudah memiliki bekal kemampuan menulis. Persoalannya bukan mampu atau tidak, melainkan mau atau tidak. Melalui peraturan ini, mau atau tidak, suka atau tidak, guru harus menulis jika berhasrat ingin meningkatkan jenjang kariernya. Kecuali kalau sudah merasa puas dengan pangkat dan golongan yang sudah dimilikinya. Namun, sejatinya, ada atau tidak ada peraturan itu, idealnya seorang guru sudah menjadikan aktivitas menulis sebagai salah satu kebutuhan untuk meng-upgrade kemampuan dirinya. Menulis itu sebuah aksi. Di dalamnya ada pergulatan pemikiran, gagasan, imajinasi, dan kepekaan, yang amat dibutuhkan seorang guru dalam menjalankan profesinya di tengah dinamika peradaban yang kian rumit dan kompleks. Kalau guru hanya berkutat di balik tembok ruang kelas, tanpa ada upaya serius dari dalam dirinya untuk berperan-serta dalam membangun opini publik, disadari atau tidak, dunia pendidikan kita akan makin stagnan, karena para praktisi pendidikan yang bersentuhan langsung dengan peserta didik, abai terhadap persoalan-persoalan pendidikan yang sesungguhnya amat penting dan urgen untuk dicarikan solusinya. Dengan menulis, guru mampu memosisikan dirinya sebagai kekuatan yang kian diperhitungkan, sehingga mampu memberikan kontribusi nyata terhadap dinamika dunia pendidikan yang mencerahkan dan mencerdaskan.

Sebagian guru menyatakan tidak setuju dengan Permenpan dan RB Nomor 16 Tahun 2009 terutama guru harus meneliti padahal tupoksi guru bukan meneliti seperti dosen. Bagaimana komentar bapak?

Itu hak guru juga untuk menyatakan ketidaksetujuannya. Namun, peraturan tetaplah sebuah peraturan yang mesti diikuti. Guru tidak cukup hanya berteriak-teriak menolaknya. Lebih baik energinya dimanfaatkan untuk “jemput bola”. Kata orang, lebih baik menyalakan lilin ketimbang terus mengumpat di tengah kegelapan. Alasan itu seharusnya dibalik: apa hanya dosen yang boleh meneliti? Guru pun berhak untuk meneliti, apalagi bekal itu sudah mereka dapatkan ketika menyusun skripsi atau tesis. Ini artinya, tidak ada alasan logis bagi guru untuk menolak menjadi peneliti. Toh bahan penelitian sudah berada di depan mata setiap kali guru mengajar di kelas. Dari sinilah kreativitas dan inovasi guru dalam mendesain dan mengimplementasikan pembelajaran yang menarik dan menyenangkan diuji. Melalui penelitian, guru bisa menunjukkan temuan-temuan kreatif dan inovatifnya dalam aktivitas pembelajaran sehari-hari.

Prestasi bapak di bidang kepenulisan sudah begitu banyak, termasuk yang bapak share di www.sawali.info, apa gerangan tips bapak untuk bisa tetap produktif menghasilkan tulisan?

Sebenarnya prestasi kepenulisan saya biasa-biasa saja. Masih banyak rekan sejawat lain yang memiliki prestasi yang jauh lebih hebat dan luar biasa. Yang pasti untuk bisa tetap produktif menulis, menurut saya, guru mesti memiliki blog. Melalui blog, seorang guru mampu mengabadikan berbagai opini pribadinya kepada publik setiap saat; kapan pun dia mau. Blog bisa menjadi semacam laboratorium virtual yang akan merekam gagasan dan pemikiran seorang guru yang amat penting dan berharga bagi kemajuan dunia pendidikan. Mengandalkan media cetak untuk menyebarluaskan tulisan seorang guru seringkali dibatasi oleh berbagai kebijakan redaksi yang seringkali menggagalkan niat dan semangat guru untuk produktif menulis. Selain itu, membaca berbagai informasi yang terkait dengan persoalan-persoalan pendidikan, sosial, budaya, bahkan juga politik, menjadi sebuah keniscayaan. Membaca bisa menjadi salah satu sumber inspirasi bagi seorang guru untuk memacu “adrenalin”-nya dalam menulis.

Apa saran bapak untuk para guru di Indonesia?

Dalam konteks sekarang ini, guru berhadapan dengan anak-anak “digital natives”. Mereka sudah begitu akrab dengan perangkat teknologi informasi dan komunikasi. Untuk mencari dan menemukan informasi tertentu, mereka hanya tinggal memburunya di mesin pencari. Mereka juga tak hanya sekadar menjadi “penonton”, tetapi juga “pemain”. Mereka tidak hanya sekadar “pengunduh”, tetapi juga “pengunggah”. Mereka tidak hanya sekadar jadi “konsumen”, tetapi juga “produsen”. Dalam situasi demikian, guru perlu menjadi fasilitator dan mediator yang akrab dengan anak-anak. Oleh karena itu, guru jangan pernah berhenti belajar dan perlu terus-menerus meng-upgrade kompetensi dirinya agar mampu memberikan layanan terbaik dan memuaskan buat anak-anak yang haus ilmu pengetahuan dan begitu besar rasa ingin tahunya. Jangan sampai terjadi “naluri” anak yang haus ilmu dan besar rasa ingin tahunya itu “dibunuh” hanya lantaran sang guru sendiri “tidak siap” menerima pertanyaan-pertanyaan yang seringkali muncul secara tak terduga. Jangan sampai terjadi, peserta didik sudah melaju mulus di atas jalan tol keilmuan, sementara sang guru sendiri masih bersikutat di balik semak-semak. ***

In Memoriam: agupenajateng.net

$
0
0

Pernah berkunjung ke laman agupenajateng.net? Kalau Sampeyan menjadi pengunjung setia, atau setidaknya pernah menyambanginya, kini harus menelan kekecewaan. Website yang dibuat dan dikelola oleh pengurus Asosiasi Guru Penulis Indonesia (Agupena) Jawa Tengah yang online sejak Februari 2009 itu, kini sudah “almarhum”. Sebagai salah satu admin agupenajateng.net, jelas saya sangat menyayangkan peristiwa memilukan ini. Usianya memang baru lima tahun, tetapi jejaknya masih sangat terasa. Setidaknya, kehadiran web ini pernah menjadi wadah kreativitas para guru yang kebetulan memiliki “passion” di ranah kepenulisan.

agupenajateng.netMelalui web agupenajateng.net, kreativitas guru penulis yang pernah mengalami kesulitan dalam menemukan media yang tepat untuk menampung karya-karya tulisannya, bisa tersalurkan. Dan secara jujur mesti diakui, web ini pernah kebanjiran tulisan berbobot dari para guru penulis, khususnya di wilayah Jawa Tengah. Tahun 2010-2011 adalah masa-masa subur. Hampir setiap hari, rata-rata ada 5 tulisan rekan sejawat yang dikirimkan via email. Bersama Pak Deni Kurniawan Asy’ari (mantan Ketua Agupena Jawa Tengah yang kini menjadi Sekretaris ISPI –Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia), saya menikmati atmosfer semacam itu. Selain mengurangi beban admin dalam meng-update tulisan, setidaknya kami bisa “memotret” kemampuan para guru dalam menulis. Dan ternyata, pernyataan bahwa guru itu “mandul” dalam menulis dengan sendirinya terbantahkan. Banyaknya tulisan rekan sejawat yang terpublikasikan di web agupenajateng.net membuktikan hal itu. Selain berbobot dari aspek content, stilistikanya juga layak diacungi jempol. Ini artinya, kehadiran agupenajateng.net pernah eksis dalam berperan serta memberdayakan guru dalam melakukan aktivitas menulis.

Persoalannya sekarang, mengapa agupenajateng.net mesti “dibunuh” ketika publik, termasuk pemerintah, masih meragukan kemampuan guru dalam menulis? Bukankah agupenajateng.net bisa menjadi media alternatif bagi guru dalam menyalurkan kreativitasnya?

Ya, sekali lagi, sebagai salah satu admin, saya sangat menyayangkan “kematian” web agupenajateng.net. Namun, apa boleh buat! Sebagai salah satu pengurus Agupena Jawa Tengah, saya merasa bahwa kehadiran web itu sudah tidak diperlukan lagi ketika legalitas organisasi kian gencar dipertanyakan. Organisasi profesi yang sejatinya memiliki misi besar untuk “membumikan” aktivitas kepenulisan di kalangan guru, ternyata tidak memiliki akte pendirian. Situasi seperti ini tentu saja ironis. Di tengah menjamurnya organisasi profesi guru yang kian kompetitif, akte pendirian jelas sangat dibutuhkan untuk menopang laju organisasi dalam menjalankan kiprahnya. Bagaimana mungkin misi besar itu bisa berjalan mulus kalau legalitas organisasinya dipertanyakan? Bagaimana mungkin bisa bersinergi, berkolaborasi, bahkan bersaing dengan organisasi profesi guru yang lain kalau keberadaannya tidak diakui secara sah?

Berkaitan dengan “kematian” agupenajateng.net, saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan dan apresiasinya selama ini, sekaligus mohon maaf atas situasi yang tidak kondusif semacam ini. Ucapan terima kasih dan permohonan maaf juga saya sampaikan kepada Mas Dion yang telah memberikan pelayanan hosting secara optimal selama ini. Jujur saja, saya merasa malu lantaran tak sanggup melanjutkan kiprah dan perjuangan Almarhum Achjar Chalil –pendiri dan Ketua Umum Agupena— yang begitu gigih membidani lahirnya Agupena. Meskipun agupenajateng.net telah tiada, saya berharap, “passion” rekan-rekan sejawat dalam melakukan aktivitas menulis tidak pernah kendur. Toh, agupenajateng.net bukan satu-satunya media penyalur kreativitas guru. ***


“Cuti Ngeblog” dan Hiruk-Pikuk Politisi

$
0
0
Catatan Sawali Tuhusetya

Oleh: Sawali Tuhusetya

Sudah hampir sebulan blog ini tak tersentuh tangan saya. Mohon maaf kepada sahabat-sahabat blogger dan para pengunjung yang terpaksa harus “gigit jari” karena tidak mendapatkan tulisan terbaru. Agaknya tidak terlalu penting jika saya harus menyampaikan alasan mengapa harus “cuti ngeblog”. Selain terkesan latah dan gampang direka-reka, alasan apa pun tidak akan sanggup bersaing dengan hiruk-pikuk politisi yang sedang kemaruk memanjakan syahwat politiknya dalam meraih kursi kekuasaan.

Perilaku politisi belakangan ini agaknya sudah sangat jauh berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Mereka tidak lagi menampakkan perilaku yang vulgar dan jorok. Mereka tidak lagi menampilkan gaya koboi, tetapi lebih memanfaatkan media sebagai juru bicara. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi terasa benar dimanfaatkan secara maksimal. Rayuan politik tidak lagi diumbar dari mulut ke mulut, tetapi dikemas secara rapi lewat iklan dan pertunjukan. Mereka menyusup ke dalam lalu lintas media cetak dan elektronik. Pendeknya, para politisi makin sengit dalam bersaing menguasai media.

Yang membuat saya sesak napas dan mengelus dada adalah minimnya kearifan politik para pejabat negara yang kini masih berkuasa. Sebuah pemandangan yang ironis ketika presiden dan para menteri bersaing dalam memperebutkan simpati rakyat lewat iklan televisi. Mereka lupa bahwa saat ini mereka masih mengemban amanat rakyat dalam mewujudkan cita-cita dan harapan bangsa. Para pejabat negara mengalami amnesia. Syahwat politik untuk berkuasa telah mengalahkan kearifan dan kebajikan hidup.

Pejabat negara seharusnya tidak lagi menampilkan atribut-atribut politik di depan rakyat. Mereka harus berani menanggalkan jaket dan jas kebesaran politik selama berkuasa. Mereka harus sanggup melepaskan ambisi pribadi dan golongan. Mereka harus egaliter dan non-sektarian. Dari aliran politik mana pun mereka berasal, selama menjadi pejabat negara mereka tidak boleh menampilkan aksi-aksi politik di depan publik. Saya sedih ketika seorang presiden yang seharusnya menjadi figur pemimpin semua kalangan, justru secara vulgar menampakkan diri sebagai politisi lengkap dengan jaket kebesarannya; membuka rapimnas atau munas parpol tertentu, apalagi secara struktural menjadi Ketua Umum atau Ketua Dewan Pembina.

Saya sedih ketika seorang menteri berkoar-koar lewat iklan televisi dengan bahasa-bahasa rayuan yang membodohi rakyat. Dengan berbagai fasilitas kekuasaan yang dimilikinya, mereka tak malu-malu untuk meng-klaim dirinya sebagai sosok yang sukses mewujudkan kesejahteraan rakyat. Mereka tidak risih untuk mencitrakan dirinya sebagai sosok yang bersih dan jujur. Hem, sungguh jauh panggang dari api.
***

Selama “cuti ngeblog” hanya untuk “ngrasani” para pejabat negara? Hehe … Seandainya para pejabat negara memiliki kearifan dan fatzoen politik, rakyat dengan sendirinya akan berbondong-bondong untuk kembali memilih partai politik tempat mereka bernaung. Tanpa harus bermain iklan, rakyat dengan cerdas akan memosisikan mereka sebagai sosok pemimpin yang disegani, apalagi jika selama menjadi pejabat negara mereka mampu menunjukkan prestasi menonjol dan mengagumkan. Namun, dengan saling bersaing melalui iklan, para pejabat negara sejatinya malah menampilkan boroknya masing-masing akibat buruknya kinerja mereka selama menjabat.

Atau, jangan-jangan para pejabat negara tengah mengidap sindrom kekuasaan yang takut tersingkir dalam pertarungan politik tahun 2014 sehingga mesti pasang kuda-kuda sebelum pertarungan dimulai? Entahlah, rakyat pun juga semakin cerdas dan kritis dalam menjatuhkan pilihan politiknya. ***

Pilpres, Mudik, dan Lebaran

$
0
0
Budaya

Oleh: Sawali Tuhusetya

Suasana Ramadhan tahun ini sangat berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Pada minggu pertama, tepatnya 9 Juli 2014, ditandai dengan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) yang berlangsung aman dan damai. Partisipasi warga bisa dibilang cukup tinggi dibandingkan Pilpres periode-periode sebelumnya. Angka Golput yang selama ini dianggap menjadi “hantu” pada setiap Pemilu merosot drastis. Hal ini bisa menjadi salah satu bukti tingginya harapan rakyat akan figur pemimpin baru yang dinilai mampu membawa sebuah perubahan menuju Indonesia masa depan yang lebih baik.

Pasca-Pilpres, suasana politik pun makin riuh, bahkan cenderung memanas. Kehadiran beberapa lembaga survei yang menyajikan data hitung cepat dengan hasil persentase yang berbeda menimbulkan perdebatan hangat di tengah publik. Masing-masing pasangan capres-cawapres saling klaim kemenangan versi hitung cepat yang “memenangkan”-nya. Rakyat yang telah menyuarakan pilihannya pun dibuat bingung. Namun, di tengah hangatnya debat publik itu, semua pihak sepakat untuk menunggu hasil hitungan nyata (real-count) dari Komisi Pemilihan Umum (KPU). Hitungan resmi KPU juga menjadi taruhan para lembaga survei. Lembaga survei mana yang kredibel dan mana yang abal-abal.

Kecurigaan publik terhadap kredibilitas dan profesionalitas KPU agaknya tidak terbukti ketika secara terbuka mengunggah rekapitulasi suara setiap TPS melalui situs pilpres2014.kpu.go.id. Rakyat bisa bersama-sama mengawalnya. Peran para netizen sungguh luar biasa. Mereka dengan cepat berbagi informasi dan tautan tentang perkembangan rekapitulasi KPU. Keberadaan situas kawalpemilu.org juga sangat membantu transparansi perolehan suara secara berjenjang. Dari sisi ini, kredibitas dan profesionalitas KPU layak dipuji. Namun, rakyat dibuat tersentak ketika menjelang berakhirnya proses penghitungan suara secara nasional pada tanggal 22 Juli 2014, capres nomor urut I, Prabowo Subianto – yang tidak didampingi Cawapres Hatta Rajasa, mendadak membuat pernyataan sikap yang sangat mengejutkan; menarik diri dari proses Pilpres yang dinilai tidak demokrastis, jujur, dan adil. Menghadapi situasi “panas” dan krusial semacam itu, KPU bergeming. Proses rekapitulasi jalan terus hingga akhirnya menetapkan pasangan capres nomor urut II, Joko Widodo-Jusuf Kalla, sebagai presiden dan wakil presiden terpilih periode 2014-2015.

Ya, ya, ya, Pilpres 2014, memang terbilang pemilu yang paling panas dan menegangkan; sarat intrik, bahkan fitnah. Meski KPU sudah resmi mengumumkan hasil Pilpres, suasana panas dan sarat intrik itu belum juga mereda. Kubu pasangan capres-cawapres yang dinyatakan kalah agaknya masih terus berjuang menegakkan kebenaran dan keadilan berdasarkan versinya. Tentu saja, kita sangat menghargai perjuangan itu sepanjang berlandaskan konstitusi dan tidak menimbulkan masalah baru pasca-pilpres. Kita sangat berharap, suasana yang panas dan sarat intrik itu tidak berimbas ke akar rumput. Sebagian besar rakyat, saya kira, sudah makin matang dan dewasa dalam berdemokrasi, sehingga tidak mau berlelah-lelah untuk ikut memperdebatkan sesuatu yang sudah jelas hasilnya dan telah diakui dunia.

Meskipun demikian, sebagaimana diakui oleh Pak Joko Widodo kalau Pak Prabowo Subianto adalah seorang negarawan, suatu ketika Pak Prabowo akan membuktikan ucapan Gus Dur sebagai seorang pemimpin yang ikhlas. Ikhlas dan legawa untuk menerima hasil Pilpres 2014 dan mengakui Pak Jokowi dan Pak JK sebagai presiden dan wakil presiden. Kalau toh selama ini masih terkesan belum legawa, bisa jadi lantaran masih banyaknya orang-orang di sekelilingnya yang terus mengusiknya untuk melakukan “perlawanan” terhadap KPU. Setelah gugatan ke Mahkamah Konstitusi –yang diakui Pak Mahfud MD merupakan tindakan sia-sia karena sulit untuk membuktikan kecurangan suara lebih dari 8 juta— akan terjadi suasana “cooling down”. Para pendukung setianya pun perlahan-lahan akan meninggalkannya.

Apalagi, pasca-pilpres juga berdekatan dengan suasana lebaran yang diyakini menjadi momentum yang tepat untuk melakukan “tabayun politik” dan silaturahmi. Mudah-mudahan momen lebaran tahun ini bisa dimanfaatkan untuk menurunkan tensi politik, untuk selanjutnya kembali menyatu sebagai saudara sebangsa dan setanah air untuk bersama-sama membangun masa depan bangsa yang mandiri secara ekonimi, berdaulat secara politik, dan berkepribadian secara budaya.

Pada saat yang (nyaris) bersamaan, saudara-saudara kita juga tengah berupaya melupakan intrik-intrik politik dengan berlelah-lelah sepanjang perjalanan melalui tradisi mudik agar bisa bertemu dan bersilaturahmi dengan sanak-saudaranya di kampung halaman. Semoga mereka diberikan kesehatan dan keselamatan hingga akhirnya bisa bertemu dengan sanak-saudaranya di tanah kelahiran dalam suasana guyup, rukun, dan penuh suka cita.

Demikian juga halnya, saya dan keluarga juga akan menjadi bagian dari arus pemudik yang harus menikmati perjalanan yang padat dan tersendat. Semoga lancar dan selamat. Nah, selamat Idul Fitri, mohon maaf lahir dan batin, semoga kita semua kembali ke fitrah-Nya sebagai makhluk religius, beradab, dan berbudaya. Salam Indonesia Raya! ***

Puisi yang Terjun Bebas dari Lantai 2014 *

$
0
0

Cerpen oleh Gus Noy

Catatan Sawali Tuhusetya

Puisi terjun bebas dari lantai 2014 Menara Penyair. Begitulah kabar dari Ali Arsy yang kemudian disampaikan oleh Hasan Aspahani.

“Mampus! Terjun bebas dari lantai lima saja bisa mampus, apalagi…”

“Hei, Oji! Kau bukan siapa-siapa, tak usah mikir susah!” potong Hery Latief.

“Yang bukan penyair, dilarang berkomentar!” tambah Saut Situmorang. “Urusan kau adalah bikin kopi dan menyiapkan bir untuk kami setiap datang ke sini. Paham kau?!”

Oji menggaruk-garuk jidatnya yang sudah tandus. Puisi memang belum dikenalnya karena belum pernah singgah di warungnya. Tapi tidak urung kabar itu membuatnya berpikir, meskipun ia bukanlah penyair ataupun pengukir kata-kata indah, bukan pula seorang pemikir sekitar dunia aksara. Hanya saja, kebetulan, perjamuan kata-kata para penyair dan seniman selalu diselenggarakan di warungnya dari malam hingga bulan ludes diseruput subuh.

“Biarkan Oji berpikir,” kata Ragil Sukriwul, “biar botaknya adil-merata.”

“Nanti dia dikira pengikutnya Afrizal Malna lho,” celetuk Mario F. Lawi.

“Biarkan sajalah,” sahut Hasan Aspahani. “Mau jadi pengikut ataukah epigon, suka-suka dia. Toh dia tidak akan pernah mencipta sepucuk sajak.”

“Hahahaha. Dasar bukan siapa-siapa!” Wayan Sunarta terpingkal-pingkal di kursinya.

“Ya, biarkan saja botak total. Soalnya, dia sengaja membunuh anak-anak rambutnya sendiri,” sambung Hasta Indriyana sambil mengepulkan asap rokok kreteknya.

“Ayolah kembali fokus!” sela T.S. Pinang yang sedang asik membuat sketsa situasi obrolan meja bundar. “Puisi yang terjun dari lantai 2104 itu tidak bisa kita biarkan gara-gara Oji dan rambutnya. Ini sangat serius! Harus dicari sumber beritanya alias saksi kuncinya.”

“Ali Arsy, maksudnya?”

“Ya, iya, Hasta. Justru kita yang harus terlebih dulu menanyakannya langsung pada Arsy sebagai saksi mata di tempat kejadian. Kita tidak mau kabar itu hanya hoax. Kita juga tidak mau kabar itu semata-mata suatu manuver kalangan politikus sastra.”

“Di mana dia sekarang, San?”

“Sejak mengabarkan berita itu, Arsy menghilang,” jawab Hasan Aspahani. “Tidak pernah lagi muncul di media jejaring sosial. Nomor ponselnya tidak aktif. Aku cari di tempatnya, tidak ada. Aku sudah hubungi kawan-kawannya tapi kata mereka ‘Arsy menghilang’. Apakah di antara kawan-kawan ada yang pernah melihatnya satu hari ini?”

“Belum.”

“Tapi,” sela Heri Latief, “dengan nekat terjun bebas begitu, kira-kira apa, ya, sebabnya? Adakah yang pernah dengar curhat-nya atau lagi galau akhir-akhir ini?”

“Mungkin frustasi gara-gara dijerumuskan dalam kampanye politik oleh pihak-pihak yang tidak memahami hakikatnya,” jawab Aan Mansyur.

“Malah sangat mungkin! Lantas diterjang peluru, dan dijatuhkan dari lantai 2014!”

“Lho, jangan ‘mungkin’ dong. Kita harus dapatkan faktanya,” ujar Heri Latief.

*

Puisi yang terjun bebas dari lantai 2014, meski baru ‘kabar’, sudah menimbulkan kegaduhan di kalangan penyair serta seniman dan meningkatkan kesibukan Oji di warungnya malam itu.

Mereka mendadak mengadakan pertemuan kilat-darurat saat itu juga. Beberapa di antaranya segera mengirimkan pesan singkat melalui ponsel dan media elektronik lainnya untuk mengajak para penyair dan seniman lainnya datang, diskusi, dan bertindak bersama.

Otomatis Oji harus melayani permintaan tambahan ‘doping’ mereka, khususnya kopi. Tidak banyak yang minum bir tetapi tidaklah demikian dengan kopi, apalagi kopinya asli lokal olahan Sarmun, kawannya sendiri, yang pasti tidak diolah seperti industri massal.

Jadilah malam itu pertemuan tidak seperti biasa. Biasanya mereka, meski hanya dua-tiga penyair, membicarakan perihal perkembangan sastra masa kini, dan ramalan-ramalan masa depan, sampai-sampai ia bisa mengetahui nama-nama seperti Umbu Landu Paringgi, Remy Sylado, Goenawan Moehammad, Rendra, dan seterusnya, selain nama-nama penyair zaman sebelumnya disebut-sebut guru sewaktu di bangku sekolah menengah pertamanya.

“Kita harus membagi tugas, kawan-kawan!” kata Cunong Nunuk Suraja. “Paling tidak, ada tugas besar, dan terbagi dalam tiga rombongan.”

Di warung berbentuk panggung itu mereka membagi tugas. Rombongan pertama, datang langsung ke tempat kejadian, yaitu Menara Penyair. Rombongan ini bertugas menggali data, informasi pelengkap, dan lain-lain.

Rombongan kedua, mencari mayat puisi di manapun. Apakah mayat puisi sedang tersimpan di sebuah rumah sakit, dimakamkan atau malah dibuang entah dimana. Tapi, sebelum dimakamkan, mereka harus menemukan terlebih dulu keberadaan puisi itu. Bagaimana kondisi aslinya supaya mereka bisa mendapatkan fakta, apakah puisi itu bunuh diri, kecelakaan akibat keteledoran, dicelakakan orang lain, atau apa lagi.

“Puisi jangan sampai diotopsi! Berbahaya karena kita bisa dikibulin oleh oknum-oknum!” ujar Heri Latief.

“Berarti kita harus segera bergegas, Bang!” sambut Ciu Cahyono.

“Hasan Aspahani bisa memimpin rombongan investigasi ini. Bagaimana, San?”

“Beres, Meneer!”

Rombongan ketiga, mencari Ali Arsy di tempat-tempat yang sering dikunjunginya. Mereka harus menemukan Arsy karena, selain sebagai saksi mata, juga dikhawatirkan bahwa Arsy akan ‘dihilangkan’ oleh oknum-oknum tertentu.

“Sudah cukup Wiji Thukul yang ‘dihilangkan’, jangan ada lagi penyair yang dihilangkan oleh rezim atau oleh petugas khusus!” kata Saut Situmorang.

Di situ hanya Oji tidak kebagian tugas apa-apa karena ia memang bukan siapa-siapa. Jangankan mendapat tugas baru semacam itu, tugasnya sekarang saja masih belum beres. Logistik khusus kopi, gula, dan bir sudah menipis, kendati belum setipis rambutnya.

“Siap?”

“Siap dong birnya, Bang. Selalu siap untuk Abang dan kawan-kawan Abang.”

“Puisi jauh lebih penting daripada bir kau itu, Oji!” sahut Saut Situmorang. “Tapi, sini, bawa bir dua botol lagi!”

*

Rombongan pertama mendatangi Menara Penyair. Sayangnya, dari gerbang hingga pagar keliling tempat itu sudah dililit tanda larangan dan segel dari polisi. Dijaga ketat pula oleh pamong praja, polisi, tentara, dan organisasi massa yang siap melakukan kekerasan.

“Kalian mau ngapain?”

“Mau…”

“Mau dipentung?! Mata kalian taroh di mana?! Apa tidak bisa membaca tulisan “garis batas polisi” dan “untuk sementara gedung ini disegel” yang banyak ini?!”

“Ah, Bos ini, janganlah terlampau galak.”

“Apa?! Bos?! Mau menjilat pantat kami rupanya!”

“Bukanlah begitu, Bos. Kalau kami sebut ‘Sob’, itu jelas menjilat. Sok akrab, sok bersahabat. Iya, nggak?”

“Sudah! Tidak usah berpura-pura diplomasi! Pergi kalian dari sini, atau pentungan dan peluru akan melayani kalian!”

“Itu pelanggaran, bahkan berat lho.”

“Berat jangan di sini! Berat di toilet umum seberang sana saja!”

“Waduh, kayaknya dia yang justru lagi kebelet tuh, Masbro,” bisik seorang peserta rombongan pada kawannya, “sampai-sampai kebeletnya nutupin lubang telinga.”

“Hus! Dia itu, kan, petugas khusus jaga kotak di toilet itu? Masak sih kamu nggak pernah ke situ?” timpal kawannya.

*

Rombongan kedua mendatangi sebuah rumah sakit, yang terkenal, dan selalu disebut-sebut kalau terjadi penemuan mayat, baik mayat dikenal maupun tidak.

“Ada yang bisa kami bantu?” tanya petugas resepsionis.

“Kami mau bertemu dengan mayat…”

“Namanya?”

“Puisi, Mbak.”

“Sebentar, ya, saya carikan dulu datanya.” Si resepsionis mengetik sesuatu. “Maaf, Mas-mas dan Mbak-mbak dia tidak bisa dikunjungi. Kondisinya sedang tidak mendukung.”

“Ini darurat, Mbak.”

“Ini perintah yang wajib kami jalankan, Mas,” sergap si resepsionis. “Apakah Mas dan rombongan Mas ini wartawan? Boleh saya lihat kartu kewartawanan Mas dan rombongan Mas?”

“Kebetulan kami dari pihak keluarganya.”

“Boleh saya melihat tanda pengenal Mas-mas dan Mbak-mbak?”

“Tanda pengenal, golongan darah, periksa kebenaran golongan darah, DNA, terus?”

“Ada apa ini ramai-ramai?!” bentak seorang pria berambut cepak yang tiba-tiba muncul dari mulut koridor.

“Ini lho, Pak, mereka hendak bertemu dengan…”

“Tidak boleh! Puisi tidak boleh didekati orang-orang di luar petugas khusus!”

*

Rombongan ketiga mencari penyair bernama Ali Arsy. Mereka mendatangi tempat-tempat yang sering dikunjungi Arsy. Warung kopi biasa hingga kafe berfasilitas teknologi informasi-komunikasi yang bisa diakses secara bebas. Perpustakaan daerah hingga taman buku bacaan milik perorangan. Di padepokan Sapardi Djoko Damono, Bakdi Sumanto, Suminto A. Sayuti, atau taman budaya-taman budaya hingga ke tempat-tempat penangkaran buaya.

“Tiga hari ini Bang Arsy tidak kelihatan. Sudah tiga hari juga tempat kami didatangi wajah-wajah baru,” jawab para penjaga tempat-tempat itu seakan-akan sebuah konspirasi.

“Tidak pernah mendengar apa-apa tentang keberadaan Arsy?”

Boro-boro dengar, Mas. Wajah-wajah baru itu malah membuat kami selalu pura-pura sibuk.”

“Apakah di antara kami ada yang mirip dengan salah seorang di antara mereka?”

“Kami kenal dengan wajah Mas-mas dan Mbak-mbak. Di koran, majalah, dan televisi sering muncul. Siapa sih yang nggak kenal dengan penyair-penyair dan seniman-seniman kondang semacam Mas-mas dan Mbak-mbak ini?”

“Ganteng-ganteng dan cantik-cantik, kan?”

No comment.”

*

Belum juga selesai menata meja dan kursi bambu dan perlengkapannya, melalui pintu setengah terkuak Oji melihat serombongan penyair dan seniman datang. “Lho, sudah pada datang. Jendela pun belum terbuka. Pada lupa, ya, buka jam berapa,” omelnya pada tempat sendok, tisu, tusuk gigi, asbak, dan seterusnya.

“Oji! Woi, Oji!” Heri Latief sudah melongok di pintu. “Seperti biasa. Kloter pertama ada sepuluh orang. Ingat, Oji, jangan kopi produksi kapitalis!”

“Baik, Bang. Kopi lokal, tradisional, sensasional. Sip! Di luar ataukah di dalam?”

“Di luar saja. Kalo di dalam nanti minuman kami kena debu, celaka pula! Warungmu bisa jadi berita heboh di korannya Hasan dan kamu masuk penjara.”

Oji langsung berlari ringan ke dapur, meninggalkan sapu dan serbet. Ia tidak ingin lagi diomeli terus-menerus oleh rombongan penyair dan seniman itu seperti beberapa hari terakhir. Puisi yang, kabarnya, terjun bebas dari lantai 2014 ternyata, selain menimbulkan kegaduhan, juga kegusaran dan kenaikan tensi darah tingkat nasional.

Mendadak ia berhenti di depan pintu dapur. “Mampus!” katanya sembari menempelak jidat. Seingatnya, tadi siang, meski jelas belum buka, demi pelanggan setia ia terpaksa memberikan kesempatan Ali Arsy bersama seorang kawannya ngobrol soal buku antologi barunya kemudian persediaan kopi pun, mungkin, hanya untuk dua cangkir atau malah kurang segitu.

*******

Sabana Kuda Liar, 11 April 2014

 

*) Terinspirasi oleh status FB akun Ali Arsy, 11 April 2014, Puisi yang Terjun Bebas Diduga Bunuh Diri.Bottom of Form

Kurikulum dan Dunia Pendidikan sebagai “Katalisator” Perubahan

$
0
0

Sejak awal, Kurikulum 2013 (K-13) memang bermasalah. Tidak hanya uji publik yang mentah, tetapi juga substansi materi pembelajaran yang tidak tergradasi secara runtut dan sistematis. Pada mata pelajaran bahasa Indonesia, misalnya, materi pembelajaran jenjang SMP justru jauh lebih rumit dan kompleks ketimbang SMA. Belum lagi pembelajaran di SD yang harus menggunakan pendekatan tematik-integratif. Tidak ada keterkaitan materi secara linear antarjenjang sekolah yang seharusnya menjadi pertimbangan utama dalam sebuah konsep kurikulum. Yang lebih menyedihkan adalah kehadiran Pedoman Mata Pelajaran (PMP), yang menjadi lampiran III Permendikbud No. 58 Tahun 2014 tentang Kurikulum 2013 SMP/MTs. PMP ini bukannya meringankan beban guru mata pelajaran, melainkan justru makin membuat guru bingung. Tidak hanya soal ejaan yang kacau, tetapi juga muatan isi yang tidak kohesif dan koherensif, baik antarkalimat maupun antarparagraf. Kesan yang muncul, PMP dibuat dalam suasana ketergesa-gesaan dan keterpaksaan tingkat tinggi untuk memburu “deadline”.

K13Namun, lantaran dipaksakan untuk diimplementasikan secara serentak sejak 2014/2015, mau atau tidak, institusi pendidikan mesti “sendika dhawuh”. Belum lagi pada tataran teknisnya. Selain pelatihan guru yang tidak optimal, pendampingan di sekolah sasaran yang seadanya, atau pendistribusian buku yang amburadul, juga aspek penilaian yang terlalu rumit dan njlimet dengan menggunakan model konversi dan predikat nilai kualitatif yang hingga saat ini masih sering dipertanyakan rasionalitasnya.

Meskipun demikian, tidak lantas berarti K-13 miskin kelebihan. Nuansa saintifik yang dijadikan sebagai pendekatan pembelajaran, setidaknya mampu menjadi salah satu pemicu bagi guru untuk mengubah mindset-nya. Siswa tidak lagi diperlakukan bak “tong sampah keilmuan” yang hanya menerima suapan dari guru, tetapi diposisikan sebagai subjek didik yang aktif mengamati, menanya, mengumpulkan data, menyimpulkan, dan mengkomunikasikan, (serta mencipta). Dalam situasi pembelajaran semacam ini akan terjadi suasana dialogis dan interaktif antara guru dan siswa sehingga akan terbangun budaya keilmuan di ruang-ruang belajar. Harapannya, kemampuan berpikir dan bernalar siswa yang selama ini nyaris tak pernah disentuh para guru, setidaknya akan terpicu “adrenalin”-nya untuk mengembangkan potensi intelektualnya secara optimal.

Di tengah suasana global yang kian kompetitif seperti saat ini, negeri ini membutuhkan sosok generasi masa depan yang tidak hanya cerdas otaknya, tetapi juga cerdas emosi, sosial, dan spiritualnya. Melahirkan sosok generasi semacam itu jelas bukan persoalan mudah. Apalagi, situasi sosial kita belakangan ini acapkali menyuguhkan perilaku chaos, vandalistik, agresif, dan koruptif yang justru sering dipertontonkan secara vulgar oleh orang-orang yang secara sosial seharusnya menjadi sosok anutan. Dalam situasi demikian, dunia pendidikan mesti mengambil peran untuk menjadi “katalisator” perubahan. Ibarat sebuah padepokan, dunia pendidikan harus mampu menggembleng para “cantrik” menjadi sosok generasi pinunjul melalui sentuhan tangan para “resi” yang arif, cerdas, kreatif, inovatif, dan penuh rasa cinta.

Dunia pendidikan akan sanggup menjadi “katalisator” perubahan apabila desain kurikulumnya benar-benar disusun secara cermat dan matang sesuai dengan tuntutan dan dinamika zaman. Terkait dengan revisi total terhadap K-13, menurut hemat saya, memang menjadi sebuah keniscayaan. Sungguh konyol apabila harus melakukan moratorium K-13 dan kembali ke KTSP. Tidak hanya berkaitan dengan besarnya anggaran negara yang telah digelontorkan, tetapi juga persoalan nasib anak-anak yang sudah mulai “menikmati” nuansa saintifik yang ada dalam pembelajaran K-13. Haruskah budaya keilmuan yang sudah mulai terbangun di ruang-ruang belajar kembali dirobohkan? Bukankah KTSP dulu juga pernah menimbulkan pro dan kontra karena hanya menyuburkan budaya copy-paste di kalangan guru?

Yang perlu dipikirkan sekarang adalah bagaimana melakukan revisi total terhadap K-13 agar benar-benar menjadi desain kurikulum yang sesuai dengan tuntutan dan dinamika zaman. Jika konsep kurikulumnya benar-benar cermat dan matang dengan gradasi materi yang runtut dan sistematis (baik antarjenjang maupun antarkelas) –tentu saja harus melibatkan para pemangku kepentingan pendidikan,  selanjutnya melangkah ke persoalan teknis implementasi. Selain penyederhanaan aspek penilaian –tanpa mencederai prinsip utuh dan komprehensif, juga pelatihan guru harus benar-benar optimal dan mencerahkan, distribusi buku tepat waktu, dan berbagai persoalan teknis implementasi lainnya. Jika persoalan ini teratasi, secara bertahap dan berkelanjutan, dunia pendidikan kita akan benar-benar mampu menjalankan perannya sebagai “katalisator” perubahan. Nah, itu saja. ***

Barongan Butuh Sentuhan Inovasi dan Kreativitas

$
0
0

Beberapa waktu yang lalu, dalam rangka Gelar Budaya Dewan Kesenian Kendal (DK-2), saya menyaksikan pentas Barongan “Turangga Laras” yang digelar oleh Komisariat Dewan Kesenian Kecamatan Gemuh. Cukup atraktif dan menghibur. Selain menyuguhkan pemain-pemain muda, penampilan kelompok seni rakyat yang sering pentas keluar daerah ini sarat dengan sentuhan inovasi dan kreativitas. Mereka cukup kreatif dalam mengadaptasi seni rakyat dari daerah lain, tetapi digarap secara khas berdasarkan “selera” seni mereka.

Turangga LarasYa, seni barongan “Turangga Laras” yang menjadi salah satu kebanggaan seni pertunjukan rakyat masyarakat Gemuh dan sekitarnya ini memadukan seni lokal dengan seni khas Bali yang terkenal dengan seni Leak-nya. Namun, secara fisik, bentuknya sudah mengalami proses transfigurasi. Tidak hanya dalam soal bentuk, tarian yang mereka peragakan juga sudah sangat berbeda dengan tarian aslinya. Tidak heran apabila kelompok seni rakyat yang sudah sering melanglang pentas di luar daerah ini mampu menyedot animo penonton.

Yang layak diapresiasi, “Turangga Laras” dikelola semi-profesional. Setiap kali pentas, mereka mampu menggandeng pihak sponsor. Pementasannya diabadikan dalam keping CD, untuk kemudian dijual. Hasilnya, tidak hanya digunakan untuk membayar honor pemain, tetapi juga disisihkan untuk berbagai kepentingan sosial. Dalam merayakan ulang tahunnya yang ke-12 beberapa waktu yang lalu, mereka memberikan sumbangan dan “tali asih” kepada beberapa anak yatim piatu.

“Turangga Laras” dengan segala kelebihan manajemen-nya memang layak diapresiasi sekaligus diteladani oleh group-group seni pertunjukan rakyat yang hingga kini masih cukup eksis di Kabupaten Kendal. Meskipun demikian, tidak sedikit di antara group seni barongan yang ada terkendala masalah dana, sehingga tidak sanggup bertahan di tengah persaingan yang makin kompetitif di era global ini.

Agaknya, seni pertunjukan apa pun, termasuk barongan, butuh sentuhan inovasi dan kreativitas agar mampu menarik animo masyarakat. “Turangga Laras” termasuk salah satu kelompok seni rakyat yang telah berhasil mewujudkannya. Group ini makin eksis berkat sentuhan kreativitas para awak pemainnya dan sentuhan inovasi para ofisial dalam mengelola seni pertunjukan. ***

Kembali ke KTSP, Mengapa Jadi Repot?

$
0
0

Setelah menerima rekomendasi dari Tim Evaluasi Implementasi Kurikulum, serta diskusi dengan berbagai pemangku kepentingan, akhirnya Mendikbud, Anies Baswedan, mengeluarkan Surat Edaran Nomor: 179342/MPK/KR/2014 tanggal 5 Desember 2014 tentang Pelaksanaan Kurikulum 2013. Ada tiga poin penting yang disampaikan dalam surat edaran tersebut.

kur13Pertama, menghentikan pelaksanaan Kurikulum 2013 di sekolah-sekolah yang baru menerapkan satu semester, yaitu sejak Tahun Pelajaran 2014/2015. Sekolah-sekolah ini supaya kembali menggunakan Kurikulum 2006. Bagi Ibu/Bapak kepala sekolah yang sekolahnya termasuk kategori ini, mohon persiapkan sekolah untuk kembali menggunakan Kurikulum 2006 mulai semester genap Tahun Pelajaran 2014/2015. Harap diingat, bahwa berbagai konsep yang ditegaskan kembali di Kurikulum 2013 sebenarnya telah diakomodasi dalam Kurikulum 2006, semisal penilaian otentik, pembelajaran tematik terpadu, dll. Oleh karena itu, tidak ada alasan bagi guru-guru di sekolah untuk tidak mengembangkan metode pembelajaran di kelas. Kreatifitas dan keberanian guru untuk berinovasi dan keluar dari praktik-pratik lawas adalah kunci bagi pergerakan pendidikan Indonesia.

Kedua, tetap menerapkan Kurikulum 2013 di sekolah-sekolah yang telah tiga semester ini menerapkan, yaitu sejak Tahun Pelajaran 2013/2014 dan menjadikan sekolah-sekolah tersebut sebagai sekolah pengembangan dan percontohan penerapan Kurikulum 2013. Pada saat Kurikulum 2013 telah diperbaiki dan dimatangkan lalu sekolah-sekolah ini (dan sekolah-sekolah lain yang ditetapkan oleh Pemerintah) dimulai proses penyebaran penerapan Kurikulum 2013 ke sekolah lain di sekitarnya. Bagi Ibu dan Bapak kepala sekolah yang sekolahnya termasuk kategori ini, harap bersiap untuk menjadi sekolah pengembangan dan percontohan Kurikulum 2013. Kami akan bekerja sama dengan Ibu/Bapak untuk mematangkan Kurikulum 2013 sehingga siap diterapkan secara nasional dan disebarkan dari sekolah yang Ibu dan Bapak pimpin sekarang. Catatan tambahan untuk poin kedua ini adalah sekolah yang keberatan menjadi sekolah pengembangan dan percontohan Kurikulum 2013, dengan alasan ketidaksiapan dan demi kepentingan siswa, dapat mengajukan diri kepada Kemdikbud untuk dikecualikan.

Ketiga, mengembalikan tugas pengembangan Kurikulum 2013 kepada Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. Pengembangan Kurikulum tidak ditangani oleh tim ad hoc yang bekerja jangka pendek. Kemdikbud akan melakukan perbaikan mendasar terhadap Kurikulum 2013 agar dapat dijalankan dengan baik oleh guru-guru kita di dalam kelas, serta mampu menjadikan proses belajar di sekolah sebagai proses yang menyenangkan bagi siswa-siswa kita.

Dengan keluarnya surat edaran ini, sekolah-sekolah non-piloting yang baru melaksanakan Kurikulum 2013 (K-13) selama satu semester harus kembali ke KTSP. Ini artinya, K1-3 hanya diterapkan di 6.221 sekolah di 295 kabupaten/kota seluruh Indonesia dengan rincian 2.598 sekolah dasar, 1.437 Sekolah Menengah Pertama, 1.165 Sekolah Menengah Atas, dan 1.021 Sekolah Menengah Kejuruan. Tentu ada respon beragam. Ada yang senang, tetapi tidak sedikit juga yang kecewa. Senang lantaran hambatan-hambatan teknis implementasi K-13 yang selama ini dinilai cukup merepotkan, khususnya bagi guru, akhirnya tereliminir. Kecewa lantaran jerih-payah guru dan peserta didik selama satu semester jadi sia-sia. Pelatihan dan pendampingan “berdarah-darah” yang telah dilaksanakan selama ini jadi sirna tanpa bekas.

Ruang-ruang belajar agaknya akan kembali sepi dari aktivitas 5+1 M (Menanya, Mengamati, Mengumpulkan data, Menyimpulkan, Mengomunikasikan, dan + Mencipta) –meski KTSP juga sangat memungkinkan untuk melakukan aktivitas semacam itu. Laporan hasil belajar peserta didik pun nanti akan jadi ganda. Kelas 7 memiliki rapor model K-13 (semester I) dan KTSP (semester II). Yang lebih repot tentu siswa kelas 8. Mereka memiliki rapor kelas 7 versi KTSP, kelas 8 versi K-13 (semester I) dan kembali memiliki rapor versi KTSP (semester II).

Ya, ya, memang repot. Meski demikian, kita bisa memahami kerumitan Tim Evaluasi Implementasi Kurikulum ketika harus memberikan sejumlah pilihan kepada Mendikbud. Mereka bukan orang-orang “teknis” yang bisa dengan cermat memahami persoalan-persoalan teknis dan dampaknya di sebuah insitusi pendidikan. Mereka adalah orang-orang akademis yang lebih banyak memahami persoalan-persoalan generik ketimbang hal-hal teknis yang dihadapi oleh institusi pendidikan. Yang lebih repot lagi adalah ketika peserta didik yang saat ini duduk di bangku kelas VII dan VIII harus menghadapi ujian. Haruskah materi pembelajaran K-13 yang telah diperoleh selama satu semester “dianulir” sebagai materi ujian? Ataukah kembali diberikan program matrikulasi materi pembelajaran KTSP?

Implikasi sosial yang kemungkinan bisa terjadi ketika K-13 hanya diterapkan  di sekolah-sekolah piloting adalah munculnya diskriminasi perlakuan terhadap sebuah institusi pendidikan. Sekolah yang melaksanakan K-13 dinilai sebagai sekolah “hebat”, baik guru maupun peserta didiknya. Sebaliknya, sekolah yang harus kembali melaksanakan KTSP dinilai sebagai sekolah “kelas rendah” alias kelompok “medioker” karena dianggap tidak sanggup melaksanakan K-13. Kebijakan ini secara sosial juga akan berdampak terhadap peserta didik dalam pergaulan sosialnya di tengah-tengah kehidupan masyarakat.

Meskipun demikian, kita juga bisa memahami kalau Mendikbud pada akhirnya harus mengeluarkan kebijakan “pahit” ini ketika suara-suara yang menentang pelaksanaan K-13 cukup gencar gaungnya di berbagai media. ***

Pro-Kontra Penghentian K-13 Belum Juga Berakhir

$
0
0

Meskipun Mendikbud, Anies Baswedan telah mengeluarkan Surat Edaran Nomor: 179342/MPK/KR/2014 tanggal 5 Desember 2014 tentang Pelaksanaan Kurikulum 2013, perdebatan belum juga berakhir. Dalam dua hari terakhir ini sikap pro dan kontra di berbagai media sosial tampil begitu masif. Ada yang setuju dan mengamini penghentian pelaksanaan K-13 di sekolah-sekolah non-piloting, tetapi yang sedih dan kecewa juga tidak sedikit jumlahnya. Konon kabarnya, banyak kepala sekolah yang selama ini sudah merasa “enjoy” dengan K-13, tak sanggup menyembunyikan kekecewaannya. Bahkan, Hendra Intadja, salah seorang guru yang kebetulan menjadi Wakasek Kurikulum di salah satu sekolah di Manado, Sulawesi Utara, dalam statusnya di group Facebook Ikatan Guru Indonesia (IGI) secara resmi mengundurkan diri dari jabatannya.

Tak kurang, mantan Mendikbud, M. Nuh, dan Wamendikmud, Musliar Kasim –sebagaimana dilansir berbagai media online –pun tak sanggup menutupi kesedihan dan kekecewaannya.

“Terus terang saya sangat kecewa dengan penghentian kurikulum 2013 ini,” ujar M Nuh, Minggu (7/12). Ia menyatakan bahwa dulu saat meluncurkan Kurikulum 2013, banyak pihak yang menganggapnya tergesa-gesa melakukan langkah tersebut. Nah sekarang, dia melihat penghentian Kurikulum 2013 ini tak ubahnya dengan tudingan yang dia dapatkan dulu.

“Kalau dulu kita dibilang tergesa-gesa. Ini kurang dari satu bulan, sudah diambil keputusan. Padahal ini sesuatu yang luar bisa dan menyangkut khalayak banyak,” ujar Nuh. Lebih lanjut, M. Nuh menyatakan bahwa pada tahun 2013, pemerintah sudah mulai menerapkan kurikulum 2013 pada 6.013 sekolah. Dan selama penerapan itu menurutnya tidak ada persoalan substansif yang muncul.

“Kalau memang ada, taruhlah memang menyesatkan begitu. Tentu pada 6.013 sekolah itu juga diberhentikan,” tegasnya.

kurikulum 2013Hal senada juga diungkapkan oleh Mantan Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Musliar Kasim. Ia menyayangkan keputusan Menteri Pendidikan Anies Baswedan menghentikan Kurikulum 2013. Terlebih, Anies meminta sekolah yang baru menerapkan kurikulum itu kurang dari tiga semester tak melanjutkan pelaksanaannya di semester genap nanti. Lebih lanjut Musliar menyatakan, ada banyak sekolah yang telah siap melanjutkan kurikulum itu meski mereka baru menerapkannya pada tahun ajaran 2014/2015. Menurutnya, banyak kepala sekolah yang menghubunginya saat mereka mendengar Anies menghentikan penerapan kurikulum tersebut. “Banyak yang bilang ‘loh ini kenapa, kami sudah senang’,” kata Musliar menirukan ucapan para kepala sekolah itu.

Musliar mengatakan, para kepala sekolah ini mengaku menyukai kurikulum baru itu. Mereka menilai kurikulum tersebut lebih sederhana dibanding kurikulum sebelumnya. Murid juga bisa lebih aktif dalam kegiatan belajar mengajar. “Guru-guru juga enak menerapkannya,” ujarnya. Selanjutnya, Musliar menyarankan agar Anies Baswedan tak menghentikan kurikulum itu untuk sekolah yang baru memakainya tahun ini. Anies diminta tetap melanjutkanya untuk sekolah yang mau dan telah siap. “Kalau orang yang arif mestinya mempersilakan sekolah yang sudah siap, jangan melarang,” ujarnya. Terlebih, tegasnya, anggaran untuk menerapkan kurikulum sudah disiapkan.

Ya, ya, begitulah ketika kurikulum yang seharusnya menjadi instrumen untuk melahirkan generasi masa depan yang unggul dan hebat, telah tereduksi secara politis. Kepentingan-kepentingan pragmatis yang sesuai dengan selera dan kepentingan kekuasaan jauh lebih diutamakan ketimbang nasib masa depan anak-anak bangsa. Kalau kita melakukan kilas balik sejenak, Kurikulum 2013 (K-13) boleh dikatakan belum matang benar. Uji publik tidak dilakukan secara komprehensif, baik secara geografis maupun buat para pemangku kepentingan. Kesan yang muncul, uji publik K-13 hanya dilakukan untuk mendapatkan legitimasi dari pihak-pihak tertentu yang dianggap mendukung pelaksanaan dan implementasinya. Sedangkan, suara-suara yang menentang desain dan substansi K-13 tidak terakomodasi sepenuhnya pada saat proses uji publik. Lebih-lebih setelah proses uji publik yang singkat itu dilaksanakan, muncul kebijakan bahwa semua sekolah wajib menerapkan K-13 di dua kelas sekaligus. Kebijakan semacam itu jelas membuat para pihak yang gencar menentang K-13 makin tidak respek dan kehilangan simpati. Akibatnya, suara-suara yang kontra bagaikan “bom waktu”. Ledakan dahsyat itu terjadi pasca-pergantian rezim penguasa. Mereka yang selama ini menentang pelaksanaan K-13 terus mendesak Mendikbud, Anies Baswedan, untuk segera melakukan evaluasi total terhadap K-13, hingga akhirnya terbentuk Tim Evaluasi Implementasi Kurikulum. Tim inilah yang diberi amanat untuk memberikan rekomendasi tentang implementasi K-13 yang dianggap belum matang itu.

Berdasarkan hasil kerja Tim Evaluasi Kurikulum, ada tiga pilihan yang disodorkan kepada Mendikbud. Pertama, menghentikan implementasi Kurikulum 2013 sambil menyempurnakan seluruh komponen dan perangkat Kurikulum 2013. Kedua, meneruskan implementasi Kurikulum 2013 untuk sekolah yang sudah siap melaksanakan sambil melakukan perbaikan. Ketiga, meneruskan implementasi Kurikulum 2013 di seluruh sekolah sambil melakukan perbaikan.

Dari berbagai sudut pertimbangan dan demi mengakomodasi suara-suara yang selama ini gencar menentang implementasi K-13, Mendikbud akhirnya memilih pilihan pertama, yakni menghentikan implementasi Kurikulum 2013 sambil menyempurnakan seluruh komponen dan perangkat Kurikulum 2013. Hanya sekolah yang sudah melaksanakan K-13 selama tiga semester yang dinyatakan tetap melaksanakan K-13. Sedangkan, sekolah-sekolah yang baru melaksanakan K-13 selama 1 semester harus menghentikannya dan kembali menerapkan Kurikulum 2006.

Kebijakan “pahit” itu memang harus diambil oleh Mendikbud dalam menghadapi situasi transisi dalam dunia pendidikan kita. Sekolah sudah mulai meninggalkan Kurikulum 2006 (KTSP), tetapi mereka juga belum siap benar untuk menerapkan K-13. Dalam situasi transisi seperti itu, sangat bisa dipahami kalau kebijakan Mendikbud tidak bisa memuaskan semua pihak.

Meskipun demikian, secara jujur mesti diakui, kebijakan Mendikbud yang “pahit” dalam situasi transisi itu akan memberikan dampak psiko-sosial yang sangat serius, baik bagi peserta didik, guru, maupun sekolah. Peserta didik yang menimba ilmu di sekolah-sekolah non-piloting harus menjadi “korban”. Pembelajaran yang mereka ikuti selama satu semester jadi mubazir. Guru yang selama ini telah “berdarah-darah” mengikuti Diklat dan menyiapkan setumpuk perangkat untuk menyongsong sebuah “perubahan” akhirnya juga harus gigit jari. Demikian juga sekolah yang telah berupaya serius untuk menyiapkan anggaran dan perlengkapan lainnya, terpaksa harus menelan kekecewaan. Belum lagi implikasi sosial yang terjadi ketika dunia pendidikan kita harus menerapkan kurikulum yang berbeda. Apa yang terjadi seandainya nanti sama-sama lulusan SD, SMP, SMA/SMK, tetapi mereka memiliki derajat kompetensi yang berbeda. Apalagi buat lulusan sekolah kejuruan yang sudah siap memasuki dunia kerja. Haruskah mereka nanti akan mendapatkan perlakuan yang berbeda di dunia usaha karena perbedaan kompetensi? Rumit memang kalau sudah berbicara tentang out-put dan out-come lembaga pendidikan yang menerapkan kurikulum yang berbeda.

Begitulah kondisi riil dunia pendidikan kita. Negeri lain sudah melaju mulus di atas jalan tol peradaban dunia, tetapi bangsa kita masih bersikutat di balik semak-semak “kurikulum”. Agaknya, kita perlu “cooling-down” agar situasi transisi itu tidak membuat kita, khususnya para guru yang kembali akan “dimuliakan” dan “dimartabatkan”, terjebak pada ruang perdebatan yang menguras pikiran dan energi. Mari kita kembali merangkul anak-anak kita dengan sentuhan cinta dan kasih sayang yang tulus, apa pun kurikulum yang kita gunakan. Itu saja! ***


“Mengawinkan” Blog dan Media Sosial

$
0
0

Untuk bisa menjaga konsistensi ngeblog ternyata bukan perkara mudah. Selalu saja ada godaan yang datang menghadang, entah lataran kesibukan offline yang menumpuk, aktivitas sosial, “adrenalin” menulis yang menyurut, pikiran sedang tidak “mood”, malas, atau lantaran lemotnya performance blog –khususnya self hosting. Satu lagi, godaan yang sulit dihindari pada era digital seperti saat ini adalah menjamurnya media sosial yang dinilai jauh lebih interaktif dan menantang ketimbang blog. Tidak heran apabila sekarang ini banyak narablog yang lebih suka melakukan update status di media sosial ketimbang di blognya sendiri.

medsosSaya tidak hendak mengatakan bahwa media sosial menjadi penghambat dalam ngeblog. Toh, media sosial justru bisa dijadikan sebagai media promosi blog paling murah dan cepat. Hanya dengan mencantumkan link sebuah blog di media sosial, postingan kita di blog bisa dengan mudah dan cepat dibaca orang. Meskipun demikian, secara jujur mesti diakui bahwa media sosial seperti mengandung “zat adiktif” yang bisa membuat seeseorang kecanduan. Kita sering sulit untuk beralih mengurus blog ketika beranda media sosial menyajikan info-info terkini dan mutakhir. Dari detik ke detik, mata kita tertantang untuk mengikuti link-link informasi dari sebuah media sosial, hingga akhirnya secara pelan tapi pasti blog kita jadi terlupakan.

Dinamika media sosial belakangan ini memang luar biasa. Facebook dan twitter, misalnya, tidak hanya sekadar menjadi media sosial untuk meng-update status semata, tetapi juga bisa dijadikan sebagai media informasi paling cepat dan murah. Jika pada kurun waktu beberapa tahun yang silam, kita hanya bisa mendapatkan informasi dari media elektronik semacam radio atau televisi, kini situasi semacam itu sudah mulai berubah. Media elektronik lebih sering digunakan untuk hiburan semata ketimbang mendapatkan informasi. Untuk mendapatkan informasi mutakhir, kini kita tinggal membuka beranda media sosial. Di sana kita akan menemukan link-link informasi yang bejibun jumlahnya.

Dalam situasi seperti itu, sesungguhnya media sosial sekaligus juga bisa dijadikan sebagai salah satu inspirasi ngeblog. Jika kita kehabisan ide untuk membuat postingan di blog, tidak ada salahnya apabila kita mengeksplorasi informasi yang kita dapatkan melalui media sosial. Dengan menambahkan sekelumit pandangan dan opini pribadi kita di dalamnya, jadilah sebuah postingan yang siap disajikan di blog. Dengan kata lain, kita sesungguhnya bisa “mengawinkan” antara blog dan media sosial hingga mampu “melahirkan” anak-anak tulisan yang tidak kalah menarik jika dibandingkan dengan opini pribadi semata. ***

Seni Rakyat Tidak Akan Pernah Mati

$
0
0

Tidak sedikit kalangan yang pesimistis bahwa seni rakyat akan punah dan mati di tengah gerusan arus global yang begitu dahsyat pada abad ke-21 ini. Pesimisme semacam itu memang tidak berlebihan ketika proses regenerasi seniman rakyat dinilai berlangsung lamban, jalan di tempat, bahkan stagnan. Imbasnya, pertunjukan seni rakyat yang sarat dengan nilai kearifan lokal jarang muncul, bahkan tidak pernah pentas lagi di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Seni pertunjukan rakyat sudah jauh terdesak ke semak-semak peradaban dan hilang ditelan zaman.

Namun, jika kita menengok daerah-daerah pedesaan yang memiliki banyak kantong seni rakyat, pesemisme semacam itu tidak terbukti. Para pelaku seni rakyat dengan kesadaran kulturalnya yang luar biasa masih amat setia berada di “habitat” keseniannya. Mereka dengan amat sadar melakukan regenerasi secara berkelanjutan dan terus-menerus di tengah terpaan angin global yang begitu kencang. Bahkan, mereka mampu melakukan pentas secara rutin dalam berbagai event, baik di daerahnya sendiri maupun ke daerah-daerah lain.

seni rakyatDaerah Kendal, misalnya, merupakan salah satu daerah yang masih menyimpan banyak seniman tradisi yang masih amat setia menjaga “marwah” kesenian rakyatnya. Para seniman tradisi begitu setia melakukan proses regenerasi dengan merangkul seniman-seniman muda untuk melestarikan sekaligus mengembangkan seni rakyat yang sesuai dengan tuntutan “selera” zaman. Sesekali, group seni rakyat dari Kendal mengemban misi kesenian untuk mewakili Jawa Tengah dalam event bergengi di tingkat nasional, khususnya di Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Yang mengagumkan, setiap kali ada pentas seni rakyat, masyarakat dari berbagai lapisan usia berbondong-bondong untuk menikmatinya.

Dalam situasi demikian, yang layak diapresiasi, bukan hanya seniman tradisi yang masih amat setia menjaga “marwah” keseniannya, melainkan juga apresiasi masyarakat yang luar biasa. Setiap kali ada pentas seni rakyat, masyarakat tak pernah ketinggalan untuk memadati arena pentas.

Dalam amatan awam saya, fenomena semacam itu menunjukkan bahwa seni rakyat tidak akan pernah mati selama para pemangku seni rakyat, termasuk masyarakatnya, masih memiliki kesadaran kultural untuk menjaga, melestarikan, dan mengembangkannya. Agaknya, masyarakat yang kini berada di tengah pusaran arus globalisasi, mulai jenuh dengan seni modern, lengkap dengan berbagai atribut gemerlap dan glamour-nya. Masyarakat mulai rindu dengan kehadiran seni rakyat yang dianggap tidak hanya sekadar menghibur, tetapi juga mengandung nilai-nilai kearifan lokal yang mampu memperkuat “kesejatian diri”. Tidak berlebihan apabila setiap kali ada pentas seni pertunjukan rakyat, arena pentas selalu penuh dengan penonton dari berbagai lapisan usia. ***

Pertemuan Mengharukan Dua Bersaudara

$
0
0

Dalang: Sawali Tuhusetya

Sungguh, sebuah tempat yang jauh dari menyenangkan. Musik yang menyangkut di telinga hanyalah orkestra suara satwa liar dan ganas yang menyakitkan. Minuman yang mereka teguk hanyalah sumber mata air dari balik dan ceruk bukit yang gelap dan terjal. Makanan yang melesak ke dalam perut mereka hanyalah buah-buahan yang tersisa dari mulut para monyet. Tidak heran apabila baru dua pekan berada di tempat itu, mereka merasa seperti terjebak dalam keabadian zaman ratusan abad lamanya. Bima yang selama ini dikenal sebagai pemuda perkasa pun nyaris putus asa. Lebih-lebih ketika Arjuna tidak berada di tengah-tengah mereka. Praktis, rombongan para putra Pandu yang tengah berada di hutan Kamiyaka yang singup itu jadi kian merasa tersiksa. Drupadi yang cantik dan Sadewa yang lembut berkali-kali disengat demam.

“Bagaimana kalau kita segera pindah saja dari sini, Kang Mas? Aku selalu teringat Mas Arjuna yang kini tak jelas keberadaannya. Semakin lama di sini, sakitku bukan hanya karena demam, tapi juga karena siksaan batin. Sakitnya itu di sini, Kang Mas!” keluh Sadewa sambil menunjuk dadanya. Bima terdiam. Dia sangat memahami kondisi adiknya yang rentan kena penyakit itu. Namun, ia tak bisa berbuat apa-apa, selain menunggu komando kakak sulungnya, Yudistira.

wayangAgaknya, Yudistira tanggap dengan kondisi adik sulungnya, Sadewa. Namun, seperti biasanya, Yudistira tak pernah bicara dengan lugas. Bahasanya selalu bersayap. Kepada para sesepuh, termasuk penasihat spiritual, dan semua rombongan, Yudistira mengatakan bahwa Arjuna sedang menjalankan misi pendakian Gunung Himalaya, untuk menemukan berbagai jenis senjata canggih yang kelak diharapkan mampu melumpuhkan para dedengkot Kurawa, seperti Bisma, Druna, Krepa, atau Aswatama.

“Kita tahu, para mahaguru itu pasti berada di pihak putra-putra Destarastra. Kita juga tahu, Karna juga memiliki senjata hebat yang mustahil bisa dihadapi dengan senjata biasa. Oleh karena itu, Arjuna memang sengaja aku minta untuk menjalankan misi rahasia ini,” kata Yudistira dengan nada lembut di depan rombongan.  “Arjuna memang sudah lama menjalankan misinya. Kepergiannya membuat tempat ini semakin menjenuhkan.  Oleh karena itu, kita akan pergi dari tempat ini untuk mencari tempat yang bisa membuat kita tidak selalu teringat kepada Arjuna,” lanjut Yudistira.

“Para sesepuh dan penasihat, barangkali ada yang tahu, tempat mana yang harus kita tuju?” tanya Yudistira sembari menyapukan pandangan matanya kepada para sesepuh dan penasihat spiritual. Resi Daumya, seorang mahaguru yang sudah sarat pengalaman keluar masuk hutan, memmberikan gambaran tentang seluk-beluk hutan di sekitar hutan Kamiyaka serta tempat-tempat yang dianggap suci. Setelah melakukan persiapan secukupnya, para Pandawa dan rombongan bergegas menjelajahi hutan untuk menjalani masa-masa “incognito”; menyamar  di tempat pengasingan agar tidak terdeteksi musuh. Dengan berbagai risiko yang menghadang selama dalam perjalanan, mereka terus berjalan melalui medan yang amat sulit dan berbahaya, hingga akhirnya tiba di kaki Gunung Himalaya yang singup tertutup belantara dengan berbagai tebing , jurang, dan lembah yang sarat dengan tikungan dan jebakan.

Perjalanan benar-benar berat dan melelahkan, hingga Drupadi tak sanggup lagi melanjutkan pengembaraan. Melihat isterinya dalam kondisi mencemaskan, Yudistira meminta Bima, Sadewa, dan dan Gatotkaca, untuk menemani Drupadi beristirahat di Ganggadwara. Sementara Yudistira sendiri akan melanjutkan perjalanan bersama Resi Lomasa dan Nakula. Namun, Bima menolak. Ia sudah sangat merindukan Arjuna, adik tercintanya. Selain itu, Bima juga tak bisa membiarkan Yudistira hanya pergi bertiga menembus rimba belantara yang dihuni banyak raksasa, binatang buas, dan berbagai jenis makhluk jahat lainnya. Akhirnya, Yudistira memutuskan untuk menjelajahi hutan bersama-sama; apa pun yang terjadi.

Pengembaraan panjang, berat, dan melelahkan yang telah mereka lakukan akhirnya mampu membawa mereka menapakkan jejak kaki hingga masuk di perkampungan Kulinda, salah satu wilayah Kerajaan Subahu di kaki Gunung Himalaya. Yudistira bersama rombongan diterima dengan ramah dan bersahabat oleh Raja Subahu dan beristirahat hingga beberapa hari. Tak lama kemudian, mereka melanjutkan pengembaraan lagi hingga masuk ke ke hutan Narayansrama dan beristirahat hingga beberapa hari.

Tanpa tahu sebab yang pasti, suatu ketika mendadak terjadi tiupan angin kencang dari arah Timur Laut; menaburkan aroma wangi bunga, dedaunan, dan ranting-ranting kering. Tanpa diduga, sekuntum bunga wangi jatuh di pangkuan Drupadi. Hati Drupadi berbunga-bunga dan bergegas meminta tolong Bima untuk mencarikan pohon bunga yang harum itu.

“Alangkah indahnya dan harumnya bunga ini. Jika suatu saat nanti kita kembali ke ke Kamiyaka, aku ingin menanamnya di sana! Maukah engkau mencarikan pohonnya untukku, Mas Bima?” rajuk Drupadi. Tanpa menunda waktu, Bima menyanggupi permintaan Drupadi dan bergegas mencari pohon berdasarkan arah angin. Setelah berjalan cukup jauh, ia sampai di kaki sebuah bukit. Ia terkejut. Di depan mata telanjangnya, ia melihat semak-semak dan pepohonan rebah. Ia makin terkejut ketika di dekat pepohonan yang rebah itu terliat seekor kera besar berbulu indah bercahaya sedang berbaring tak bergerak. Tentu saja, kera raksasa itu menjadi penghalang langkahnya untuk mencari pohon bunga yang diminta Drupadi karena sudah tak ada jalan lain. Bima mencoba mengusir kera itu dengan menggeram sekuatnya hingga menimbulkan getaran di sekitar hutan. Suara geramnya bergema dan memantul-mantul. Namun, kera raksasa itu tetap bergeming.

“Aku sedang sakit, mengapa Sampeyan menggangguku. Sebagai manusia yang berakal budi, tidak seharusnya bersikap seperti itu. Tidak tahukah Sampeyan kalau aku benar-benar sakit? Siapakah Sampeyan sebenarnya dan hendak ke mana? Sampeyan tak bisa melanjutkan perjalanan lewat bukit ini, karena jalur ini khusus untuk para dewata. Tak ada manusia di sini. Kalau Sampeyan manusia yang berakal budi, Sampeyan pasti memilih balik kanan dan pulang menemui keluargamu!” kata kera itu seperti hendak merendahkan Bima.

bimaKarena merasa diremehkan, Bima geram. “Siapa sebenarnya engkau, hai kera jelek? Mengapa omonganmu seperti mampu menggetarkan pintu langit? Aku ini ksatria keturunan bangsa Kuru dan anak Dewi Kunti. Ketahuilah, aku ini putra Dewa Angin. Cepat pergi dari sini! Berikan aku jalan! Kalau tidak, engkau akan kuhabisi!” kata Bima dengan nada kasar. Bola matanya menyala-nyala. Giginya gemeletuk menahan amarah.

Kera itu hanya tersenyum. “Memang benar kata Sampeyan, aku hanya seekor kera. Tetapi, percayalah, kau akan menemui kehancuran jika tetap memaksa untuk lewat!”

“Apa pedulimu? Aku tidak percaya! Aku siap menghajarmu! Minggirlah!”

“Aku tak punya kekuatan lagi untuk bangun. Aku sudah terlalu letih dan tua. Kalau Sampeyan memaksa mau lewat, langkahi saja aku.”

“Tidak ada jalan yang lebih mudah dari itu. Tetapi kitab-kitab suci melarang orang berbuat demikian. Kalau tidak, pasti aku sudah loncati engkau dan bukit itu sekaligus dalam satu loncatan, seperti Anoman melompati lautan.”

Kera tersentak. “Wahai kesatria, siapakah Anoman yang mampu melompati lautan itu? Ceritakanlah padaku!”

“Apakah engkau tak pernah mendengar bahwa Anoman adalah kakakku yang berhasil melompati lautan dan

menempuh seratus yojana untuk mencari Dewi Sinta, istri Sri Rama? Aku sama dengan dia, baik dalam kekuatan maupun keperwiraan. Ah, mengapa aku jadi lama berbincang denganmu? Sekarang, bergeserlah jangan menghalangiku. Jangan membuat aku marah dan terpaksa berkelahi denganmu!”

“Sabarlah, wahai kesatria perkasa! Lembut hatilah sedikit. Tak ada salahnya bersikap lembut meskipun Sampeyan kuat dan perkasa. Kasihanilah yang lemah dan yang tua. Aku sungguh tak mampu bangun sebab badanku telah tua dan rapuh. Kalau Sampeyan tidak mau melompatiku, tolong singkirkan ekorku ke samping dan carilah jalan untuk lewat!”

Bangga akan keperkasaannya, Bima bermaksud menarik ekor kera itu keras-keras dan menyingkirkannya. Namun, sungguh ia tak menduganya. Sudah berbagai macam cara dan kekuatan ia kerahkan, tetapi tak sedikit mampu menggeser ekor kera itu. Bima malu. Ia segera menunduk takzim dan memberi hormat kepada kera itu.

“Siapakah sebenarnya engkau? Dewa atau raksasa?”

“Wahai Pandawa perkasa, ketahuilah aku ini saudaramu, Anoman, anak Batara Bayu, sang Dewa Angin. Jika tidak kuhalangi, Sampeyan pasti telah meneruskan perjalanan dan sampai ke dunia gaib yang dihuni para raksasa. Engkau pasti menemui malapetaka di sana. Karena itulah aku menghalangimu. Tak ada manusia yang bisa selamat melewati batas ini. Sekarang, pergilah ke lembah di bawah sana. Di tepi sungai yang membelah lembah itu tumbuh pohon Saugandhika yang kaucari.”

Mendengar penuturan itu, Bima sangat bahagia. Jantungnya berdegup kencang, sekujur tubuhnya terasa hangat. Anoman bangkit, lalu menarik napas panjang. Tiba-tiba, badannya membesar bagaikan gunung, seakan-akan memenuhi hutan itu. Bima silau memandang Anoman yang menjadi luar biasa besar dan bulunya bercahaya gemilang.

“Bima, di hadapan musuh, badanku bisa bertambah besar lagi,” kata Anoman. Kemudian, ia segera mengembuskan napas dan berdiri di depan Bima. Badannya kembali mengecil, kemudia Anoman memeluk Bima. Ketika berpelukan, dua bersaudara itu merasa mendapat kekuatan luar biasa dan berlipat ganda.

“Wahai kesatria, kembalilah kepada keluargamu. Pikirkan aku jika kau memerlukan pertolonganku. Aku sangat bahagia bisa bertemu denganmu, Saudaraku. Aku merasa seperti bertemu Sri Rama yang suci raganya,” kata Anoman.

“Berbahagialah Pandawa sebab aku telah mendapat kesempatan untuk bertemu denganmu. Berkat pengaruh kekuatanmu, aku yakin kami pasti bisa mengalahkan musuh-musuh kami.”

“Kelak dalam pertempuran besar, jika kau meraung seperti singa jantan, suaraku akan berpadu dengan suaramu, menggelegar di angkasa dan menyebabkan musuh-musuhmu gemetar ketakutan. Aku akan hadir di dekat bendera kereta Arjuna. Engkau pasti menang!” kata Anoman seraya menunjukkan jalan ke tempat tumbuhnya pohon kembang Saugandhika.

Sebuah pertemuan yang mengharukan. Setelah menuntaskan kerinduan kepada saudaranya itu, Bima segera mohon diri untuk secepatnya mencari pohon Saugandhika yang diinginkan Drupadi. *** (Tancep kayon)

Jodhipati FM dan Kesetiaan Menjaga Budaya Jawa

$
0
0

Bagi masyarakat Jawa Timur yang kebetulan gandrung dengan budaya Jawa, Jodhipati FM bukan lagi nama yang asing. Radio FM yang 100% murni menyajikan siaran budaya Jawa ini berlokasi di Dusun Turi, Ngadiboyo, Rejoso, Nganjuk, Jawa Timur. Melalui slogan “Kumenyaring Budaya Nagari”, Jodhipati FM berupaya serius untuk melestarikan dan mengembangkan budaya Jawa dengan segala aspek dan pernak-perniknya. Melalui siaran full 24 jam non-stop, format acara dan bahasa siaran yang digunakan 100% bahasa Jawa.

Berikut adalah beberapa program acara yang dikemas secara rutin oleh Jodhipati FM:

  1. SUNARING ATI (04.00-06.00)Format lelagon nafas Islami kanthi kacampur dakwah agami Islam, ing pangajab saged mimbuhi kandeling Iman.
  2. TEKEN MAYA -Tembang kenangan sinam-bi makarya (06.00 – 08.00): Pasugatan lelagon lami pop Indonesia campuran. Lelagon punika dipun remeni para ibu-ibu ingkang nyambut karya, ugi para karyawan ingkang tata-tata ing kantoripun.
  3. BANGSRIGATI -Tembang Campursari leganing ati (08.00 – 10.00)
  4. SAMPUR –sangu makarya murih rahayu (10.00 – 13.00): Pasugatan gendhing-gendhing tayub ingkang taksih dipun tresnani dening perangan masyarakat jawi, sae para nem-neman sarta priyayi sepuh, ugi kangge jampi sayah para among tani anggenipun nyambut damel ing sabin.
  5. JODHIPATI -Jodhang gendhing pamareming ati (13.00 – 16.00): Format gendhing-gendhing Uyon-uyon, ugi kagiyaraken carios-carios sejarah, carios rakyat, kawruh basa, kasusastran pinangka indhaking kawruh tumrap para miyarsa, tur kenging kangge nglelejar manah.
  6. SANDIWARA-(16.00 – 17.00): Acara punika nggiyaraken seni Tradisional ingkang komunikatif tuladhanipun Kethoprak, Ludruk, Dhagelan. Ing mangke pranyata taksih dipun remeni saperangan kathah para warga masyarakat.
  7. SUNARING ATI-(17.00 – 18.00): Acara punika mboten benten kaliyan Sunaring ati wanci enjing.
  8. SRIKATON-Campur sari Klasik lan Maton (18.00 – 20.00): Acara lelagon Campursari ingkang alus-alus, ugi kangge ajanging nyupeketaken pasedherekan antawising para sutresna Radhio Jodhipati kanthi lantaran tilpun utawi SMS
  9. TARUB -Taman rubrik (20.00 – 21.00): Acara punika ngewrat byawara ingkang asipat sesuluh mliginipun babagan budaya, tuladhanipun budaya tetanen, budaya ing papan wisata lsp.
  10. GISIK WANGI- Gendhing Klasik Wanci Wengi (21.00 – 24.00): Pasugayan Gendhing-gegendhengan, sendhon sesindhenan, kangge nglelejar panggalih, kathah dipun remeni para sepuh.

JodhipatiSungguh menarik! Di tengah ketatnya persaingan media siaran yang cenderung menghamba pada kepentingan kapitalis dengan format-format siaran yang cenderung abai terhadap kultur lokal –lantaran dianggap tidak menghasilkan keuntungan secara finansial—Jodhipati FM tetap eksis pada “khittah”-nya sebagai radio budaya Jawa. Yang tak kalah menarik, tidak jarang Jodhipati FM merangkul para pelaku budaya untuk mengisi siaran-siarannya secara langsung. Dalang-dalang lokal yang “nyaris” tak tersentuh publik, mungkin lantaran kurangnya tanggapan, secara pelan tetapi pasti mampu “bersaing” dan eksis berkat “intervensi” Jodhipati FM.

Di tengah situasi peradaban global yang cenderung abai terhadap nilai-nilai kearifan lokal, kehadiran Jodhipati FM sungguh layak diapresiasi. Kehadirannya tidak sekadar papan nama, tetapi benar-benar berbasiskan kesadaran kultural yang dengan amat serius mengangkat nilai-nilai kultur Jawa ke tengah-tengah lalu lintas peradaban global.

Kini, kehadiran Jodhipati FM dengan alamat website jodhipatifm.co.id tak hanya bisa dinikmati masyarakat Jawa Timur dengan radius 200 KM meliputi 9 kabupaten, seperti Kab. Nganjuk, Kab. Kediri, Kota Kediri, Kab. Jombang, Kab. Mojokerto, Kab. Lamongan, Kab. Bojonegoro, Kab. Ngawi, dan Kab. Madiun. Dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi digital, siaran Jodhipati FM bisa dinikmati oleh para pandhemen budaya Jawa di berbagai belahan dunia melalui radio streaming. Saya yang tinggal di Jawa Tengah, termasuk beruntung, karena hampir setiap hari bisa menikmati siaran Jodhipati FM melalui radio streaming. Ketika saya memosting tulisan ini, Jodhipati FM tengah menyiarkan wayang kulit semalam suntuk dengan mengangkat lakon “Semar Mbangun Kayangan” yang digelar oleh seorang dalang lokal.

Dalam konteks demikian, sungguh “keblinger” ketika ada seorang wakil rakyat yang mengusulkan agar bahasa Jawa dihilangkan dalam kurikulum pendidikan kita. Di tengah era peradaban global seperti sekarang justru harus lebih banyak jalur dan media yang perlu dimanfaatkan untuk melestarikan sekaligus mengembangkan bahasa daerah, termasuk bahasa Jawa. Negeri ini sangat membutuhkan generasi masa depan yang maju, modern, dan mengglobal, tanpa harus kehilangan jati diri keindonesiaannya. Mereka diharapkan tetap memiliki kesadaran kultural untuk tetap menjadi “pemangku” kultur daerah di tengah-tengah pergaulan dunia.

Jodhipati FM termasuk salah satu radio yang telah memiliki kesadaran kultural untuk tetap setia menjadi penjaga budaya Jawa sebagai basis siarannya. Kehadiran Jodhipati FM bisa menumbuhkan “eksotisme budaya” dan sekaligus mengobati kerinduan para penikmatnya terhadap siaran-siaran bermutu yang sarat dengan nilai kearifan lokal di tengah lalu lintas informasi global. Semoga Jodhipati FM tetap eksis menjalankan misi kulturalnya di tengah godaan budaya global yang kian deras menggerus nilai-nilai kearifan lokal. ***

Review Blog Personal Menjelang Akhir Tahun

$
0
0

Tanpa terasa, sudah lebih 7 tahun saya menjalani aktivitas ngeblog. Tepatnya sejak Juli 2007, saya mencoba merambah dunia maya yang saat itu memang belum terlalu populer seperti saat ini. Koneksi internet pun masih tergolong mahal dan mesti “curi-curi” waktu ke warnet sekadar untuk memosting sebuah tulisan, sebelumnya akhirnya –lantaran sebuah kebutuhan—memasang jaringan internet sendiri di rumah.

Tujuh tahun ngeblog memang masih terbilang muda. Masih terlalu banyak “ilmu” yang mesti ditimba dari para bloger senior yang sudah lebih dulu jauh melesat dalam dunia virtual. Setidaknya, konsistensi ngeblog masih perlu terus dipoles. Ide masih perlu terus digali. Demikian juga gaya tulisan yang bisa memikat pembaca masih perlu terus diasah. Belajar ngoprek blog juga tidak kalah penting untuk dilakukan guna mengatasi kejenuhan selera yang acapkali menggoda. Bagi saya, tampilan blog sering menjadi motivasi tersendiri untuk memacu “adrenalin” ngeblog. Ibarat sebuah rumah, blog memang mesti dipoles dan dihuni dengan penuh rasa cinta dan kasih sayang, sehingga menumbuhkan rasa nyaman dan menyenangkan.

Catatan Sawali Tuhusetya

 
Hem … 7 tahun ngeblog — berdasarkan arsip blog sudah berlangsung sekitar 84 bulan– di bar samping–ternyata juga belum sanggup memacu produktivitas dalam menulis. Baru sekitar 1.091 judul tulisan yang tersimpan dalam laci perpustakaan maya. Kalau dibagi rata, memang secara kasar setiap bulan ada sekitar 12 tulisan yang bisa saya hasilkan. Namun, sekali lagi, konsistensi ngeblog ternyata memang belum sepenuhnya memenuhi harapan. Ada kalanya produktivitas meningkat tajam. Namun, pada saat yang lain, aktivitas ngeblog saya langsung drop. Bahkan, pernah hampir 3 bulan berturut-turut saya “absen”. Tak satu pun sebuah tulisan yang terpajang di blog.

Kalau boleh ber-“apologi”, ada dua godaan utama yang bisa membuat aktivitas ngeblog turun-naik. Pertama, aktivitas offline yang tak terhindarkan. Alasan ini memang sangat manusiawi. Seorang blogger sejatinya tergolong makhluk sosial yang sangat peduli pada lingkungan sosialnya. Ia tak bisa terus-terusan terisolir dan tidak membumi. Ia juga tak bisa terus-terusan berada di depan layar komputer semata-mata untuk mengurusi blog. Ada tanggung jawab sosial yang mesti ditunaikan. Tak hanya berkaitan dengan pekerjaan rutin untuk menghidupi keluarga, tetapi juga bersosialisasi dengan lingkungan; entah itu rapat RT/RW, kerja bakti lingkungan, menghadiri undangan hajat, siskamling, atau tahlilan. Belum lagi pekerjaan sampingan yang tak kalah menguras energi, waktu, dan tenaga.

CSTCSTKedua, gangguan server dan koneksi internet. Ngeblog merupakan ativitas virtual yang membutuhkan koneksi itnernet sebagai media utama. Seproduktif apa pun seorang blogger dalam menulis, tulisannya tak akan pernah berhasil dibaca publik apabila jaringan internet sedang lemot. Demikian juga halnya dengan server yang terkait secara langsung dengan “nasib” hidup sebuah blog. Adrenalin ngeblog langsung menyurut ketika blognya gagal digunakan untuk meng-update postingan.

Bisa jadi masih ada godaan-godaan lain yang membuat aktivitas ngeblog seorang nlogger mengalami pasang-surut. Namun, bagi saya, dua godaan utama itulah yeng selama ini saya masih belum bisa “istikomah” dalam menjalani aktivitas ngeblog.

CSTPersoalannya sekarang, sudah “kiamat”-kah seorang blogger ketika aktivitasnya mengalami pasang surut dan merasa gagal mengatasi godaan yang  menghadangnya? Secara pribadi, saya cenderung berpandangan bahwa blogger tak pernah mengenal istilah “pensiun” dalam kamus pribadinya, apalagi “kiamat”. Ia masih bisa menjalankan aktivitas virtualnya setiap saat. Toh, blog sejatinya menjadi bagian dari tanggung jawab personal yang tak pernah berimplikasi secara sosial di dunia nyata. Artinya, masih eksis ngeblog atau tidak, para blogger tetap saja tidak bisa memgisolir diri dari berbagai persoalan sosial yang berlangsung di sekelilingnya.

Meskipun demikian, kalau ngeblog dianggap sebagai sebuah “dunia panggilan”, jelas secara personal, seorang blogger tetap memiliki tanggung jawab moral untuk menjawab kegelisahan batinnya dalam berkreativitas. Dalam situasi seperti ini, setiap blogger memiliki berbagai cara untuk menjawab kegelisan batinnya. Salah satu di antaranya –termasuk saya– adalah memajang widget kalender blog di halaman utama. Kalender blog tak hanya berfungsi sekadar penghias dan aksesoris belaka, tetapi yang jauh lebih utama adalah sebagai pengingat dan  penanda eksistensinya dalam ngeblog. Sungguh, secara naluriah, saya termasuk orang yang tak tega hati ketika melihat kalender blog saya miskin aktivitas.

Oleh karena itu, menjelang pergantian tahun yang sebentar lagi akan tiba, saya mesti sering-sering menengok kalender blog untuk memicu “adrenalin” dalam menulis. Bermutu atau tidak tulisan yang di-update, ada pengunjungnya atau tidak, itu bukanlah hal yang penting benar untuk dipersoalkan. Yang penting menulis, menulis, dan menulis. Begitulah! Semoga kompleks blogosphere kembali menggeliat dan ramai oleh riuh rendah para blogger yang tengah beraktivitas di dunia virtual.

Nah, selamat menyongsong pergantian tahun, semoga mendatangkan banyak berkah dan kebentungan. Salam ngeblog! ***

Viewing all 147 articles
Browse latest View live