Quantcast
Channel: Catatan Sawali Tuhusetya
Viewing all 147 articles
Browse latest View live

Lomba Blog “e-Learning untuk Guru dan Siswa”

$
0
0
Blog

Oleh: Sawali Tuhusetya

Dalam rangka memperingati Hari Guru, 25 November 2013, XL menggelar Lomba Blog Pendidikan dengan mengusung tema “e-Learning untuk Guru dan Siswa”. Lomba ini bisa jadi merupakan salah satu bentuk kepedulian dan apresiasi XL terhadap kaum pendidik yang “pernah” mendapatkan gelar “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa”. Seiring dengan bergulirnya waktu, gelar itu kini semakin sayup-sayup terdengar hingga akhirnya lenyap di balik hiruk-pikuk peradaban yang makin materialistik, konsumtif, dan hedonistik. Meski demikian, konon peran kemanusiaan guru di tengah peradaban yang “sakit” seperti saat ini (nyaris) tak pernah bisa tergantikan oleh apa pun. Dalam situasi seperti itu, ternyata masih ada beberapa pihak yang mengapresiasi fungsi dan peran guru; salah satunya adalah XL.

Berikut adalah beberapa ketentuan lomba yang digelar itu.

Teknis lomba:

  1. Setiap peserta harus follow @IndBerprestasi dan like FB Page Indonesia Berprestasi.
  2. Artikel minimal terdiri dari 400 kata.
  3. Artikel menggunakan Bahasa Indonesia.
  4. Setiap peserta boleh menulis lebih dari 1 artikel blog (berseri ataupun tidak berseri).
  5. Peserta wajib memasang banner di halaman artikel yang ditautkan ke FB Page Indonesia Berprestasi. Banner bisa di dapat di FB Page Indonesia Berprestasi.*
  6. Peserta mendaftarkan URL tulisan yang akan dilombakan melalui “message” di FB Page Indonesia Berprestasi, beserta nama lengkap, akun @twitter, alamat domisili, dan nomor ponsel.
  7. Hadiah akan diserahkan di kantor XL untuk pemenang yang berdomisili di Jabodetabek. Untuk yang berdomisili di luar Jabodetabek, hadiah akan dikirimkan ke alamat pemenang.

Syarat dan ketentuan:

  1. Lomba blog terbuka untuk WNI yang berdomisili di Indonesia.
  2. Lomba blog terbuka untuk berbagai platform blog, termasuk tidak terbatas pada wordpress, blogspot, dan tumblr.
  3. Konten blog tidak mengandung unsur SARA dan pornografi.
  4. Artikel yang didaftarkan harus asli karya peserta dan bukan milik orang lain.
  5. Jika pada pemenang ditemukan ketidaksesuaian ataupun bukti yang melanggar peraturan lomba, maka pemenang tersebut akan di-diskualifikasi.
  6. Kualitas diskusi di kolom komentar artikel akan memberikan nilai tambah namun bukan menjadi hal utama dalam proses penjurian.
  7. Lomba blog berlangsung mulai 25 November 2013 hingga 25 Desember 2013.
  8. Akan dipilih 5 tulisan terbaik dari 5 orang blogger.
  9. Tim juri merupakan tim dari internal XL.
  10. Pemenang diumumkan pada 2 Januari 2014 di FB Page Indonesia Berprestasi.
  11. Syarat dan ketentuan sewaktu-waktiu bisa berubah tanpa pemberitahuan terlebih dahulu.
  12. Keputusan juri adalah mutlak tidak dapat diganggu gugat.

Catatan:
* Berikut banner yang perlu disisipkan di blog:

Lomba Blog Pendidikan

Banner Lomba Blog “e-Learning untuk Guru dan Siswa”

Jika tak mau repot, silakan copy-paste kode berikut ini!

<img src="https://fbcdn-sphotos-f-a.akamaihd.net/hphotos-ak-ash4/q71/1474440_627292684000484_1967180256_n.jpg" alt="Lomba Blog Pendidikan" width="336" height="280" />

Nah, selamat berlomba, semoga semua peserta menjadi pemenang, hehe …. ***


Gelar Budaya Dewan Kesenian Kendal Tahun 2013

$
0
0
Budaya

Oleh: Sawali Tuhusetya

Minggu, 1 Desember 2013, saya bersama dua pengurus Dewan Kesenian Kendal (DK2) menghadiri pentas Gelar Budaya yang dihelat oleh Komisariat Dewan Kesenian Kecamatan Gemuh di desa Lumansari. Gelar Budaya yang dimulai pukul 09.00 WIB itu menampilkan Group Turangga Mudha, salah satu group barongan yang baru berusia tiga bulan. Meski baru seumur jagung, penampilannya tidak mengecewakan. Di bawah besutan Edi Suprayitno sebagai pelatih dan Slamet sebagai sesepuh, pertunjukan berlangsung atraktif. Di bawah iringan gamelan pengiring yang rancak dan tertata apik dipadu dengan musik pentatonis, para pemain yang rata-rata berusia muda, mereka berusaha tampil maksimal.

Gelar Budaya

Pemain Dhawangan menunduk hormat kepada penonton sebelum beraksi

Gelar Budaya

Para pemain jaran kepang sedang unjuk kebolehan di tengah para penonton yang berjubel

Gelar Budaya

Leak, salah satu produk seni dari Bali, menjadi salah satu daya tarik penonton

Gelar Budaya

Aksi pemain barongan tengah “memangsa” seorang bocah

Pemilihan Komisariat Dewan Kesenian Kecamatan Gemuh terhadap group barongan Turangga Mudha untuk tampil pentas dalam Gelar Budaya yang difasilitasi oleh DK2 tahun ini agaknya memang tidak salah. Sebagai salah satu penjaga dan pemangku kepentingan seni rakyat, para pengurus komisariat perlu melakukan pembinaan serius terhadap keberadaan group-group seni rakyat yang hingga saat ini masih eksis di Kabupaten Kendal. Group Turangga Mudha memiliki prospek yang bagus untuk berkembang menjadi besar pada masa-masa mendatang. Dari segi sumber daya seniman dan dukungan kebijakan dari para pemangku kepentingan yang lain cukup mampu membuat group seni rakyat ini menggeliat untuk selanjutnya tampil eksis dalam berbagi event pertunjukan.

Harus diakui, di tengah arus globalisasi yang demikian kuat menggerus nilai-nilai kearifan lokal, seni rakyat di daerah Kendal tak gampang aus dimakan zaman. Kantong-kantong seni terus bermunculan. Di Kecamatan Gemuh saja, ada sekitar 7 group barongan yang selalu siap tampil kapan dan di mana pun mereka dibutuhkan. Belum lagi terhitung 19 kecamatan lain yang juga memiliki potensi seni dan budaya yang tak kalah kompetitif dan potensial. Dalam situasi demikian, dibutuhkan dukungan suprastruktur dan kebijakan yang berpihak terhadap tumbuh-kembangnya kantong-kantong seni rakyat yang tumbuh bermekaran di (hampir) setiap kecamatan.

Pemangku kepentingan lain yang memiliki peran besar dalam menghidupi dan menghidupkan seni tradisi adalah warga masyarakat sebagai penikmat seni. Sebuah seni tradisi, bahkan juga seni global lainnya tak akan bermakna tanpa apresiasi publik. Demikian juga hanya dengan keberadaan seni rakyat, termasuk barongan. Apresiasi mereka terhadap keberadaan seni rakyat sangat dibutuhkan di tengah menjamurnya hiburan-hiburan modern beraroma global. Dan layak disyukuri, hingga saat ini tingkat apresiasi masyarakat Kendal terhadap keberadaan seni rakyat masih sangat mengagumkan. Setiap kali seni tradisi digelar, seluruh warga masyarakat dari berbagai lapisan usia berbondong-bondong untuk menikmatinya. Itulah salah satu sumber spirit para seniman tradisional dalam menggeluti dunianya. Mereka tak mudah tergoda untuk meninggalkan seni tradisi meski serbuan seni-seni global dan mondial terus datang berseliweran di sekelilingnya.

Semoga pentas Gelar Budaya yang difasilitasi DK2 tahun ini bisa ikut memberikan spirit dan support buat para seniman tradisional sehingga mereka bisa terus eksis berkiprah sebagai pelaku seni sejati, meski godaan terus datang bertubi-tubi. ***

Meng-konversi Kode Script dan html pada Postingan

$
0
0
Blog

Oleh: Sawali Tuhusetya

Dalam ranah kehidupan sosial, “naluri” kita untuk saling berbagi seringkali muncul seketika. Demikian juga halnya dengan seorang blogger. Ada kalanya “naluri” untuk membangun semangat berbagi dalam ranah sosial di kompleks blogsphere muncul begitu saja. Sekelumit pengalamannya dalam mengelola blog ingin di-share kepada pembaca. Tentang bermanfaat atau tidaknya semangat berbagi itu bagi pembaca, itu soal lain.

Suatu ketika saya saya pernah mencoba untuk memosting kode script atau html. Saya berharap, kode-kode yang saya posting itu bisa dimanfaatkan oleh sahabat-sahabat blogger, khususnya pemula, untuk diterapkan ketika mengelola blognya. Namun, setelah kode-kode itu saya publish, yang muncul kemudian bukannya kode-kode script atau html, melainkan hasilnya, seperti gambar atau anchor-text.

Iseng-iseng, saya pun mencoba untuk mencari dan menemukan trik memasukkan kode script atau tag html ke dalam postingan melalui mbah google. Hem … ternyata memang ada trik khusus. Salah satunya adalah dengan memanfaatkan fasilitas code-converter yang disediakan google. Lantas, bagaimana caranya?

1. Buka halaman ini! Masukkan kode script atau tag html yang ingin diposting ke dalam text-area!

code-converter

2. Klik tab convert, kemudian kopi-paste ke dalam text-area postingan kita.

kopi-paste

Nah, ternyata sangat mudah dan praktis, bukan?

Agar, kode yang kita share kepada pembaca tampak lebih rapi, tambahkan border dan warna background agar mudah ditemukan untuk di-kopi-paste. Sampeyan bisa menyisipkan kode tersebut sesuai selera. Berikut kode yang biasa saya gunakan!

<div style="background:#066D12;color:#fff;border-bottom:2px solid #bbb;padding:10px 15px 10px 15px;margin-bottom:10px;font-size:14px;font-family:Consolas;text-align:left">

Masukkan kode script atau tag html yang telah di-konversi di sini!

</div>

Sampeyan juga bisa memasang fasilitas code-converter ke dalam blog di bagian mana saja, sesuai selera, bisa di bar samping atau pada halaman khusus yang bisa Sampeyan gunakan untuk meng-konversi kode script atau html, kapan pun Sampeyan mau. Berikut kodenya.

<script type="text/javascript" src="http://www.gmodules.com/ig/ifr?url=http://hosting.gmodules.com/ig/gadgets/file/102462998830435293579/post-Code.xml&amp;up_grows=1000&amp;up_conv1=1&amp;up_conv2=1&amp;up_conv3=1&amp;up_conv4=1&amp;up_conv5=1&amp;synd=open&amp;w=320&amp;h=200&amp;title=Post-Code%3A+code+converter&amp;border=%23ffffff%7C0px%2C1px+solid+%23595959%7C0px%2C1px+solid+%23797979%7C0px%2C2px+solid+%23898989&amp;output=js"></script>

Nah, selamat mencoba, salam ngeblog! ***

Negeri Kelelawar Kian Sempoyongan Memanggul Beban

$
0
0
Sastra

Oleh: Sawali Tuhusetya

Kian jauh melewat usia kemerdekaan, rakyat negeri Kelelawar bukannya makin sejahtera, melainkan kian tersuruk dalam lembah kemiskinan dan keterbelakangan. Sungguh ironis memang, negeri yang dikenal “gemah ripah loh jinawi”, rakyatnya justru banyak yang hidup sengsara dan terlunta-lunta. Lihat saja, mereka yang hidup bergerombol di jalanan sekadar untuk mencari pengganjal perut, juga mereka yang tidur bergelimpangan di emper-emper toko! Mereka sesungguhnya merupakan korban dari kebijakan penguasa yang salah urus.

Ki Doblang yang selama ini menjadi rujukan para pemburu berita hanya bisa geleng-geleng kepala.

“Ayolah, Ki! Apa benarkah penguasa negeri ini yang menjadi sumber korupsi?” desak para wartawan foto dan berita. Ki Doblang mengerutkan jidatnya. “Ayo, Ki, bicaralah pada kami!” sahut yang lain.

“Apa lagi yang mesti saya omongkan, hem? Bukankah kalian sudah dapat kebenaran info itu dari sumber yang terpercaya?” jawab Ki Doblang kalem.

“Jadi, bener info itu?”

“Loh, silakan kalian tafsirkan sendiri! Saya ndak biasa menggunakan logika terbalik seperti pejabat-pejabat negeri Kelelawar yang lain. Kalau saya bilang merah, ya, merah! Putih ya putih! Titik!”

“Oh, statement Ki Doblang bisa bikin gempar, nih!”

“Gempar gimana? Itu kan pinter-pinternya Sampeyan memplintir berita! Saya bilang merah, situ memberitakan putih! Jangan-jangan Sampeyan sudah ketularan virus pejabat di negeri Kelelawar ini! Tapi, sudahlah! Daripada nanti Sampeyan terlalu repot menafsirkan pernyataan saya, lebih baik saya ngomong blak-blakan, kalau info yang beredar itu benar adanya! Puas Sampeyan?” tegas Ki Doblang sambil memlintir brengosnya yang lumayan tebal. Para pemburu berita manggut-manggut. Di kepala mereka terbayang oplah terbitan yang bakal melonjak drastis. Maklum, isu yang beredar selama ini ibarat –maaf– “kentut”. Tercium bau busuknya, tapi tak jelas siapa yang telah menghembuskan gas amoniak itu. Kini, berita simpang-siur itu agaknya mulai terang-benderang. Mereka paham benar siapa Ki Doblang itu. Ya, sosok yang selama ini dinilai tegas dalam menggorok leher para koruptor, justru bernasib tragis. Ia dijebloskan ke dalam hotel prodeo yang pengap dan berbau busuk akibat rekayasa kelelawar-kelelawar “hitam” dan korup. Namun, Ki Doblang tak gentar menghadapi rekayasa licik para pengemplang harta negara. Sebagai mantan Ketua Komite Pemberangusan Kelelawar Koruptor (KPKK) yang taat hukum, ia jalani semua tuntutan hukum itu dengan lapang dada, meski ia sendiri tak pernah melakukan tindak tercela itu; membunuh. Namun, ia menyimpan banyak “kartu truf” yang bisa menjerat sosok-sosok penting di negeri Kelelawar. Hanya tinggal tunggu waktunya saja!

Begitulah! Keesokan harinya, seantero negeri Kelelawar gempar. (Hampir) semua media cetak dan elektronik mengangkat pernyataan Ki Doblang sebagai “headline” berita dengan huruf kapital. Para politisi yang selama ini tak pernah merasa terusik, mendadak seperti tersengat lebah. Pening dan nyeri.

“Wow … testimoni Ki Doblang benar-benar bisa membuat penguasa negeri Kelelawar kelimpungan!” gumam sesosok wakil rakyat sembari membanting koran. Ia yang selama ini dikenal sebagai pendukung kebijakan sang penguasa yang salah urus itu mendadak kebakaran jenggot. Bola matanya menyala liar. Wajahnya memerah seperti kepiting rebus.

“Bos, mau ke mana? Kok nampak sewot begitu?” sapa salah satu koleganya dari partai lain.

“Itu bukan urusan Ente!” sahutnya sambil menyambar jas yang sedari tadi nangkring di atas kursi.

Begitu koleganya kabur, buru-buru sang wakil rakyat itu mendekati meja koleganya. Jidatnya berkerutan begitu membaca “headline’ sebuah harian: “Testimoni Ki Doblang: Penguasa Negeri Kelelawar Bakal Kelimpungan!” Disambarnya koran itu dengan napas sengal, lantas buru-buru ngeloyor entah ke mana.

***

Berita bahwa sang penguasa negeri Kelalawar berdiri di balik kasus mega-korupsi seperti terkuak sudah. Ki Doblang bagaikan membuka “kotak pandora” yang selama ini (nyaris) tak tersentuh. Begitu terbuka, gemanya langsung membahana ke seluruh penjuru negeri. Rakyat negeri kelelawar yang hampir mencapai seperempat milyar jumlahnya dibuat menganga. Mereka sungguh tak percaya kalau sang penguasa negeri yang konon akan berdiri di garda depan dalam memberantas korupsi dengan pedang tajamnya, ternyata justru malah menjadi “biang kerok”.

“Sampeyan percaya berita itu, Kang?” tanya seekor kelelawar gendut di sebuah warung kopi.

“Ya, percaya! Siapa dulu yang ngomong? Kalau politisi yang ngomong aku ndak bakalan percaya! Tapi kalau Ki Doblang kan sudah jelas rekam jejaknya selama ini! Tidak suka plintat-plintut seperti para wakil rakyat yang sok pinter itu!” sahut si kelelawar berwajah tirus sambil nyrutup kopi.

“Percaya sih boleh! Tapi Sampeyan jangan buru-buru menyimpulkan kalau pemimpin kita itu bener-bener terlibat di dalamnya!”

“Sudahlah, Kang, aku ndak mau berdebat! Saya hanya menunggu dan menunggu! Kalau Ki Doblang sudah ngomong begitu, tapi aparat penegak hukum tidak segera bertindak, rakyat yang akan segera bertindak! Kang, rakyat di negeri ini sudah makin sempoyongan memanggul beban! Hutang bejibun, ee … lha kok dhuwit negara malah dibuat bancakan! Apa ndak terlalu itu!”

“Sabar, Kang, sabar!”

“Mau sabar gimana? Sudah cari kerjaan susah ee … kelelawar-kelelawar yang di atas sana malah bancakan dhuwit trilyunan! Sudah, saya mau ngemis lagi!” katanya sambil memberikan selembar lima ribuan kepada tukang kopi. Si kelelawar gendut hanya bisa geleng-geleng kepala sambil mengelus dadanya yang terasa sesak. Mendadak terdengar langkah serempak tergesa-gesa dari kejauhan sana seperti gerombolan kelelawar yang tengah berdemo. Buru-buru si kelelawar gendut itu meninggalkan tukang kopi, lantas terbang menuju gerombolan kelelawar yang tengah berdemo. (Bersambung). ***

Photobucket: Layanan Pengunggah Gambar yang Praktis

$
0
0
Blog

Oleh: Sawali Tuhusetya

Photobucket merupakan salah satu situs layanan pengunggah gambar yang cukup banyak peminatnya. Selain menyediakan fasilitas free sebesar 2,0 GB dengan bandwith sebesar 10 GB, tool-nya lumayan praktis untuk kebutuhan seorang blogger seperti saya yang tak mau repot-repot menyunting gambar. Meskipun demikian, mesti diakui, postingan tanpa gambar agaknya terkesan monoton dan kurang “ramah” kepada pengunjung. Apalagi, usai menghadiri sebuah acara, kopdar, misalnya, seringkali kita harus menampilkan foto-foto narsis bersama, hehe … agar tidak dibilang “hoax”.

Dalam situasi seperti itu, mau atau tidak, kita mesti meminta jasa layanan pengunggah gambar, banyak kok yang gratis. Pengguna mesin wordpress memang bisa saja memanfaatkan fitur “add-media” ketika hendak menyisipkan gambar ke dalam postingan. Namun, jika sampai “perpustakaan gambar” di dashboard blog kita overload, disk-space hosting yang kita sewa juga makin sempoyongan memanggul beban dan minta segera di-upgrade. Oleh karena itu, untuk menghemat kapasitas disk-space akan terasa lebih nyaman kalau menggunakan url gambar yang kita unggah dari situs eksternal.

halaman depan

Halaman depan Photobucket

Nah, salah satu situs penyedia layanan pengunggah gambar yang cukup praktis dan tidak ribet berdasarkan pengalaman saya selama ini adalah photobucket. Kalau tidak salah, saya menggunakannya sejak 2008. Sudah hampir lima tahun, dari kapasitas 2 GB baru terpakai sekitar 0.3 GB dari 2.0 GB (19.15%). Selain loading-nya lumayan ringan, photobucket juga menyediakan tool-tool editing gambar sederhana yang bisa digunakan secara online. Saya lebih suka menggunakan cara ini ketimbang mengeditnya secara offline. Selain karena memang kurang begitu akrab dengan software-software gambar, seperti photoshop atau corelDraw, saya hanya sebatas mengubah dimensi (ukuran) gambar agar lebih mendekati standar web kalau diuji melalui gtmetrix.

Seperti diketahui bahwa tag penyisipan gambar ke dalam postingan menggunakan struktur kode seperti berikut ini.

<img class="alignleft" src="http://i935.photobucket.com/albums/ad198/sawali64/halamandarifacebook_zpsa03c38e0.png" alt="halamanfacebook" width="350" height="176" />

Img= kode wajib untuk menyisipkan gambar, class= untuk meletakkan posisi gambar (kiri, tengah, atau kanan), src= untuk meletakkan url gambar yang kita ambil dari situs layanan pengunggah gambar, alt= deskripsi/keterangan gambar, width= lebar gambar, dan height= tinggi gambar.

Jika salah satu struktur dalam tag penyisipan gambar tidak terpenuhi, maka gtmetrix merekomendasikan untuk menyuntingnya. Kalau dibiarkan? Saya kira tidak masalah sepanjang Sampeyan masih bisa merasa nyaman dengan loading blog yang agak berat. Untuk menyisipkan ukuran gambar yang serasi dengan ukuran halaman post, seringkali kita menyiasatinya dengan mengubah ukuran lebar dan tinggi. Tampak rapi memang, tetapi hal itu tidak mengubah beratnya beban gambar. Bahkan, gambar berukuran besar hingga mencapai 1000px, misalnya, bisa kita perkecil hingga ukuran 100-an px. Namun, sekali lagi, hal itu tidak akan berpengaruh terhadap beratnya beban gambar. Sangat beralasan apabila blog yang menampilkan gambar-gambar mencolok dengan ukuran besar, page-speed menjadi kendala.

halaman depan

Photobucket bisa digunakan untuk mengimpor semua gambar dari facebook

halaman depan

Photobucket bisa digunakan untuk menampilkan slidsehow

halaman depan

Photobucket bisa digunakan untuk menyunting gambar dengan tool sederhana

halaman depan

Hasil uji page-speed blog melalui gtmetrix

Berdasarkan rekomendasi gtmterix, alangkah baiknya apabila ukuran yang kita gunakan dalam tag penyisipan gambar benar-benar sesuai dengan ukuran gambar yang kita unggah. Hal ini akan mengurangi beban gambar yang kita pajang dalam halaman post kita. Meski demikian, seringkali kita tidak sempat untuk menyuntingnya secara offline. Dalam situasi seperti itu, saya lebih suka me-resize gambar secara online melalui photobucket. Sangat mudah dan praktis. Jangan lupa untuk mengunci ukuran gambar dengan meng-klik ikon kunci, klik Ok, lantas ubah width dan height-nya sesuai dengan ukuran gambar yang akan kita tampilkan dalam halaman post kita.

Berkali-kali, blog ini saya uji melalui gtmetrix, selalu saja menunjukkan peringkat B. Setelah oprek sana-sini, termasuk mengurangi jumlah gambar (thumbnail di home-page), ternyata memiliki pengaruh yang cukup signifikans terhadap page-speed blog. Berdasarkan hasil uji gtmetrix home-page blog saya yang terakhir, page speed-nya berada pada grade A (99%), YSlow berada pada grade A (99%), dengan page load time: 1.00s, total page size: 27.6KB, dan total number of requests: 5. Sesekali tidak ada salahnya page-speed blog Sampeyan diuji melalui gtmetrix. Sedangkan, post-page (halaman post) berada pada grade A (90%), YSlow berada pada grade B (87%), dengan page load time: 1.87s, total page size: 368KB, dan total number of requests: 39.

Fasilitas lain yang disediakan photobucket adalah mengimpor gambar dari akun facebook, membuat story gambar, menampilkan slideshow, dan masih banyak lagi. Selain itu, juga menyediakan software gratis untuk desktop yang terhubung langsung secara online ke photobucket.com. Yang belum memiliki akun di photobucket, tidak ada salahnya juga untuk membuat akun di sana. Nah! ***

Menjaga Marwah Sastrawan Kita

$
0
0
Sastra

Oleh: Sawali Tuhusetya

Sebagai salah satu produk kebudayaan, sastra berperan sebagai penjaga peradaban. Ia (baca: sastra) bagaikan “mata zaman” yang terus memancarkan nilai kearifan dalam memberikan kesaksian terhadap tanda-tanda zaman. Ia juga bisa menjadi media “katharsis” untuk menjauhkan diri dari rangsangan dan godaan inderawi yang bersifat hedonistik, konsumtivistik, materialistik, vandalistik, dan berbagai perilaku terkutuk lainnya. Sangat beralasan apabila sastra senantiasa diposisikan secara terhormat oleh para pendamba kebenaran, keadilan, dan kejujuran sebagai filter yang “ampuh” untuk membentengi diri dari berbagai tindakan anomali.

Yang tidak bisa dilupakan, tentu saja, “hamba-hamba” kebudayaan yang terlibat di dalamnya. Siapa lagi kalau bukan sastrawan. Merekalah yang secara total dan intens terus melahirkan teks-teks sastra sebagai manifestasi kreatifnya dalam meneguhkan tanggung jawab moralnya sebagai “hamba” kebudayaan yang sekaligus sebagai penjaga peradaban. Disadari atau tidak, merekalah yang mendapatkan “dunia panggilan” untuk menjalankan peran kebudayaan dan peradaban itu. Melalui transfigurasi total kesastrawanannya, ia diharapkan mampu menjadi “juru bicara” nilai kemanusiaan hakiki. Melalui kepekaan intuitifnya, mereka diharapkan mampu memuliakan martabat manusia yang terekspresikan ke dalam teks-teks sastra yang indah bersama keagungan nilai moral yang ditawarkannya.

Saya tidak hendak mengatakan bahwa seorang sastrawan mesti menjadi semacam “makhluk suci” yang (senantiasa) terjaga dan terbebas dari limbah dosa dan nista. Bagaimanapun juga, sastrawan juga manusia yang –suatu ketika—bisa saja tergelincir ke dalam lembah kenistaan. Namun, persoalannya menjadi lain jika “kenistaan” itu dituai bukan lantaran “tergelincir”, melainkan menjadi bagian dari buah tabiat dan karakter jahat yang sering dibungkus manis lewat karya-karya yang dilahirkannya. Jika situasinya demikian, maka –dalam pandangan awam saya—telah runtuhlah posisinya sebagai “hamba” kebudayaan yang sekaligus sebagai penjaga peradaban. Karya-karya “agung” yang telah diciptakannya akan menjadi “fosil” peradaban yang –pelan tapi pasti—hanya akan menjadi bagian dari sebuah sejarah yang kelam dan penuh luka sepanjang proses kreativitasnya.

***

Ya, ya, ya, sastrawan memang perlu menjaga marwahnya sendiri. Kehadiran sastrawan dalam rimba sastra Indonesia mutakhir agaknya tidak semata-mata dinilai berdasarkan karya-karya kreatifnya, tetapi juga “rekam jejak” sejarah kehidupannya. Seagung apa pun teks-teks kreatif yang telah dilahirkannya agaknya akan sulit menghapus “rekam jejak” kehidupannya yang kelam. Antara aspek intrinsik dan ekstrinsik saling berkelindan dan membangun sebuah kesatuan yang utuh dan padu.

Keserba-mungkinan yang “pahit” semacam itu menjadi semakin mustahil terhindarkan ketika dunia sudah menjadi sebuah perkampungan global. Jejaring sosial, semacam facebook atau twitter, seperti mesin dan “juru bicara” informasi yang setiap saat bisa mengendus dan sekaligus mewartakan persoalan-persoalan yang paling “privacy” sekalipun. Sangat beralasan ketika seorang sastrawan yang notabene menjadi penjaga peradaban dan senantiasa bergelut dengan nilai-nilai kemanusiaan melalui teks-teks kreatifnya melakukan tindakan anomali yang diduga sangat bertentangan secara diametral dengan nilai-nilai kemanusiaan yang diperjuangkannya, dinding jejaring sosial jebol seketika. Facebook maupun twitter seakan tak sanggup membendung arus “kemarahan” dan “cercaan” para facebooker maupun tweeps terhadap sastrawan yang bersangkutan.

Mesti diakui, sastrawan di negeri ini masih menjadi sebuah “Indonesia” minoritas. Ia (baca: sastra) hanya digeluti oleh mereka yang mendapatkan “dunia panggilan”. Selebihnya adalah pembaca dan mereka yang terus berjuang dengan caranya sendiri untuk menjadi “juru bicara” sastra di tengah-tengah lingkungannya yang sering kali kurang berpihak kepadanya. Dalam situasi demikian, tak jarang muncul pertanyaan yang serba tak terduga.

Apa gunanya belajar sastra kalau sastrawan yang selalu berjuang menggunakan bahasa untuk menyuarakan kebenaran, keadilan, dan kejujuran, justru malah melakukan tindakan tak terpuji yang amat bertentangan dengan nilai kemanusiaan yang disuarakan dalam teks-teks kreatifnya? Masih bisakah karya sastra dijadikan sebagai sarana yang ampuh untuk membangun karakter anak bangsa ketika orang yang menghasilkan teks-teks sastra yang indah justru tenggelam dalam tindakan amoral? Benarkah orang yang gemar membaca karya sastra akan menjadi orang yang berbudaya? Bukankah sastrawan sudah sangat kenyang dengan bacaan-bacaan sastra bermutu? Namun, mengapa mereka gagal menjadi manusia yang berbudaya dan berperadaban tinggi?

Deretan pertanyaan semacam itu memang sebatas retorika. Sastra, termasuk kehidupan sang sastrawan, adalah dunia yang “otonom”. Tak seorang pun yang bisa meng-intervensi. Ia bebas menentukan jalan sesuai dengan pandangan hidup yang dianutnya. Meskipun demikian, sastrawan juga perlu terus berjuang untuk menjaga marwahnya agar kelak dicatat dalam sejarah sebagai sosok yang ikut berperan-serta menjaga peradaban agar tetap steril dari tingkah anomali yang mencederai nilai-nilai kemanusiaan. Dan itu hanya bisa dilakukan oleh sastrawan yang bersih dan tidak cacat moral. ***

Mengukur Popularitas dan Pengaruh Blog via BlogLevel

$
0
0
Blog

Oleh: Sawali Tuhusetya

Iseng-iseng memasukkan kata kunci “mengukur skor popularitas blog” di mesin pencari, eh, ketemu link BlogLevel. Karena penasaran, saya langsung meluncur ke TKP. Hem …. ternyata di situs ini disediakan sebuah tool yang bisa digunakan untuk mengukur tingkat popularitas dan pengaruh sebuah blog di dunia virtual.

Caranya pun cukup mudah. Masukkan url blog Sampeyan pada tab “discover your bloglevel” kemudian klik tab “Calculate”. Dalam hitungan 30 detik, tingkat popularitas dan pengaruh blog Sampeyan akan segera diproses. Dan hasilnya? Hem …. berupa skor (angka).

Tool besutan Jonny Bentwood ini ternyata “tampil beda” dibandingkan dengan tool di situs lain. Ada banyak parameter yang dijadikan sebagai tolok ukur, di antaranya: Google PageRank, Yahoo Inbound Links, Google Inbound Links, Frekuensi Posting, Tanggal Posting Terakhir di Blog, Jumlah Komentar, Twitter Inbound Links, Optimasi SEO, dan semacamnya. Selain itu, situs ini juga menyediakan tool untuk mengukur popularitas sebuah twitter. Yang kebetulan memiliki akun, bisa langsung cek di sana. Prosesnya sama ketika kita akan mengukur popularitas blog kita. Yang ingin memasang badge hasil pengukuran di blog juga disediakan kode html dalam tag </iframe>. Namun, tak perlu khawatir karena setelah saya uji di validator.w3.org, ternyata valid sehingga cukup aman untuk dipasang.

Guraru Award 2013

Masukkan url blog (lihat anak panah)

Guraru Award 2013

Kopi-paste kode yang muncul di pop-up

Guraru Award 2013

Masukkan username twitter Sampeyan

Guraru Award 2013

“Penampakan” badge skor hasil pengukuran

Agaknya bloglevel berupaya “mengawinkan” kualitas blog dengan sosial-media dalam upaya menemukan popularitas dan pengaruh sebuah blog. Oleh karena itu, sering-seringlah “menebar” tautan blog Sampeyan ke jejaring sosial, khususnya twitter, agar popularitas dan pengaruh blog Sampeyan cepat terdongkrak. Saya tidak tahu pasti, sahih atau tidaknya tool ini digunakan untuk mengukur tingkat popularitas dan pengaruh sebuah blog. Menurut pengakuan si empunya, tool ini masih dalam versi beta yang masih sangat terbuka terhadap saran dan masukan dari publik agar tercipta sebuah tool yang tingkat kesahihannya lebih bisa dipertanggungjawabkan. Namun, karena saya hanya sekadar iseng, saya juga tak begitu peduli berapa pun skor popularitas dan pengaruh blog abal-abal ini. Nah, Sampeyan penasaran? Coba ikut-ikutan iseng untuk memanfaatkan tool ini! ***

Sumpah Kresna dan Trauma Drupadi

$
0
0
Wayang

Dalang: Sawali Tuhusetya

Gigi Salwa yang kuat terdengar gemeletuk. Menahan amarah. Bola matanya liar; menerawang dan menelanjangi wajah Kresna dalam layar memorinya. Pada saat yang lain, keriyap bola matanya meluruh; menggerayangi wajah Sisupala yang nglumpruk tak berdaya; tewas di tangan Kresna ketika upacara agung rajasuya yang diadakan Yudistira di Indraprasta berlangsung. Dia tahu benar bahwa Kresna dan Sisupala memang bermusuhan meski mereka saudara sepupu. Basudewa, ayah Kresna, kakak-beradik dengan Srutadewi, ibu Sisupala. Namun, cinta agaknya telah membuat hubungan persaudaraan mereka pupus. Kresna, dianggap telah merebut Dewi Rukmini, kekasih Sisupala. Salwa berkali-kali menahan napas.

Salwa, sungguh tidak bisa menerima kematian Sisupala, sahabat karibnya itu. Setelah melalui diskusi matang dengan para komandan prajuritnya, Salwa dengan kekuatan penuh, menyerang Dwarawati, negeri Kresna, secara mendadak. Ugrasena, yang diberi amanat untuk menjaga Dwarawati, tak sanggup menghadapi kekuatan serdadu Salwa. Benteng kokoh yang mengelilingi ibukota Dwarawati dengan persenjataan lengkap, canggih, dan mutakhir, logistik yang lebih dari cukup, ternyata tetap gagal menghadapi gempuran prajurit Salwa yang amat militan, kuat, dan terlatih.

Ugrasena

Ugrasena

Lantaran makin terdesak, Ugrasena segera mengumumkan keadaan darurat perang. Seluruh rakyat Dwarawati dilarang pergi ke ruang-ruang publik. Semua sudut kota dijaga ketat para prajurit dengan siapa penuh. Pelabuhan diblokir. Para pelancong dilarang masuk. Wajib militer diberlakukan untuk para pemuda Dwarawati demi memperkuat pertahanan. Meski demikian, Ugrasena tetap tak sanggup membendung arus kekuatan Salwa yang menggemuruh bagaikan banjir bandang. Pertahanan Dwarawati jebol. Perang telah membuat Dwarawati berduka. Selain ibukota yang menjadi urat nadi dan “magnet” kekuasaan porak-poranda, tidak sedikit prajurit dan penduduk sipil yang harus menjadi korban.

Sepulang dari Indraprasta, Kresna meradang. Ia tak sanggup menyaksikan prajurit dan rakyatnya yang menjadi korban perang sia-sia. Melalui naluri perangnya yang sudah terlatih dan amarah yang memuncak, Kresna menggelar serangan balasan. Berkat taktik jitu dan rekam jejaknya yang ngedap-edapi dalam strategi militer, ia sukses melumpuhkan kekuatan serdadu Salwa.

Baru saja ia usai terlibat dalam perang sengit, mendadak ia mendengar berita tentang kekalahan Pandawa dalam permainan dadu yang panas dan licik di Hastinapura hingga akhirnya Pandawa harus diasingkan di hutan belantara yang angker. Mengingat Pandawa sudah dianggap sebagai bagian dari “darah-daging”-nya, Kresna bergegas menemui para Pandawa di tempat pengasingannya. Ikut dalam rombongannya adalah Drestaketu, anak Sisupala, yang sangat kecewa terhadap perilaku Duryudana yang busuk.

Drupadi

Drupadi

Kresna

Kresna

Duka dan tangis meledak ketika pertemuan itu terjadi. Drupadi, isteri para Pandawa, mendekati Kresna dengan tangis tertahan. Air mata duka menjebol pertahanan kelopak matanya yang sayu. Lantas, menuturkan peristiwa pahit yang dialaminya ketika para suaminya tengah menghadapi kelicikan dan tipu muslihat Kurawa.

“Aku diseret ke depan persidangan. Anak-anak Dritarastra menghinaku dengan sangat
keji. Mereka menelanjangi aku dan mengira aku akan sudi menjadi budak mereka. Mereka perlakukan aku seperti perlakuan mereka terhadap dayang-dayang di Hastinapura. Yang lebih menyakitkan, Bhisma dan Dritarastra yang seolah-olah lupa akan asal kelahiranku dan hubunganku dengan mereka,” tutur Drupadi dengan tangis tertahan. Kresna tampak sedih dan terharu. Ia berusaha sekuat tenaga agar air matanya tidak menjebol pelupuk matanya.

“Wahai, Janardana (= sapaan Kresna yang berarti ‘kesayangan manusia’), suami-suamiku pun tidak melindungi aku dari penghinaan manusia-manusia bejat itu. Kekuatan raga Bima yang perkasa dan senjata gendewa Arjuna yang sakti tak ada artinya. Padahal, orang yang paling lemah sekali pun, jika mendapat penghinaan sekeji itu pasti akan bangkit melawan. Namun, oh … Pandawa yang terkenal sebagai pahlawan-pahlawan hebat malah tidak melakukan apa-apa. Aku, putri raja dan menantu Raja Pandu, diseret ke depan persidangan dengan rambut dicengkeram. Aku, istri lima pahlawan besar merasa terhina sehina-hinanya. Wahai, Madhusudana (=sapaan Kresna yang berarti ‘pembunuh raksasa bernama Madhu’ engkau pun telah meninggalkan aku.” Usai menumpahkan kepedihannya, sekujur tubuh Drupadi bergetar. Darahnya menggelegak hingga memuncak ke ubun-ubun. Kresna yang sedari tadi menyimak dengan menahan kepedihan yang menggedor ulu hatinya, mencoba menghibur Drupadi dengan kata-kata bijaknya yang masih tersisa.

“Mereka yang telah menghinamu kelak akan binasa dalam perang besar yang penuh pertumpahan darah. Hapuslah air matamu! Aku berjanji, segala penghinaan yang menimpamu akan dibalas setimpal. Aku akan menolong Pandawa dalam segala hal. Engkau pasti akan menjadi permaisuri Rajadiraja Yang Agung. Langit boleh runtuh, Gunung Himalaya boleh terbelah, bumi boleh retak, lautan boleh kering, tetapi kata-kataku ini akan kupegang teguh! Aku bersumpah di hadapanmu,” kata Kresna dengan vokal lantang. Sumpahnya mengangkasa dan menggema seperti mampu menyentuh dinding langit.

Drestajumena pun mencoba menghibur hati adiknya yang sedang terluka. “Hapuslah air matamu, adikku. Aku akan membunuh Durna, Srikandi akan menewaskan Bisma, Bima akan melenyapkan nyawa Duryudana dan saudara-saudaranya, sedangkan Arjuna akan menamatkan Karna, anak sais kereta kuda itu.”

Di samping para Pandawa yang duduk kelu dan tertunduk, Kresna kembali berujar, “Ketika peristiwa sedih itu menimpa dirimu, aku sedang berada di Dwarawati. Andaikata aku ada di Hastinapura, aku pasti tak akan membiarkan kecurangan itu terjadi. Walaupun tidak diundang, kalau tahu aku pasti akan datang untuk mengingatkan Durna, Kerpa, dan para kesatria tua lainnya akan tugas kewajiban mereka yang suci. Aku pasti akan mencegah permainan curang itu dengan jalan apa pun. Ketika Sengkuni menipumu, aku sedang bertempur melawan Raja Salwa yang menyerang Dwarawati. Aku baru mendengar tentang ini setelah mengalahkannya. Aku sangat sedih mendengarnya, lebih-lebih karena aku tak kuasa segera menghapus dukamu. Ibarat membetulkan bendungan rusak, tidak bisa langsung selesai dan untuk sementara air tetap merembes.” Usai berkata demikian, Kresna dan rombongan minta diri untuk kembali ke Dwarawati. Demikian juga dengan Drestajumena. Ia kembali ke Pancala, membawa anak-anak Drupadi dari kelima suaminya itu.

Sepeninggal Kresna, hutan yang angker itu kembali diselimuti kabut duka, seperti berselimutkan jubah Malaikat Maut. Para Pendawa yang lunglai tak berdaya, hanya bisa pasrah menerima suratan nasib yang menelikungnya. Drupadi belum juga sanggup memupus trauma yang terus membadai dalam jiwanya. Entah sampai kapan! *** (Tancep kayon)


Banner untuk Blogger Guru Indonesia

$
0
0
Blog

Oleh: Sawali Tuhusetya

Iseng-iseng saya membuat banner sederhana yang bisa dipajang di blog rekan-rekan sejawat: Blogger Guru Indonesia. Banner ini merupakan update terhadap “banner untuk guru” yang pernah saya buat pada tahun 2007 yang silam di sini. Banner terbaru ini ber-ekstensi .gif yang berotasi sebanyak dua kali. Rotasi pertama ber-tagline “Budayakan Aktivitas Ngeblog di Kalangan Guru”, sedangkan rotasi kedua ber-tagline “Menjadi Guru Kreatif dan Inspiratif dengan Ngeblog”.

Ya, ngeblog di kalangan guru belakangan ini memang sudah bukan lagi merupakan aktivitas “eksklusif” seperti yang terjadi sekitar 6-10 tahun yang silam ketika jumlah guru yang ngeblog masih bisa dihitung dengan jari. Namun, sudah menjadi aktivitas “inklusif” yang saat ini mencapai ribuan jumlahnya. Lihat saja jumlah member di guraru.org, sebuah komunitas online yang anggota-anggotanya berasal dari kalangan “Guru Era Baru”. Saat ini tercatat sudah sekitar 4.633 anggota yang bergabung. Belum lagi rekan-rekan sejawat “freelance” lain yang melakukan aktivitas ngeblog secara “soliter”. Ini artinya, blogger guru di negeri ini merupakan aset bangsa yang tidak bisa dipandang remeh dalam menghadapi dinamika pendidikan abad ke-21 yang kian kompleks di tengah-tengah tuntutan generasi “digital natives” yang makin teruji IT literasinya. Dalam situasi demikian, guru yang diharapkan mampu menjalankan fungsi dan perannya sesuai dengan tuntutan zaman, jelas perlu mereposisikan dirinya di tengah peserta didiknya secara luwes dan adaptif. Nah, guru yang ngeblog, dalam pandangan awam saya, bisa menjalankan peran dan fungsi itu. Melalui blog, guru bisa menyajikan tulisan-tulisan kreatif yang mampu membuat dunia pendidikan kian dinamis, sekaligus mampu menginspirasi pembaca sesuai dengan topik postingan yang disajikan.

Rekan-rekan sejawat yang berkenan untuk memasang banner ini di blognya masing-masing, berikut adalah kodenya. Silakan di-kopi!

<a href="http://sawali.info/2013/12/15/banner-untuk-blogger-guru-indonesia/" target="_blank"><img src="http://i935.photobucket.com/albums/ad198/sawali64/bannerguru_zpsac5e714c.gif" alt="banner guru" width="200" height="50" /></a>

Berikut adalah screenshot-nya:

banner guru

atau:

<a href="http://sawali.info/2013/12/15/banner-untuk-blogger-guru-indonesia/" target="_blank"><img src="http://i935.photobucket.com/albums/ad198/sawali64/bannergurungeblog3_zps416175a6.gif" alt="banner guru" width="260" height="70" /></a>

screenshot:

banner guru

Banner ini masih sangat sederhana dan saya akan sangat berterima kasih apabila ada rekan sejawat lain yang berkenan meluangkan waktu untuk membuat banner yang lebih bagus, baik dengan tagline yang sama maupun berbeda. Nah, salam kreatif dan selamat berkarya buat bangsa. ***

Lelang Jabatan Kepala Sekolah di Negeri Kelelawar

$
0
0
kelelawar

Oleh: Sawali Tuhusetya

Untuk pertama kalinya dalam sejarah, Negeri Kelelawar menggelar Lelang Jabatan Kepala Sekolah. Semua rakyat Negeri Kelelawar paham, Kepala Sekolah (Kasek) merupakan jabatan yang cukup “bergengsi” dalam sebuah institusi pendidikan (baca: sekolah). Fungsi dan peran Kasek sangat menentukan “hitam-putih”-nya sebuah sekolah. Sekolah yang dikelola dengan benar dan visioner akan memiliki kultur kondusif yang mampu menciptakan atmosfer pendidikan yang beradab dan berbudaya. Sebaliknya, sekolah yang dikelola dengan mind-set kacangan yang orientasinya hanya bertumpu pada uang dan kekuasaan bisa dipastikan akan mengalami situasi “anomali” yang akan berdampak buruk pada kinerja pendidik dan tenaga kependidikan serta out-put yang dihasilkannya.

Inisiatif gelar Lelang Jabatan Kasek di Negeri Kelelawar diilhami dari semangat Negeri Antah-Berantah yang berkeinginan untuk melahirkan pejabat mumpuni, berkompetensi hebat, berintegritas tinggi, dan berkarakter unggul. Meski belum teruji benar produk pejabat yang dihasilkan dari proses lelang itu, tetapi setidaknya sudah ada “kemauan politik” untuk menciptakan proses rekrutmen pejabat yang dianggap lebih fair dan transparan. Proses lelang jabatan juga merupakan sikap responsif terhadap berbagai kritik publik yang menilai proses rekrutmen pejabat di berbagai ranah dan lini birokrasi selama ini berlangsung tertutup, serba-politis, sarat kongkalingkong dan permufakatan licik, memiliki kedekatan personal dengan penguasa, bersedia menjadi penjilat, dan mau setor upeti sesuai keinginan penguasa. Dalam situasi seperti itu, diakui atau tidak, setelah menjadi pejabat, orientasinya bukan untuk menjadi pioner kepemimpinan yang berkiblat pada rakyat, melainkan hanya ingin melangggengkan kekuasaan ala Machiavelli yang menghalalkan segala cara untuk menyenangkan atasan dan memenuhi naluri korupnya untuk memanjakan hasrat hedonisnya. Dalam situasi demikian, disadari atau tidak, rakyatlah yang harus menjadi tumbal keserakahan pejabat-pejabat yang korup dan bermental licik.

“Syukurlah kalau sudah ada niatan untuk menggelar lelang jabatan kepala sekolah,” ujar seekor kelelawar bertubuh tambun bermata juling di sebuah senja yang temaram di pojok sebuah goa yang singup. Beberapa kekelawar yang berkerumun di sekelilingnya saling bertatapan. Sementara, di ujung goa sana terdengar cericit sekelompok kelelawar yang riuh, entah apa yang tengah diperbincangkan.

“Loh, memang benar kabar itu, Bos?” sahut seekor kelelawar yang sedari tadi klepas-klepus menyedot kretek kesukaannya.

“Walah, Sampeyan itu kelelawar macam apa? Hare gene masih juga ketinggalan info-info terhangat. Apa Sampeyan ndak pernah buka internet? Yang disampaikan Bos kita itu ya benar adanya!” sergah kelelawar lain sambil memlintir kumis panjangnya yang tumbuh jarang-jarang.

“Lelang jabatan memang bertujuan bagus untuk menghasilkan pejabat yang bagus dan bersih. Tapi saya kok belum juga percaya! Jangan-jangan hanya sekadar ganti label doang, tapi prosesnya seperti yang sudah-sudah! Penuh rekayasa dan tetap saja para kandidat yang tak punya kedekatan dengan lingkaran kekuasaan akan bernasib sial!” seloroh kelelawar bertubuh ceking.

“Walah, Sampeyan ya jangan berprasangka buruk seperti itu! Kita sangat berharap proses lelang ini benar-benar bersih dari suap dan berbagai ulah licik lainnya!”

Perbicangan semakin hangat. Sementara di sebelah barat sana, senja kian meredup. Para kelelawar mulai berkeliaran keluar sarang. Lantas, menggemakan suara cericit yang memantul-mantul hingga ke dinding langit, merayap-rayap ke seantero goa dan lembah.

Kabar tentang lelang jabatan Kasek itu kian kecang berhembus di setiap sudut lembah Negeri Kelelawar. Seluruh kawula Negeri Kelelawar berharap proses lelang jabatan itu benar-benar mampu menghasilkan sosok kepala sekolah yang tidak hanya cerdas dan memiliki skill-leader yang bagus, tetapi juga memiliki moral, komitmen, dan integritas yang tinggi. Dengan sosok kepala sekolah semacam itu, sekolah-sekolah di Negeri Kelelawar di berbagai jenjang pendidikan formal diharapkan mampu mewujudkan kultur sekolah yang terhormat, beradab, dan berbudaya, sehingga sanggup menghasilkan generasi kelelawar yang cerdas, baik secara intelektual, emosional, spiritual, maupun sosial.

Namun, siapa yang mampu menduga kalau pada akhirnya proses lelang jabatan Kasek itu ditengarai sarat dengan rekayasa dan tipu-tipu. Sekelompok aktivis LSM yang sejak awal mengikuti proses lelang jabatan itu menemukan fakta yang sulit dibantah kebenarannya. Konon, beberapa kandidat Kasek “incumbent” yang dijagokan bakal kembali menduduki jabatannya di-“karantina” di sebuah tempat yang sangat dirahasiakan. Lantas, oleh oknum Kepala Dinas Pendidikan, para “incumbent” diminta melakukan aksi tutup mulut dengan menyerahkan upeti yang jumlahnya mencapai puluhan juta rupiah perkepala. Dengan amat rapi dan sistematis, sang oknum kepala dinas memanfaatkan wewenangnya untuk memanfaatkan celah suap-menyuap yang masih bisa ditembus.

Namun, serapat-rapatnya kebusukan dibalut dan ditutup berlipat-lipat, akhirnya terendus juga hingga akhirnya tercium oleh panitia penyelenggara yang berhasrat menggelar lelang dengan cara yang bersih dan jujur. Walhasil, setelah melalui proses investigasi mendalam ditemukan bukti yang sah dan meyakinkan bahwa sang oknum kepala dinas telah menyalahgunakan jabatan dan wewenangnya. Tanpa melalui prosedur bertele-tele, sang oknum kepala dinas diberhentikan secara tidak hormat dari jabatannya. Tak hanya itu. Kandidat Kasek “incumbent” yang terbukti telah melakukan praktik penyuapan digugurkan haknya untuk menjadi kepala sekolah.

Kabar praktik suap-menyuap di balik proses lelang jabatan Kasek itu dengan sendirinya langsung terendus oleh para netter. Status dinding facebook dan twitter penuh dengan tautan-tautan berita tentang praktik tak terpuji itu.

Para kawula Negeri Kelelawar yang makin melek informasi merasa bersyukur atas terbongkarnya praktik suap-menyuap dalam proses lelang jabatan Kasek.

“Mau jadi apa dunia pendidikan di negeri ini kalau praktik suap-menyuap yang dilakukan secara rapi dan sistematis seperti itu tidak terbongkar? Syukurlah, di tengah zaman yang sedang sekarat seperti ini masih ada pihak-pihak tertentu yang peduli!” teriak seekor kelelawar berikat kepala hitam di tengah kerumunan kelelawar di sebuah malam yang dingin. Para kelelawar yang lain mengangguk-angguk sebelum akhirnya mereka terbang melintasi kawasan lembah dan ngarai Negeri Kelelawar yang dingin dan beku. ***

Pelajaran Bahasa Indonesia: Antara Sains dan Humaniora

$
0
0
Catatan Sawali Tuhusetya

Oleh: Sawali Tuhusetya

Kurikulum 2013 yang kontroversial itu sudah diberlakukan di sekolah-sekolah sasaran pada tahun pelajaran 2013/2014. Pada tahun pelajaran 2014/2015 nanti, semua sekolah wajib melaksanakan Kurikulum 2013 di dua kelas sekaligus. Seperti biasanya, siap atau tidak, suka atau tidak, kalau sudah ada instruksi semacam ini, semua sekolah dengan amat loyal akan taat pada komando. Pada akhirnya, pro-kontra soal kurikulum pun akan bergeser dari soal substansi konsep ke soal implementasinya. Tidak lagi penting apakah Kurikulum 2013 itu berpihak pada subjek didik dan memberikan kontribusi nyata terhadap mutu pendidikan atau tidak. Yang lebih utama dipikirkan adalah bagaimana agar kurikulum yang didesain dengan pendekatan sains itu bisa diimplementasikan. Begitulah “siklus” perubahan kurikulum dalam dunia pendidikan kita. Kajian kurikulum baru tidak dilakukan secara mendalam dan komprehensif, tetapi hanya sekadar “mengamini” desain para konseptor kurikulum yang biasanya berasal dari kalangan yang dekat dengan lingkaran kekuasaan. “Siklus” Kurikulum 2013 pun tak jauh dari nuansa semacam itu.

Pelajaran Bahasa Indonesia, misalnya, kalau kita lihat konsepnya, memang ada upaya untuk “memartabatkan” Bahasa Indonesia dalam kurikulum pendidikan kita. Lebih-lebih setelah sekolah berlabel RSBI yang dalam beberapa tahun sebelumnya hendak menjauhkan subjek didik dari kultur bangsanya dengan menggunakan bahasa asing sebagai bahasa pengantar. (Seperti kita ketahui, RSBI secara resmi telah dinyatakan bubar. Selain alasan “elitis” dan sekadar memburu gengsi global semata, RSBI, disadari atau tidak, juga kian menjauhkan anak-anak bangsa dari nilai-nilai kearifan lokal yang tersebar di setiap wilayah nusantara.) Ini artinya, Bahasa Indonesia didesain agar benar-benar menjadi “Tuan Rumah” di negeri sendiri. Semua lembaga pendidikan, berapa pun grade kualitasnya, wajib menggunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar. Tidak hanya itu. Bahasa Indonesia, bahkan, didesain untuk menjadi bahasa keilmuan yang harus digunakan ketika subjek didik menanya, mengamati, mencari informasi, menganalisis, mengomunikasikan, dan dalam berbagai kegiatan keilmuan yang lain. Dengan kata lain, Kurikulum 2013 sarat dengan pendekatan sains yang diharapkan mampu mengatrol kemampuan bernalar siswa didik yang selama ini dinilai masih amat rendah.

Persoalannya sekarang, bagaimana posisi pendidikan humaniora yang memiliki peran penting dan strategis dalam membangun moral dan karakter peserta didik? Disembunyikan di manakah teks-teks sastra yang “agung” dan sarat dengan kandungan nilai keluhuran budi itu?

Sekadar gambaran, berikut saya kutipkan Kompetensi Inti (KI) dan Kompetensi Dasar (KD) Mata Pelajaran Bahasa Indonesia SMP berdasarkan LAMPIRAN PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN NOMOR 68 TAHUN 2013 TENTANG KERANGKA DASAR DAN STRUKTUR KURIKULUM SEKOLAH MENENGAH PERTAMA/MADRASAH TSANAWIYAH.

KELAS : VII

KOMPETENSI  INTI

KOMPETENSI DASAR

    1. Menghargai dan menghayati ajaran agama yang dianutnya.
1.1  Menghargai dan mensyukuri keberadaan bahasa Indonesia sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa untuk mempersatukan bangsa Indonesia di tengah keberagaman bahasa dan budaya

1.2  Menghargai dan  mensyukuri keberadaan bahasa Indonesia sebagai anugerah Tuhan yang Maha Esa sebagai sarana memahami informasi lisan dan tulis

1.3  Menghargai dan  mensyukuri keberadaan bahasa Indonesia sebagai anugerah Tuhan yang Maha Esa sebagai sarana menyajikan informasi lisan dan tulis

    2. Menghargai dan menghayati perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab, peduli (toleransi, gotong royong), santun, percaya diri, dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam dalam jangkauan pergaulan dan keberadaannya.
2.1  Memiliki perilaku jujur, tanggung jawab, dan santun dalam menanggapi secara pribadi hal-hal atau kejadian berdasarkan hasil observasi

2.2  Memiliki perilaku percaya diri dan tanggung jawab dalam  membuat tanggapan pribadi atas karya budaya masyarakat Indonesia yang penuh makna

2.3  Memiliki perlaku kreatif, tanggung jawab, dan santun dalam mendebatkan sudut pandang tertentu tentang suatu masalah yang terjadi pada masyarakat

2.4  Memiliki perilaku jujur dan kreatif dalam memaparkan langkah-langkah suatu proses berbentuk linear

2.5  Memiliki perilaku percaya diri, peduli, dan santun dalam merespon secara pribadi peristiwa jangka pendek

    3. Memahami pengetahuan (faktual, konseptual, dan prosedural)berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya terkait fenomena dan kejadian tampak mata.
3.1  Memahami teks hasil observasi, tanggapan deskriptif, eksposisi, eksplanasi,  dan cerita pendek baik melalui lisan maupun tulisan

3.2  Membedakan teks hasil observasi, tanggapan deskriptif, eksposisi, eksplanasi, dan cerita pendek baik melalui lisan maupun tulisan

3.3  Mengklasifikasi teks hasil observasi, tanggapan deskriptif, eksposisi, eksplanasi,  dan cerita pendek  baik melalui lisan maupun tulisan

3.4  Mengidentifikasi kekurangan teks hasil observasi, tanggapan deskriptif, eksposisi, eksplanasi,  dan cerita pendek  berdasarkan kaidah-kaidah teks baik melalui lisan mupun tulisan

4.Mencoba,  mengolah, dan menyaji dalam ranah konkret (menggunakan, mengurai, merangkai, memodifikasi, dan membuat) dan ranah abstrak (menulis, membaca, menghitung, menggambar, dan mengarang) sesuai dengan yang dipelajari di sekolah dan sumber lain yang sama dalam sudut pandang/teori 4.1  Menangkap makna teks hasil observasi, tanggapan deskriptif, eksposisi, eksplanasi, dan cerita pendek baik secara lisan maupun tulisan

4.2  Menyusun teks hasil observasi, tanggapan deskriptif, eksposisi, eksplanasi,  dan cerita pendek sesuai dengan karakteristik teks yang akan dibuat  baik secara lisan maupun tulisan

4.3  Menelaah dan merevisi teks hasil observasi, tanggapan deskriptif, eksposisi, eksplanasi,  dan cerita pendek  sesuai dengan struktur dan kaidah teks baik secara lisan maupun tulisan

4.4  Meringkas teks hasil observasi, tanggapan deskriptif, eksposisi, eksplanasi, dan cerita pendek baik secara lisan maupun tulisan

 
KELAS : VIII

KOMPETENSI  INTI

KOMPETENSI DASAR

    1. Menghargai dan menghayati ajaran agama yang dianutnya.
1.1  Menghargai dan mensyukuri keberadaan bahasa Indonesia sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa untuk mempersatukan bangsa Indonesia di tengah keberagaman bahasa dan budaya

1.2  Menghargai dan  mensyukuri keberadaan bahasa Indonesia sebagai anugerah Tuhan yang Maha Esa sebagai sarana memahami informasi lisan dan tulis

1.3  Menghargai dan  mensyukuri keberadaan bahasa Indonesia sebagai anugerah Tuhan yang Maha Esa sebagai sarana menyajikan informasi lisan dan tulis

 

    2. Menghargai dan menghayati perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab, peduli (toleransi, gotong royong), santun, percaya diri, dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam dalam jangkauan pergaulan dan keberadaannya.
2.1  Memiliki perilaku jujur dalam menceritakan sudut pandang moral yang eksplisit

2.2  Memiliki perilaku peduli, cinta tanah air, dan semangat kebangsaan atas karya budaya yang penuh makna

2.3  Memiliki perilaku demokratis, kreatif, dan santun dalam berdebat tentang kasus atau sudut pandang

2.4  Memilikiperilaku jujur dan percaya diri  dalam mengungkapkan kembali tujuan dan metode serta hasil kegiatan

2.5  Memiliki perilaku jujur dan percaya diri dalam pengungkapan kembali peristiwa hidup diri sendiri dan orang lain

    3. Memahami dan menerapkan pengetahuan (faktual, konseptual, dan prosedural)berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya terkait fenomena dan kejadian tampak mata.
 

3.1  Memahami teks cerita moral/fabel, ulasan, diskusi, cerita prosedur, dan cerita biografi baik melalui lisan maupun tulisan

3.2  Membedakan teks cerita moral/fabel, ulasan, diskusi, cerita prosedur, dan cerita biografi baik melalui lisan maupun tulisan

3.3  Mengklasifikasi teks cerita moral/fabel, ulasan, diskusi, cerita prosedur, dan cerita biografi  baik melalui lisan maupun tulisan

3.4  Mengidentifikasi kekurangan teks cerita moral/fabel, ulasan, diskusi, cerita prosedur, dan cerita biografi berdasarkan kaidah-kaidah teks baik melalui lisan mupun tulisan

 

    4. Mengolah,  menyaji, dan menalar dalam ranah konkret (menggunakan, mengurai, merangkai, memodifikasi, dan membuat) dan ranah abstrak (menulis, membaca, menghitung, menggambar, dan mengarang) sesuai dengan yang dipelajari di sekolah dan sumber lain yang sama dalam sudut pandang/teori.
4.1  Menangkap makna teks cerita moral/fabel, ulasan, diskusi, cerita prosedur, dan cerita biografi baik secara lisan maupun tulisan

4.2  Menyusun teks cerita moral/fabel, ulasan, diskusi, cerita prosedur, dan cerita biografi  sesuai dengan karakteristik teks  yang akan dibuat baik secara lisan maupun tulisan

4.3  Menelaah dan merevisi teks cerita moral/fabel, ulasan, diskusi, cerita prosedur, dan cerita biografi  sesuai dengan struktur dan kaidah teks baik secara lisan maupun tulisan

4.4  Meringkas teks cerita moral/fabel, ulasan, diskusi, cerita prosedur, dan cerita biografi baik secara lisan maupun tulisan


KELAS : IX

KOMPETENSI  INTI

KOMPETENSI DASAR

    1. Menghargai dan menghayati ajaran agama yang dianutnya.
1.1  Menghargai dan mensyukuri keberadaan bahasa Indonesia sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa untuk mempersatukan bangsa Indonesia di tengah keberagaman bahasa dan budaya

1.2  Menghargai dan  mensyukuri keberadaan bahasa Indonesia sebagai anugerah Tuhan yang Maha Esa sebagai sarana memahami informasi lisan dan tulis

1.3  Menghargai dan  mensyukuri keberadaan bahasa Indonesia sebagai anugerah Tuhan yang Maha Esa sebagai sarana menyajikan  informasi lisan dan tulis

    2. Menghargai dan menghayati perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab, peduli (toleransi, gotong royong), santun, percaya diri, dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam dalam jangkauan pergaulan dan keberadaannya.
2.1  Memiliki perilaku jujur dan percaya diri dalam  menangani kejadian dan memberikan makna kejadian dalam konteks budaya masyarakat

2.2  Memiliki perilaku cinta tanah air dan semangat kebangsaan atas karya budaya masyarakat Indonesia yang penuh makna dalam hal pesan dan nilai-nilai budaya

2.3  Memiliki perilaku demokratis, kreatif, dan santun dalam membantah sebuah sudut pandang tentang suatu masalah

2.4  Memiliki rasa percaya diri dan semangat dalam kegiatan ilmiah dan menceritakan kembali kesimpulan hasil kegiatan ilmiah

    3. Memahami dan menerapkan pengetahuan (faktual, konseptual, dan prosedural) berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya terkait fenomena dan kejadian tampak mata.
3.1  Memahami teks eksemplum, tanggapan kritis, tantangan, dan rekaman percobaan baik melalui lisan maupun tulisan

3.2  Membedakan teks eksemplum, tanggapan kritis, tantangan, dan rekaman percobaan baik melalui lisan maupun tulisan

3.3  Mengklasifikasi teks eksemplum, tanggapan kritis, tantangan, dan rekaman percobaan  baik melalui lisan maupun tulisan

3.4  Mengidentifikasi kekurangan teks eksemplum, tanggapan kritis, tantangan, dan rekaman percobaan berdasarkan kaidah-kaidah teks baik melalui lisan mupun tulisan

    4. Mengolah,  menyaji, dan menalar dalam ranah konkret (menggunakan, mengurai, merangkai, memodifikasi, dan membuat) dan ranah abstrak (menulis, membaca, menghitung, menggambar, dan mengarang) sesuai dengan yang dipelajari di sekolah dan sumber lain yang sama dalam sudut pandang/teori.
4.1  Menangkap makna teks eksemplum, tanggapan kritis, tantangan, dan rekaman percobaan baik secara lisan maupun tulisan

4.2  Menyusun teks eksemplum, tanggapan kritis, tantangan, dan rekaman percobaan sesuai dengan karakteristik  teks yang akan dibuat baik secara lisan mupun tulisan

4.3  Menelaah dan merevisi teks eksemplum, tanggapan kritis, tantangan, dan rekaman percobaan sesuai dengan struktur dan kaidah teks baik secara lisan maupun tulisan

4.4  Meringkas teks eksemplum, tanggapan kritis, tantangan, dan rekaman percobaan baik secara lisan maupun tulisan

 

Makin jelas betapa tidak berpihaknya para konseptor Kurikulum 2013 terhadap upaya pengembangan nilai sastrawi kepada peserta didik yang diyakini banyak kalangan mampu menjadi filter dan “katalisator” positif dalam membangun karakter peserta didik secara “utuh” dan “paripurna”. Kita tidak melihat iktikad baik dari para konseptor kurikulum untuk memperkenalkan keagungan nilai yang tersirat dalam teks-teks sastra lama (seperti pantun, syair, gurindam, karmina, talibun, dsb.) dan modern (puisi, cerpen, novel). Di SMP, misalnya, kita hanya melihat cerpen dan fabel yang disajikan kepada peserta didik. Hanya dengan dua “genre” sastra itu, mana mungkin anak-anak negeri ini akan memiliki apresiasi tinggi terhadap warisan kultur bangsanya?

Bisa saja para konseptor kurikulum berdalih guru Bahasa Indonesia harus pandai-pandai menyisipkan muatan sastra ke dalam pembelajaran berbasis teks. Artinya, ketika guru menyajikan materi tentang genre teks hasil observasi, tanggapan deskriptif, misalnya, di situlah kreativitas guru ditantang. Mampukah mereka menyajikan desain pembelajaran yang “kaya”. Selain belajar bahasa, mereka juga belajar mengapresiasi sastra. Saya pikir ini sebuah dalih yang naif dan “absurd”. Alih-alih mengintegrasikan, materi yang jelas-jelas tercantum secara tersurat dalam kurikulum pun seringkali masih “miskin” kreativitas. Pembelajaran tetap saja berlangsung kaku dan monoton, apalagi dituntut harus menyajikan materi “kurikulum tersembunyi”?

Kurikulum baru idealnya berupaya menyempurnakan kurikulum sebelumnya setelah menerima masukan dari para pemangku kepentingan, termasuk para praktisi pendidikan (baca: guru). Namun, diakui atau tidak, guru selama ini masih diposisikan sebagai “pelengkap penderita” yang harus melaksanakan kurikulum, meski tidak pernah diberdayakan. Masukan dan suara guru yang begitu masif dan gencar disampaikan ketika uji publik kurikulum berlangsung hanya dianggap sebagai “angin lalu”. Ironisnya, pelatihan guru sekolah sasaran yang seharusnya sudah sangat memahami konsep kurikulum dan implementasinya, ternyata masih “jauh panggang dari api”. Pelatihan yang berlangsung selama lima hari yang diikuti dengan pendampingan langsung ke sekolah-sekolah sasaran dinilai “jalan di tempat” dan sangat tidak efektif. Akibatnya, implementasi Kurikulum 2013 –meminjam bahasa seorang rekan sejawat—seperti “Opera Van Java (OVJ)”; penonton (guru) bingung, dalang (instruktur) makin tambah bingung. Kabarnya, setiap kali ada pertanyaan dari peserta pelatihan, instruktur dan guru inti, gagal memberikan jawaban yang memuaskan.

Situasi semacam itu tidak bakal terjadi seandainya konsep Kurikulum 2013 benar-benar dipersiapkan dengan matang setelah melibatkan para pemangku kepentingan, untuk selanjutnya, guru yang berada di garda terdepan dalam pelaksanaan kurikulum, benar-benar diberdayakan secara serius melalui pelatihan total dan intensif.

Jika situasi semacam itu terus berlanjut, bukan mustahil pelajaran Bahasa Indonesia yang sejatinya mampu memosisikan Bahasa Indonesia sebagai bahasa keilmuan dengan pendekatan sains dan sekaligus sebagai sarana untuk memperkenalkan, menginternalisasi, dan mengapresiasi budaya bangsa melalui pendekatan humaniora hanya mengapung-apung dalam slogan dan retorika belaka. Kalau memang demikian, quovadis Kurikulum 2013? ***

Keperkasaan Tidak Hanya Menjadi Milik Kaum Lelaki

$
0
0

(Refleksi Hari Ibu Tahun 2013)

Perempuan-Perempuan Perkasa
Puisi Hartoyo Andangdjaja

Perempuan-perempuan yang membawa bakul di pagi buta, dari manakah mereka
ke stasiun kereta mereka datang dari bukit-bukit desa
sebelum peluit kereta pagi terjaga
sebelum hari bermula dalam pesta kerja

Perempuan-perempuan yang membawa bakul dalam kereta, ke manakah mereka
di atas roda-roda baja mereka berkendara
mereka berlomba dengan surya menuju gerbang kota
merebut hidup di pasar-pasar kota

Perempuan-perempuan perkasa yang membawa bakul di pagi buta, siapakah mereka
mereka ialah ibu-ibu berhati baja, perempuan-perempuan perkasa
akar-akar yang melata dari tanah perbukitan turun ke kota
mereka: cinta kasih yang bergerak menghidupi desa demi desa
***

Catatan Sawali Tuhusetya

Oleh: Sawali Tuhusetya

Sengaja saya kutip puisi Hartoyo Andangdjaja yang indah itu. Lihat saja rima akhirnya yang serempak berakhir dengan bunyi /a/. Sungguh, puisi yang dibuat dengan stilistika yang cermat dan matang. Namun, bukan lantaran keindahan itu yang membuat saya “terpesona”. Ada nilai keperkasaan dan maskulinitas yang terpancar di sana. Keperkasaan dan maskulinitas ternyata tidak menjadi dominasi kaum lelaki. Kesetaraan gender di negeri ini sudah lama ada.

Sesekali luangkan waktu Sampeyan ke daerah pedesaan. Kalau bisa, di sebuah dusun terpencil yang jauh dari hiruk-pikuk keramaian. Syukur-syukur yang tinggal berbatasan dengan kawasan hutan. Saksikan bagaimana kiprah kaum perempuan di sana dalam menjaga tegaknya pilar-pilar ekonomi keluarga. Hampir bisa dipastikan, di setiap sudut pedusunan Sampeyan akan menyaksikan “kemitraan” kaum lelaki dan perempuan yang bersama-sama keluar dari pagar rumah tangga untuk bahu-membahu mengais rezeki. Ladang, sawah, atau hutan menjadi lahan perburuan kaum perempuan dan lelaki dalam mempertahankan mengepulnya periuk dapur. Maka, bisa juga dipastikan bahwa puisi Hartoyo Andangdjaja itu bukan semata-mata sebagai sebuah fiksi.

Ya, ya, ya, zaman boleh berubah. Peradaban modern dan global dengan segala thethek-bengek nilai materialistik, hedonistik, dan konsumtivistik yang ditawarkan boleh saja terus menggerus nilai-nilai kejujuran, kebersahajaan, dan kemanusiaan lainnya, tetapi peran kaum Ibu sepanjang sejarah peradaban tak akan pernah berubah. Mereka adalah penyangga sekaligus pencerah peradaban. Fitrah kaum Ibu tak semata-mata menjalankan peran biologis; mengandung, menyusui, dan membesarkan anak-anaknya dalam buaian kasih sayang tak terhingga, tetapi juga melakukan peran publik; bersosialisasi, bekerja, dan menegakkan pilar-pilar kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dari sisi ini jelas bahwa keperkasaan tidak hanya didominasi kaum lelaki. Bahkan, dalam banyak hal, kaum perempuan mampu melakukan pekerjaan publik yang biasa dilakukan oleh kaum lelaki. Namun, kaum lelaki belum tentu sanggup melakukan pekerjaan domestik yang biasa dilakukan oleh kaum perempuan.

Lantas, bagaimana dengan kiprah kaum perempuan yang perilakunya tidak mencerminkan perilaku fitrahnya sebagai perempuan sejati? Korupsi, misalnya, bukankah di negeri ini tidak sedikit kaum Ibu (perempuan) yang terjerat kasus hukum akibat perilaku korup yang dilakukannya?

Saya kira korupsi tidak identik dengan kaum lelaki. Ia (baca: korupsi) bisa dilakukan oleh siapa pun, terlepas dari jenis kelaminnya. Di balik perilaku feminitasnya, kaum Ibu yang fondasi karakternya sudah dicemari sikap kemaruk dan serakah akan sangat dekat dengan berbagai ulah tak terpuji, termasuk korupsi. Oleh karena itu, sangat naif apabila mengaitkan antara fitrah peran keagungan seorang ibu dengan berbagai perilaku korup yang belakangan ini sering melibatkan kaum perempuan.

Terlepas dari sisi buram yang menghinggapi kehidupan sebagian kaum perempuan yang korup, yang pasti fungsi dan peran kaum perempuan, baik di sektor domestik maupun publik akan tetap eksis sepanjang sejarah peradaban. Perempuan-perempuan perkasa yang selalu bangun di pagi buta untuk memenuhi fitrahnya, sebagaimana tersirat dalam puisi Hartoyo Andangdjaja, menguatkan fakta dan eksistensi kaum perempuan di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Bahkan, dalam ranah domestik yang begitu agung dan mulia, peran seorang Ibu tak akan pernah bisa tergantikan oleh apa pun dan siapa pun.

Nah, dirgahayu Ibu Indonesia! ***

Menyoal Mutu Soal UN dan Rendahnya Peringkat PISA

$
0
0
Catatan Sawali Tuhusetya

Oleh: Sawali Tuhusetya

Hasil studi Programme for International Student Assessment (PISA) 2012  menunjukkan sistem pendidikan Indonesia masih sangat jeblok. Dari 65 negara anggota PISA, pendidikan Indonesia berada di bawah peringkat 64.  Tingkat membaca pelajar Indonesia menempati urutan ke-61 dari 65 negara anggota PISA. Indonesia hanya mengumpulkan skor membaca 396 poin. Tingkat membaca penduduk Indonesia tertinggal dari negara tetangga, Thailand (50) dan Malaysia (52).

Untuk literasi matematika, pelajar Indonesia berada di peringkat 64 dengan skor 375. Adapun skor literasi sains berada di peringkat 64 dengan skor 382. Pada tahun ini, skor dan posisi tertinggi diraih Shanghai-China, Singapura, dan Hong Kong. Sementara tiga tempat paling bawah diraih Qatar, Indonesia, Peru. PISA merupakan studi internasional kemampuan literasi membaca, matematika, dan sains yang diselenggarakan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) untuk siswa usia 15 tahun. Indonesia sendiri sudah mengikuti studi ini sejak tahun 2000. PISA digunakan untuk mengukur kemampuan murid yang nantinya akan dijadikan dasar untuk pengambilan kebijakan pendidikan nasional. (Dikutip dari www.metrotvnews.com).

Sungguh memprihatinkan. Sudah 68 tahun merdeka, tetapi negeri besar ini masih belum juga sanggup keluar dari belenggu kebodohan dan keterbelakangan. Di aras global, kemampuan literasi generasi masa depan negeri ini masih harus membuat sesak napas. Dari 65 negara anggota PISA, Indonesia berada peringkat 61 (membaca), 64 (Matematika), dan 64 (Sains).

Berikut adalah daftar peringkat negara anggota PISA berdasarkan hasil studi Tahun 2012.

Matematika

No.

Negara

Rerata Skor

OECD average

494

1

Shanghai-China

613

2

Singapore

573

3

Hong Kong-China

561

4

Chinese Taipei

560

5

Korea

554

6

Macao-China

538

7

Japan

536

8

Liechtenstein

535

9

Switzerland

531

10

Netherlands

523

11

Estonia

521

12

Finland

519

13

Canada

518

14

Poland

518

15

Belgium

515

16

Germany

514

17

Viet Nam

511

18

Austria

506

19

Australia

504

20

Ireland

501

21

Slovenia

501

22

Denmark

500

23

New Zealand

500

24

Czech Republic

499

25

France

495

26

United Kingdom

494

27

Iceland

493

28

Latvia

491

29

Luxembourg

490

30

Norway

489

31

Portugal

487

32

Italy

485

33

Spain

484

34

Russian Federation

482

35

Slovak Republic

482

36

United States

481

37

Lithuania

479

38

Sweden

478

39

Hungary

477

40

Croatia

471

41

Israel

466

42

Greece

453

43

Serbia

449

44

Turkey

448

45

Romania

445

46

Cyprus1, 2

440

47

Bulgaria

439

48

United Arab Emirates

434

49

Kazakhstan

432

50

Thailand

427

51

Chile

423

52

Malaysia

421

53

Mexico

413

54

Montenegro

410

55

Uruguay

409

56

Costa Rica

407

57

Albania

394

58

Brazil

391

59

Argentina

388

60

Tunisia

388

61

Jordan

386

62

Colombia

376

63

Qatar

376

64

Indonesia

375

65

Peru

368

 

Membaca

No.

Negara

Rerata Skor

OECD average

496

1

Shanghai-China

570

2

Hong Kong-China

545

3

Singapore

542

4

Japan

538

5

Korea

536

6

Finland

524

7

Chinese Taipei

523

8

Canada

523

9

Ireland

523

10

Poland

518

11

Liechtenstein

516

12

Estonia

516

13

Australia

512

14

New Zealand

512

15

Netherlands

511

16

Macao-China

509

17

Switzerland

509

18

Belgium

509

19

Germany

508

20

Viet Nam

508

21

France

505

22

Norway

504

23

United Kingdom

499

24

United States

498

25

Denmark

496

26

Czech Republic

493

27

Austria

490

28

Italy

490

29

Latvia

489

30

Luxembourg

488

31

Portugal

488

32

Spain

488

33

Hungary

488

34

Israel

486

35

Croatia

485

36

Iceland

483

37

Sweden

483

38

Slovenia

481

39

Lithuania

477

40

Greece

477

41

Russian Federation

475

42

Turkey

475

43

Slovak Republic

463

44

Cyprus1, 2

449

45

Serbia

446

46

United Arab Emirates

442

47

Thailand

441

48

Chile

441

49

Costa Rica

441

50

Romania

438

51

Bulgaria

436

52

Mexico

424

53

Montenegro

422

54

Uruguay

411

55

Brazil

410

56

Tunisia

404

57

Colombia

403

58

Jordan

399

59

Malaysia

398

60

Argentina

396

61

Indonesia

396

62

Albania

394

63

Kazakhstan

393

64

Qatar

388

65

Peru

384

 

Sains:

No.

Negara

Rerata Skor

OECD average

501

1

Shanghai-China

580

2

Hong Kong-China

555

3

Singapore

551

4

Japan

547

5

Finland

545

6

Estonia

541

7

Korea

538

8

Viet Nam

528

9

Poland

526

10

Liechtenstein

525

11

Canada

525

12

Germany

524

13

Chinese Taipei

523

14

Netherlands

522

15

Ireland

522

16

Macao-China

521

17

Australia

521

18

New Zealand

516

19

Switzerland

515

20

Slovenia

514

21

United Kingdom

514

22

Czech Republic

508

23

Austria

506

24

Belgium

505

25

Latvia

502

26

France

499

27

Denmark

498

28

United States

497

29

Spain

496

30

Lithuania

496

31

Norway

495

32

Italy

494

33

Hungary

494

34

Luxembourg

491

35

Croatia

491

36

Portugal

489

37

Russian Federation

486

38

Sweden

485

39

Iceland

478

40

Slovak Republic

471

41

Israel

470

42

Greece

467

43

Turkey

463

44

United Arab Emirates

448

45

Bulgaria

446

46

Serbia

445

47

Chile

445

48

Thailand

444

49

Romania

439

50

Cyprus1, 2

438

51

Costa Rica

429

52

Kazakhstan

425

53

Malaysia

420

54

Uruguay

416

55

Mexico

415

56

Montenegro

410

57

Jordan

409

58

Argentina

406

59

Brazil

405

60

Colombia

399

61

Tunisia

398

62

Albania

397

63

Qatar

384

64

Indonesia

382

65

Peru

373

 

(Diolah dari www.oecd.org)

Pertanyaan yang muncul, ada apa dengan dunia pendidikan kita sehingga gagal melahirkan generasi yang memadai tingkat literasinya, terutama pada ranah membaca, Matematika, dan Sains?

Rendahnya peringkat Indonesia di antara negara-negara anggota PISA seharusnya makin menguatkan tekad dan komitmen para pengambil kebijakan untuk mendesain sistem pendidikan yang benar-benar visioner dan sebisa mungkin steril dari godaan politik. Namun, diakui atau tidak, pendidikan di negeri belum menjadi sebuah dunia otonom yang bebas untuk menentukan nasibnya sendiri. Gurita politik telah demikian kuat membelit dan menelikung otak para pengambil kebijakan. Ujian Nasional (UN) dan kurikulum pendidikan kita, misalnya, masih sangat kuat dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan politik yang beraroma fasis.

Sistem UN yang selama ini mendapat sorotan dan kritik tajam dari banyak kalangan (nyaris) tak pernah berubah. Dari tahun ke tahun, UN menjadi sebuah perhelatan rutin tahunan yang identik dengan proyek berbiaya tinggi akibat kuatnya pengaruh dan intervensi penguasa. Hasil UN dijadikan sebagai satu-satunya penentu dan tolok ukur mutu pendidikan dengan kualitas soal yang diragukan kesahihannya. Sekolah yang hasil rerata UN-nya tinggi dinilai sebagai sekolah yang berhasil. Sebaliknya, sekolah yang hasil rerata UN-nya rendah dinilai sebagai sekolah gagal.

Ironisnya, sekolah-sekolah yang nilai UN-nya tinggi dianggap telah mampu mengangkat citra dan marwah daerah sehingga layak diberikan apresiasi dan subsidi peningkatan mutu. Sedangkan, sekolah yang nilai UN-nya rendah dianggap gagal mengangkat citra dan marwah daerah sehingga cenderung diabaikan dan sama sekali tidak dilirik. Ini artinya, angka-angka UN telah ditafsirkan sebagai media pencitraan yang amat kuat aroma politiknya. Imbasnya, nilai kejujuran yang menjadi elemen penting dalam kegiatan evaluasi makin terpinggirkan. Dalam situasi seperti itu, sangat beralasan apabila plagiarisme dan menyontek berjamaah menjadi fenomena rutin yang terjadi setiap tahun.

Akibat kebijakan politik lokal yang tidak berpihak terhadap upaya peningkatan mutu pendidikan terhadap sekolah-sekolah yang dinilai gagal tadi, dinamika pendidikan mengalami stagnasi dan terus mengalami pembusukan dari tahun ke tahun. Tidak berlebihan apabila mutu pendidikan kita “jalan di tempat”, bahkan kian terpuruk.

Yang lebih memprihatinkan, soal-soal UN yang seharusnya dijadikan sebagai alat yang penting dan strategis untuk menguji kompetensi siswa didik dalam bernalar berdasarkan prinsip-prinsip keilmuan secara komprehensif, hanya  menampilkan soal-soal bermutu rendah dengan menggunakan soal pilihan ganda yang “gagal” menguji kemampuan bernalar dan berpikir kritis peserta didik.

Coba kita bandingkan contoh soal UN Bahasa Indonesia SMP dengan soal membaca model PISA berikut ini!

Soal UN Tahun 2012:

Bacalah kutipan berikut kemudian kerjakan soal nomor 2 dan 3!

Teks berita I
Selasa, (26/10) hujan deras mengakibatkan sejumlah perumahan di kota Tangerang terendam banjir. Banjir itu ketinggiannya bervariasi, mulai 20 cm hingga 1,5 meter. Jalan Raya Hasyim Ashari, Ciledug yang merupakan jalan penghubung Tangerang dengan Jakarta, akibat banjir terputus sejak dini hari kemarin.

Teks berita II
Banjir selain memutuskan arus transportasi juga merendam ratusan rumah di Kompleks Ciledug Indah I dan Ciledug Indah II. Sejak semalam, turun hujan mengakibatkan Kali Angke meluap. Air luapan itu kemudian menyebabkan banjir di Ciledug, Tangerang.

2. Kesamaan informasi teks berita tersebut adalah ….
A. waktu banjir
B. korban banjir
C. wilayah banjir
D. penyebab banjir

3. Perbedaan penyajian kutipan kedua berita tersebut adalah ….
A. Teks berita I diawali dengan kapan teks berita II diawali apa
B. Teks berita I diawali dengan apa teks berita II diawali bagaimana
C. Teks berita I diawali dengan bagaimana teks berita II diawali di mana
D. Teks berita I diawali dengan di mana teks berita II diawali mengapa

Soal PISA (Membaca):

MACONDO
Karena terpesona oleh begitu banyak penemuan yang baru dan hebat, penduduk Macondo tidak tahu awal kehebatan itu. Mereka terjaga sepanjang malam memandangi bola-bola lampu redup yang diberi daya dari mesin yang dibawa Aureliano Triste dengan kereta api pada kedatangannya yang kedua kalinya. Mereka harus berupaya dan itu memakan waktu yang agak lama untuk dapat membiasakan diri dengan bunyi tum-tum yang menawan. Mereka menjadi kesal pada bayang-bayang hidup yang diproyeksikan dalam gedung bioskop dengan jendela karcis berbentuk kepala singa oleh Don Bruno Crespi, seorang saudagar yang kaya raya, Penyebab kekesalan ini adalah karena dalam sebuah film seorang tokoh yang sudah meninggal dan dikuburkan serta kemalangannya juga ditangisi oleh mereka dapat hidup kembali dan berubah menjadi seorang Arab dalam film yang lain. Para penonton yang telah membayar dua centavos untuk membantu meringankan kesulitan para pelaku tidak mau menerima tipuan yang keterlaluan seperti itu dan mereka merusak tempat duduk. Atas desakan Don Bruno Crespi, walikota mengeluarkan pernyataan yang menjelaskan bahwa bioskop adalah mesin ilusi yang tidak perlu ditanggapi dengan semangat yang meluap-luap oleh penontonnya. Penjelasan demikian menyebabkan banyak penonton merasa bahwa mereka menjadi korban penipuan gaya baru yang murahan dan memutuskan untuk tidak akan menonton lagi. Mereka beranggapan bahwa mereka sendiri mempunyai cukup banyak masalah dan tidak perlu ikut meratapi kemalangan buatan yang dialami para makhluk khayalan.

Jawablah pertanyaan berikut berdasarkan bacaan tersebut!

MACONDO
Bagian mana dari film yang menyebabkan penduduk Macondo menjadi marah?
…………………………………………………………………….
…………………………………………………………………….
…………………………………………………………………….

MACONDO

Pada akhir bacaan, mengapa orang Macondo memutuskan untuk tidak mau menonton?
A. Mereka menginginkan hiburan untuk mengurangi penderitaan tapi ternyata filmnya realistis dan menyedihkan.
B. Mereka tidak mampu membayar harga karcis.
C. Mereka ingin menyimpan perasaan untuk menghadapi kenyataan hidup.
D. Mereka mencari keterlibatan emosional tapi ternyata film itu menjemukan, tidak meyakinkan dan bermutu rendah.

Jika kita bandingkan kualitas kedua model soal tersebut, soal UN (nyaris) tidak memberikan peluang kepada peserta didik untuk berpikir kritis secara mutidimensional, sedangkan soal Model PISA memberikan peluang kepada peserta didik untuk bernalar, berpikir kritis, dan menghidupkan dunia imajinasinya. Dari sisi ini, agaknya kemampuan bernalar dan berpikir kritis generasi masa depan negeri ini tidak akan pernah berkembang dengan baik apabila UN hanya menampilkan soal-soal bermutu rendah dengan trik menjawab soal secara spekulatif dan instan. Jika mutu soal UN semacam itu terus dipertahankan, bukan mustahil kompetensi generasi masa depan negeri ini akan makin jauh tertinggal dan tersalip dalam lalu-lintas peradaban global.

Rendahnya mutu soal UN diperparah dengan kurikulum pendidikan kita yang lebih mengutamakan aras konsep dan tekstual tanpa diimbangi dengan upaya pemberdayaan guru secara intensif. Guru yang berdiri di garda terdepan dalam proses pembelajaran yang seharusnya diposisikan sebagai prioritas utama dalam mengimplementasikan kurikulum pendidikan, justru hanya diposisikan sebagai pelengkap penderita. Pelatihan yang diikuti berlangsung instan; hanya didesain untuk menjadi “robot” dan tukang ajar yang gagal memahami substansi dan “roh” kurikulum yang sesungguhnya. ***

Yang ingin mengunduh contoh soal Membaca, Matematika, dan Sains model PISA, silakan unduh melalui tautan berikut:
1. Soal Membaca
2. Soal Matematika
3. Soal Sains

Budaya Politik dan Pesimisme Bangsa

$
0
0
Catatan Sawali Tuhusetya

Oleh: Sawali Tuhusetya

Menjelang akhir tahun 2013, optimisme bangsa kita masih “galau” –kalau tidak bisa dibilang pesimis– dalam menghadapi dinamika dan perubahan zaman. Belum ada prestasi spektakuler yang bisa membuat bangsa kita optimis. Bahkan, berbagai fenomena ekonomi, sosial, dan politik yang mencuat ke permukaan makin membuat bangsa kita kehilangan harapan. Utang pemerintah Indonesia, misalnya, hingga akhir Agustus 2013, totalnya mencapai Rp 2.177,95 triliun. Utang ini naik dibandingkan dengan akhir tahun 2012 yang mencapai Rp 1.977,71 triliun. Berapa cicilan pokok dan bunga utang pada Januari-Agustus 2013? Dikutip dari data Kementerian Keuangan, Jumat (20/9/2013), jumlah cicilan utang yang dibayar pemerintah baik pokok atau bunganya selama 8 bulan di 2013 ini adalah Rp 175,427 triliun atau 58,53% dari target cicilan utang yang akan dibayar pemerintah tahun ini. Rinciannya, untuk cicilan pokok utang Januari-Agustus 2013 mencapai Rp 102,822 triliun, sementara cicilan bunga utangnya mencapai Rp 72,605 triliun (baca finance.detik.com).

Jumlah utang yang demikian besar (nyaris) tak seimbang dengan kemajuan yang dicapai negeri ini. Hampir di semua ranah dan lini, perubahan yang didambakan rakyat masih menimbulkan sikap pesimistis. Kondisi utang yang menumpuk semacam itu diperparah dengan perilaku korup yang menghinggapi elite bangsa. Di tengah lilitan utang yang mencekik leher, mereka justru makin abai terhadap situasi sosial yang makin kacau akibat tingkat kepercayaan rakyat yang kian melemah. Angka kemiskinan dan keterbelakangan kian melambung. Pengangguran pun kian merajalela. Sementara itu, kalangan elite makin memanjakan naluri hedonisnya melalui perilaku korup yang dilakukan secara berjamaah.

Wakil rakyat pun setali tiga uang. Mereka yang seharusnya mampu menjadi kekuatan kontrol terhadap perilaku penguasa yang korup justru ikut larut dalam permufakatan jahat dan kongkalingkong busuk. Banyaknya politisi yang terjerat kasus korupsi makin membenarkan hal itu. Kondisi bangsa makin terdegradasi ke dalam lubang kehancuran ketika aparat penegak hukum yang dianggap sebagai “wakil tuhan” dalam menjunjung tinggi nilai kebenaran dan keadilan juga ikut bermain-main. Mahkamah Konstitusi MK), misalnya, siapa menduga kalau para hakim yang sangat diharapkan mampu mengawal konsitusi justru tak tahan godaan terhadap gaya hidup hedonis; kemaruk dan serakah.

Idiom apalagi yang bisa diungkapkan kalau pilar-pilar “trias-politika” yang seharusnya menjadi teladan dan negarawan ulung justru melakukan pembusukan tubuh bangsa dari dalam? Bagaimana mungkin rakyat yang sudah hidup 68 tahun di alam kemerdekaan ini bisa hidup sejahtera dan optimis kalau para elite bangsa justru tampil sebagai “predator” politik melalui tingkah kanibalnya yang tega meminum darah rakyatnya sendiri?

Pertanyaannya sekarang, kapan optimisme bangsa itu bisa kembali tumbuh di tengah situasi budaya politik yang korup dan transaksional seperti saat ini? Ada yang menyatakan bahwa Pemilu 2014 merupakan momentum yang tepat untuk melakukan sebuah perubahan besar sehingga sikap optimis itu setidak-tidaknya bisa membayang di setiap kepala. Pandangan semacam ini, dalam pandangan awam saya, memang tidak salah. Pemilu memang bisa dijadikan sebagai media politik yang dianggap paling “demokratis” untuk memilih calon pemimpin dan wakil rakyat yang amanah, berintegritas tinggi, dan negarawan ulung.

Namun, menyaksikan perilaku dan budaya politik yang belepotan dengan trik-trik jahat, menghalalkan segala cara, dan transaksi politik uang yang demikian masif, agaknya tidak mudah untuk memilih sosok pemimpin seperti yang diharapkan. Di tengah situasi kemiskinan yang menjerat sebagian besar rakyat yang notabene menjadi pemilik suara dalam pemilu, seringkali mereka gampang tergoda dan tergiur dengan iming-iming uang politik yang dengan amat sadar digelontorkan oleh para politisi berhati jahat dan busuk. Sebagian besar rakyat kita lupa bahwa waktu lima menit di dalam TPS akan menjadi penentu nasib bangsa ini pada kurun waktu lima tahun mendatang. Dampak politik akibat proses pemilu yang sarat dengan politik uang adalah lahirnya sosok pemimpin transaksional yang amat rentan menggunakan kekuasaan dan wewenangnya untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya. Mereka sengaja menggunakan siasat dagang yang membelanjakan logistik politiknya untuk mendapatkan keuntungan di tengah kemiskinan yang menjerat rakyat.

Harus diakui, selama ini rakyat belum mendapatkan pendidikan politik yang mencerahkan. Mereka belum sanggup melakukan tindakan cerdas dalam menghadapi tipu-muslihat para politisi yang dengan amat sengaja memasang perangkap politik uang untuk membeli suara rakyat demi memanjakan hasrat purbanya duduk di atas kursi kekuasaan. Dalam situasi seperti itu, Pemilu 2014 pun akan sangat sulit membebaskan diri dari suhu politik uang yang panas dan masif akibat lemahnya penegakan hukum. Kalau memang benar, jangan pernah berharap optimisme bangsa kita bisa terwujud dalam menghadapi situasi peradaban yang makin abai terhadap moralitas politik yang elegan dan kstaria. ***

Grafik Jumlah Tulisan Menurun?

$
0
0
Catatan Sawali Tuhusetya

Oleh: Sawali Tuhusetya

Dalam tiga tahun terakhir, jumlah postingan di blog “abal-abal” ini bukannya merangkak naik, melainkan justru mengalami penurunan. Pada tahun 2011, saya mampu menghasilkan 12o tulisan. Rerata satu bulan bisa memublikasikan 10 tulisan. Tahun 2012 turun menjadi 100 postingan. Rerata satu bulan menghasilkan sekitar 8 tulisan. Tahun 2013 merosot drastis yang hanya mampu menghasilkan 56 tulisan dengan rerata sebulan hanya sekitar 4-5 tulisan.

Saya tak tahu pasti penyebabnya. Lantaran meningkatnya aktivitas offline, sibuk bersosial media, atau memang “adrenalin” menulis yang gagal memacu inspirasi untuk ngeblog? Namun, seingat saya, dalam dua tahun terakhir ini, aktivitas offline juga tak sibuk-sibuk amat. Bersosial-media? Hem … Jujur saja, saya terbilang pemalas dalam berjejaring sosial. Facebook hanya berisi tautan postingan yang ter-update secara otomatis melalui networkedblogs. (Nyaris) tak pernah meninggalkan jejak status di wall. Twitter pun setali tiga uang. Hanya sesekali “berkicau”. Itu pun kalau kebetulan ada mention atau retweet dari sahabat.

Lihat saja screenshot grafik jumlah tulisan berikut ini!

grafik tulisan

Kalau begitu? Apakah memang “adrenalin” ngeblog sedang tiarap? Bisa jadi. Dalam setahun terakhir ini, saya memang sedang berusaha menyelesaikan naskah buku teks dari sebuah penerbit bersama dua rekan sejawat. Meskipun sesungguhnya hal itu tidak bisa dijadikan sebagai alasan pembenar. Membuat postingan di blog jauh lebih mudah ketimbang menulis naskah buku. Apa pun bisa ditulis tanpa terikat oleh kaidah-kaidah kepenulisan yang rumit dan njlimet. Juga tak dibatasi jumlah spasi dan karakter. Kalau tega, satu kata, bahkan satu karakter pun bisa di-publish. Lebih-lebih yang punya hobi jeprat-jepret. Hanya dengan menampilkan sebuah foto –tanpa harus ada caption-nya– jadilah sebuah postingan.

Lantas, kenapa mesti jadi blogger “pemalas”? Hem … Meski ngeblog itu tidak ribet, ternyata godaan dari luar jauh lebih kompleks. Blogger juga manusia. Ia tak bisa terus-terusan berada di depan monitor. Ia punya tanggung jawab domestik dan sosial. Ia mesti hidup di alam nyata; mengurus keluarga dan bersosialisasi dengan lingkungan. Sungguh keliru kalau blogger “mempersempit” dunianya hanya untuk ngeblog, padahal di luar sana banyak tanggung jawab yang mesti diembannya. Tidak bijak juga kalau seorang blogger dengan amat sengaja menciptakan dunia yang “eksklusif” dan tidak membumi; merangkai kata demi kata demi memenuhi hasrat dan naluri virtualnya.

Kalau begitu, boleh dong blognya dibiarkan merana dan tak terurus?  Hem … Itu soal pilihan. Mau terus eksis ngeblog, itu memang jauh lebih arif dan bijak. Mau berhenti ngeblog, juga tak ada beban moral dan sosial yang mesti ditanggung. Apalagi, kalau blog yang dikelola secara finansial seringkali kurang menguntungkan. Sangat beralasan apabila “adrenalin” ngeblog makin lama makin menyurut hingga akhirnya tiarap dan berhenti total.

Meski bukan soal yang rumit dan njlimet, ngeblog ternyata memang banyak tantangannya. Selain urusan keluarga, sosial, dan berbagai “godaan” yang tak pernah surut, ngeblog memang butuh “nyali” besar untuk bisa bereksistensi. Lebih-lebih ketika dunia micro-blogging dan sosial media tampil sarat pesona, tak jarang blogger yang –disadari atau tidak—beralih status menjadi facebooker atau tweeps dalam bereksistensi diri dan memenuhi hasrat sosialnya di dunia maya.

Ini sekadar tulisan untuk introspeksi diri saya pribadi di penghujung tahun 2013. Jujur saja, saya sangat salut dengan sahabat-sahabat blogger yang terus berusaha eksis dengan menampilkan postingan secara konsisten setiap bulannya di tengah godaan “sosial” yang demikian masif. Mudah-mudahan Sampeyan termasuk di dalamnya. ***


Masihkah Elite Negeri ini Mendengar Suara Punakawan?

$
0
0

Punakawan bagi masyarakat Jawa sudah bukan lagi nama yang asing. Dalam setiap pakeliran wayang kulit, keempat tokoh ini selalu muncul, bahkan kehadiran mereka senantiasa ditunggu-tunggu para penonton. Meski dalam buku Mahabharata tidak pernah disebut-sebut, nama mereka telah menjadi ikon kelucuan, keluguan, kejujuran, dan kebersahajaan dalam wayang Indonesia (khususnya Jawa). Bahkan, dalam banyak hal, mereka sering diposisikan sebagai juru bicara sang dalang dalam melakukan kritik sosial atau ketika sang dalang tengah menyampaikan wejangan tentang makna kearifan hidup.

Dalam pentas wayang kulit, punakawan tidak hanya mewakili sosok masyarakat kebanyakan, tetapi juga seringkali menjadi mediator yang kritis ketika para pemburu nilai kebenaran tengah menghadapi konflik dalam menemukan makna kesejatian hidup. Karakter mereka yang “slengekan” dan terkesan konyol justru mampu memainkan berbagai macam peran, seperti penasihat para ksatria, penghibur, kritikus sosial, badut, bahkan menjadi sumber kebenaran dan kebijakan. Dalam wayang Jawa,  karakter punakawan mewujud dalam sosok Semar, Gareng, Bagong, dan Petruk.

Punawakawan

Gambar diambil dari Punakawan-Ngarak-Cakil

Punawakawan

Meski menjadi simbol “wong cilik”, suara Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong sangat diperhatikan, bahkan sering menjadi “penentu” keputusan penting ketika Pendawa tengah menghadapi konflik

Semar dikenal sebagai pengasuh setia para Pandawa. Ia juga bernama Hyang Ismaya. Meski tampilan lahiriahnya berwujud manusia jelek, ia memiliki kesaktian luar biasa, bahkan melebihi para dewa. Gareng merupakan anak Semar yang akrab disapa Nalagareng. Ia tak pandai bicara, bahkan apa yang dikatakannya kadang- kadang serba salah. Namun, ia sangat lucu dan menggelikan.  Ia pernah menjadi raja di Paranggumiwang dengan julukan Pandubergola. Ia sangat sakti dan hanya bisa dikalahkan oleh Petruk.

Lain lagi dengan Petruk. Ia juga anak Semar, tetapi berwajah manis dengan senyuman yang penuh pesona, pandai berbicara, dan juga suka membanyol.  Ia sering menyindir dan melontarkan kritik terhadap hal-hal yang dianggap tidak benar melalui permainan kata-katanya yang “menghipnotis”. Tokoh-tokoh yang dianggap jahat, semacam Sengkuni, misalnya, sering jadi sasaran tembak dari peluru kata-katanya yang tajam-menusuk. Ia pernah menjadi raja di negeri Ngrancang Kencana dan bernama Helgeduelbek. Konon, ia pernah melarikan jimat Kalimasada dan tak ada yang sanggup mengalahkannya, kecuali Gareng.

Anak Semar yang terakhir adalah Bagong yang berarti bayangan Semar. Alkisah, ketika diturunkan ke dunia, Dewa bersabda pada Semar bahwa bayangannyalah yang akan menjadi temannya. Seketika itu juga bayangannya berubah wujud menjadi Bagong. Bagong memiliki sifat lancang, suka berlagak bodoh, lucu, dan suka menjadi bahan ledekan saudara-saudaranya.

Meski secara lahiriah penampilan para Punakawan tak segagah dan setampan para ksatria, peran mereka dalam menjaga benteng kebenaran, kejujuran, dan keadilan sangat dominan dan teruji. Persoalan-persoalan yang pelik seringkali mampu diselesaikan denhan cara guyon dan slengekan. Mereka menjadi sosok “wong cilik” yang sangat adaptif dan “manjing ajur-ajer”. Saran, masukan, dan kritik-kritiknya sangat diperhatikan oleh para Pandawa.

Indonesia hari ini, sesungguhnya masih memiliki punakawan-punakawan yang jujur, bersahaja, dan berhati bersih. Mereka ada dalam berbagai lapis dan lini kehidupan masyarakat lintas-suku dan lintas-golongan. Namun, Indonesia bukanlah negeri wayang. Suara wong cilik juga bukan lagi “bertuah” seperti suara punakawan yang sesungguhnya. Bahkan, tak jarang kehadiran mereka dianggap sebagai “klilip” yang mesti disingkirkan ketika gencar menyuarakan kritik.

Elite negeri ini juga bukan para kstaria Pendawa yang dengan amat sadar mau mendengar dan memperhatikan suara para Punakawan. Mereka yang kini tengah berada dalam lingkaran kekuasaan adalah sosok-sosok “anomali” yang bergaya hedonis, suka melakukan tipu-tipu, hobi berbohong, dan amat gemar melakukan pencitraan ketika “pamor” kekuasaannya tengah mengalami masa-masa surut.

Dalam situasi seperti itu, saya sangat ragu kalau mereka –para elite negara itu– masih mau mendengar suara para “punakawan” yang sejatinya juga menjadi pewaris yang sah negeri ini. Walhasil, saya pun masih belum bisa percaya kalau Pemilu 2014 nanti mampu melahirkan sosok-sosok pemimpin negarawan yang “miskin” pamrih keduniaan dalam menduduki singgasana kekuasaan. Saya juga sangat tidak yakin kalau wakil-wakil rakyat yang terpilih kelak mau merangkul para “punakawan” dalam menjalankan fungsi anggaran, kontrol, dan legislasi ketika aroma fasisme dan transaksional masih sangat kuat tercium dalam perilaku politik mereka yang cenderung korup, arogan, dan elitis.

Alangkah indahnya hidup di negeri ini kalau para ksatria negeri bersedia membukakan pintu telinganya untuk mendengarkan suara para “punakawan”, untuk selanjutnya bersama-sama mengawal bangsa dan negara dalam suasana “manunggaling kawula-gusti” yang lentur, harmonis, dan sinergis. Begitukah? ***

Ujian Nasional, Kurikulum Baru, dan Pendidikan Budi Pekerti

$
0
0

(Refleksi Akhir Tahun 2013)

Catatan Sawali Tuhusetya

Oleh: Sawali Tuhusetya

Sepanjang 2013, Kurikulum Baru dan Ujian Nasional menjadi dua isu sentral dalam dunia pendidikan kita. Kontroversi pun bermunculan. Ada yang setuju, tetapi tak sedikit juga yang menentangnya. Maklum, dua persoalan ini memang cukup strategis dan krusial ketika dunia pendidikan kita selama ini dinilai masih “jalan di tempat”, bahkan tiarap. Yang memprihatinkan, nilai-nilai keluhuran budi (nyaris) hilang dalam sikap dan perilaku keseharian peserta didik. Tawuran, narkoba, seks bebas, dan berbagai perilaku tak terpuji lainnya acapkali dipertontonkan secara vulgar oleh kaum pelajar kita di ruang-ruang publik. Dalam situasi demikian, sangat beralasan apabila para pemangku kepentingan dunia pendidikan “bersuara” keras untuk menjaga dan mengawal agar dinamika dunia pendidikan tetap berada pada jalur yang benar.

Negeri kita sesungguhnya sudah sangat berpengalaman dalam menggelar Ujian Nasional (UN). Meski pernah berganti-ganti nama; mulai dari Ujian Negara, Ebtananas, hingga Ujian Nasional, tetapi esensinya tak jauh berbeda. Ujian merupakan “barikade” terakhir yang mesti dilalui oleh setiap peserta didik. Mereka mesti berjuang habis-habisan agar bisa melalui “barikade” itu dengan mulus. Jika gagal, maka mereka mesti kembali mengulang agar kompetensi yang dimiliki benar-benar selaras dengan “gelar” yang disandangnya. Mereka yang dinyatakan lulus memang benar-benar layak dan telah menguasai kompetensi yang dipersyaratkan sebagai keluaran institusi pendidikan yang cerdas, terampil, kreatif, mandiri, dan luhur budi.

Namun, seiring dengan dinamika zaman yang terus berubah, UN agaknya mulai mengalami pergeseran; tereduksi oleh kepentingan-kepentingan sesaat, pragmatis, dan politis. UN tidak lagi difungsikan secara esensial sebagai “barikade” terakhir untuk menguji kompetensi peserta didik, tetapi secara pragmatis dan politis dimanfaatkan untuk mendongkrak citra dan marwah semu bagi kepentingan penguasa. Lihat saja, betapa tegangnya para guru dan kepala sekolah menjelang UN. Mereka mendapatkan tekanan secara masif dari atasannya agar nilai UN siswanya tinggi. Jika nilai UN rendah, mereka mendapat stigma sebagai kepala sekolah dan guru yang tidak mampu mengurus dan mencerdaskan peserta didik. Situasi tertekan seperti itu memberikan dampak psikologis yang luar biasa bagi guru dan kepala sekolah. Mereka seringkali stress dan tegang karena dihinggapi rasa khawatir dan cemas secara berlebihan. Untuk menetralisir suasana semacam itu, tak jarang guru dan kepala sekolah bersikap permisif ketika peserta UN saling bekerja sama dan mencontek secara berjamaah. Celakanya, ditengarai ada sekolah tertentu yang melakukan kecurangan secara masif dan sistematis dengan memberikan kunci jawaban, baik langsung maupun tak langsung, kepada siswa didiknya. Ini artinya, kejujuran benar-benar telah dikebiri. Karakter siswa pun makin menjauh dari nilai-nilai keluhuran budi. Mencontek, mencuri kunci jawaban, atau melakukan persekongkolan jahat sudah dianggap sebagai hal yang biasa dan wajar terjadi.

Dalam konteks demikian, sangat bisa dipahami kalau banyak pengamat pendidikan yang mulai ragu terhadap kesahihan UN dalam memotret kompetensi siswa yang sesungguhnya. Tidak berlebihan pula kalau Mahkamah Agung (MA) pernah merekomendasikan agar UN ditunda sebelum pemerintah benar-benar mampu memfasilitasi tercapainya delapan standar nasional yang telah ditetapkan mulai dari standar kompetensi lulusan, standar isi, standar proses, standar penilaian, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, hingga standar pembiayaan.

Meskipun demikian, berbagai kritik dan suara keras dari para pengamat agaknya tidak memengaruhi kegigihan pemerintah dalam mempertahankan UN. Hasil Konvensi UN beberapa waktu lalu yang diharapkan mampu memperbaiki sistem UN pun tak lebih hanya membahas persoalan teknis, bukan pada substansi UN yang selama ini mendapatkan sorotan tajam dari banyak kalangan. PP No. 32 tahun 2013 sebagai “penyempurnaan” PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan bukannya memberikan perubahan signifikans tentang sistem UN, melainkan justru makin mengukuhkan legalitas UN dengan menyerahkan sepenuhnya pelaksanaan UN kepada Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP).

Di tengah carut-marutnya sistem dan pelaksanaan UN semacam itu, pemerintah kembali membuat “kejutan” dengan memberlakukan Kurikulum 2013 sejak tahun 2013/2014 secara bertahap dan terbatas. Kejutan berikutnya, pada tahun pelajaran 2014/2015, semua sekolah di berbagai jenjang wajib melaksanakan Kurikulum 2013 di dua kelas sekaligus. Sungguh, saya masih belum bisa memahami kebijakan yang serba “mengejutkan” seperti ini. Kalau memang masih dibilang sebagai kurikulum berbasis kompetensi, bukankah peserta didik harus mampu menguasai kompetensi tertentu yang dipersyaratkan sebelum mempelajari kompetensi berikutnya. Untuk siswa kelas I mungkin tidak masalah. Namun, bagaimana halnya dengan siswa kelas II? Bagaimana mungkin mereka dipaksa untuk mempelajari kompetensi yang dipersyaratkan di kelas II pada kurikulum baru, padahal mereka belum pernah mempelajari –apalagi menguasai– kompetensi kelas sebelumnya?

Yang tak kalah menyedihkan adalah model pelatihan dan pendampingan untuk guru sekolah sasaran. Mereka hanya dilatih selama lima hari dengan materi kurikulum serba-baru. Mereka juga dituntut untuk mampu mengubah mind-set dalam mengelola pembelajaran melalui pendekatan scientific. Jelas, ini bukan perkara gampang. Pendampingan langsung ke sekolah-sekolah sasaran pun kabarnya tidak berlangsung mulus, sehingga banyak guru sekolah sasaran yang bingung dan mengeluh. Belum lagi buku siswa dan buku (pegangan) guru yang dinilai bermasalah karena banyak muatan materi yang kurang layak untuk digunakan.

Saya tidak bisa membayangkan situasi yang terjadi pada tahun pelajaran 2014/2015 mendatang ketika semua sekolah “dipaksa” untuk menerapkan Kurikulum 2013 di dua kelas sekaligus. Melatih dan mendampingi guru sekolah sasaran secara bertahap dan terbatas saja kedodoran, apalagi jika dituntut harus melatih dan mendampingi guru di seantero nusantara?

Jika tidak direncanakan secara matang melalui kebijakan yang visioner, pelaksanaan Kurikulum 2013 hanya akan menjadikan peserta didik sebagai “korban”. Mereka dituntut menjadi generasi masa depan yang cerdas, kreatif, mandiri, bernalar ilmiah, dan berkarakter tangguh, tetapi pemberdayaan guru yang berdiri di garda terdepan dalam pelaksanaan kurikulum sering diabaikan. Bagaimana mungkin sanggup melahirkan generasi masa depan yang hebat kalau guru yang tugas-tugas kemanusiaannya tak bisa tergantikan oleh apa dan siapa pun loyo dan tak berdaya?

Idealnya, dunia pendidikan harus mampu memberikan proses pencerahan dan katharsis spiritual kepada peserta didik, sehingga mereka mampu menghilangkan sikap-sikap “fasis” sekaligus mampu bersikap responsif terhadap segala persoalan yang tengah dihadapi masyarakat dan bangsanya. Melalui pencerahan spiritual yang ditimbanya, mereka diharapkan menjadi sosok spiritual yang memiliki apresiasi tinggi terhadap masalah kemanusiaan, kejujuran, demokratisasi, toleransi, dan kedamaian hidup. Kita sangat membutuhkan sosok manusia yang memiliki kecerdasan spiritual yang menciptakan damai di tengah berkecamuknya kebencian yang menawarkan pengampunan jika terjadi penghinaan.

Kecerdasan spiritual mewujud dalam perilaku hidup yang diliputi kesadaran penuh, perilaku yang berpedomankan hati nurani, penampilan yang genuine tanpa kepalsuan, kepedulian besar akan tegaknya etika sosial. Sebaliknya, ketidakcerdasan spiritual mewujud dalam perilaku keagamaan yang monolistis, eksklusif, dan intoleran yang meninggalkan jejaknya pada korban konflik kekerasan berbau SARA, seperti yang belakangan ini sering kita saksikan.

Situasi sosial yang sarat dengan perilaku anomali dan ulah tak terpuji, mau atau tidak, harus menjadi bahan renungan bagi kita semua. Sebagai basis dan pusat pembentukan nilai, institusi pendidikan (baca: sekolah) harus mampu mengembalikan fungsinya sebagai pencerah peradaban, mampu melahirkan anak-anak bangsa yang cerdas, baik secara intelektual, emosional, maupun spiritual.

Pendidikan budi pekerti yang berdasarkan Kurikulum 2013 disatukan dengan Pendidikan Agama, harus direvitalisasi dan dihidupkan secara serius, tidak bersifat dogmatis dan indoktrinatif, apalagi kalau hanya sekadar tempelan. Pendidikan budi pekerti pada akhirnya harus benar-benar mendapatkan sentuhan perhatian yang memadai dari para pengambil kebijakan. Bangsa kita menghadapi persoalan serius tentang merebaknya sikap anomali di kalangan kaum remaja dan pelajar kita. Jangan sampai mereka menjadi generasi “salah asuhan” akibat kelengahan dan ketidakmampuan penguasa dalam mendesain sistem pendidikan yang visioner dan “futuristik”.

Nah, selamat menyongsong Tahun Baru 2014, semoga kita bisa berkiblat pada pengalaman masa lalu untuk melangkah ke masa depan dengan pandangan yang lebih tajam, arif, matang, dewasa, dan penuh sentuhan kemanusiawian. ***

Tahun Baru 2014 dan Semangat Perubahan

$
0
0
Catatan Sawali Tuhusetya

Oleh: Sawali Tuhusetya

Tanpa terasa kita sudah memasuki suasana tahun baru 2014. Tahun yang sangat kita harapkan akan membawa perubahan besar di negeri ini. Maklum, pada tahun ini nanti akan digelar sebuah perhelatan besar lima tahunan, yakni Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Sebagai warga bangsa, tentu kita sangat berharap, proses dan hasil Pemilu 2014 nanti benar-benar membawa perubahan besar menuju masa depan yang jauh lebih baik daripada hari ini.

Yang menjadi kunci perubahan itu sesungguhnya adalah kita; rakyat sebagai pemegang kedaulatan sejati. Kita sebagai rakyat juga mesti hati-hati menentukan calon pemimpin. Mereka yang korup, miskin kepeduliannya terhadap rakyat, dan suka melakukan persekongkolan jahat untuk memanjakan naluri kekuasaan dan kepentingan politik praktisnya layak kita berikan sanksi sosial dengan mengabaikan eksistensi mereka. Tidak usah dipilih kembali apabila mereka tetap bersikukuh mencalonkan diri. Dan tentu saja, pengalaman politik jahat mereka yang suka menghambur-hamburkan uang “haram” akan dijadikan sebagai strategi untuk membeli suara di tengah kemiskinan yang melilit rakyat kecil. Strategi jahat seperti ini yang perlu diwaspadai. Mereka sudah terbiasa melakukan politik dagang sapi dengan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Kita hanya butuh sedikit sikap cerdas dengan tidak memberikan kesempatan kepada mereka untuk mengelola negara-bangsa yang saat ini (nyaris) tersungkur di lembah kebangkrutan.

Tahun Baru

Semoga semangat tahun baru 2014 benar-benar memberikan sinyal “kecerdasan” itu hingga akhirnya kita mampu memilih sosok-sosok pemimpin yang tepat untuk mengurus dan mengelola bangsa yang besar ini. Selamat tahun baru, Saudara-sadaraku, semoga hari esok akan jauh lebih baik daripada hari ini. Salam perubahan! ***

Tulisan Pertama Awal Tahun 2014

$
0
0

Ini tulisan pertama pada awal tahun 2014. Jika saya melakukan kilas balik sejenak tentang aktivitas ngeblog selama setahun terakhir, ternyata semangat ngeblog perlu di-“upgrade”. Ngeblog sangat erat kaitannya dengan aktivitas menulis. Di tengah aktivitas offline yang seringkali tidak mau kompromi, mau atau tidak, blogger seperti saya harus memilih. Menelantarkan blog dengan risiko aktivitas online menjadi korban. Atau sebaliknya, mengutamakan aktivitas ngeblog dengan risiko aktivitas offline “mati suri” yang akan berdampak secara sosial dalam kehidupan sehari-hari. Agaknya sangat mustahil apabila dua aktivitas ini harus diselesaikan dalam waktu yang (hampir) bersamaan.

Bagi saya yang kebetulan sebatas menjadi blogger amatir dan belum sanggup menjadikan aktivitas ngeblog sebagai profesi utama, jelas masih memilih untuk mengutamakan aktivitas offline. Oleh karena itu, sangat beralasan apabila jumlah posting pada satu tahun terakhir merosot drastis. Bahkan, kalau saya lihat arsip tulisan di sini, saya pernah hanya menghasilkan dua tulisan dalam satu bulan. Benar-benar parah, bukan?

Lantas, bagaimana ke depannya? Saya kira blog masih memiliki “magnet” yang cukup kuat untuk menyedot “adrenalin” saya. (Hampir) belum ada alasan yang cukup sahih untuk menghentikan saya melakukan aktivitas ngeblog. Istri dan ketiga anak saya sangat paham dengan “dunia” saya yang seringkali harus begadang, lebih-lebih ketika liburan sekolah. Oleh karena itu, sebisa mungkin saya akan mencoba menciptakan dan memelihara “atmosfer” ngeblog tanpa harus mengorbankan aktivitas utama di tengah-tengah kehidupan sosial.

Harus diakui, kompleks blogsphere memang tidak semeriah 5-7 tahun yang lalu ketika gerakan jejaring sosial belum semasif seperti sekarang. Tidak berlebihan pula apabila tidak sedikit sahabat blogger yang beralih jalur ke media sosial. Meski bukan satu-satunya faktor penyebab surutnya arus dunia blogging, tetapi mesti diakui memiliki andil yang cukup besar dalam menyurutkan “passion” ngeblog. Saya lihat banyak blog yang ditinggalkan sang admin.

Namun, sekali lagi, itu juga soal pilihan. Di tengah masifnya gerakan jejaring sosial, mudah-mudahan saya tetap bisa “mengawinkan” kedua media virtual ini dalam beraktivitas di jagad maya. Semoga tahun 2014 mampu menciptakan atmosfer ngeblog, sehingga kompleks blogsphere kembali “hidup” dan meriah. Nah, salam ngeblog. ***

Kesetiaan Janji Yudistira dan Amarah Bima

$
0
0
Wayang

Dalang: Sawali Tuhusetya

Dunia agaknya memang sudah terbalik, pikir Balarama. Orang bersih dan jujur justru hidup dalam penderitaan dan kesengsaraan. Sedangkan, orang yang jelas-jelas berkarakter jahat, suka melakukan tipu-muslihat, menghalalkan segala cara dalam mencapai tujuan, hobi melakukan persekongkolan jahat untuk menjatuhkan lawan politik, justru hidup serba enak-kepenak.

“Sungguh tidak adil!” keluhnya di depan Kresna ketika menjenguk para Pendawa yang tengah hidup dalam penderitaan dan kesengsaraan di tempat pengasingan. Kresna terdiam. Ekor matanya menjilat wajah Yudistira yang tenang dan sejuk. Meski hidup dalam suasana getir bersama Drupadi, isterinya, dan empat saudaranya yang lain, putra Pandu itu tidak menampakkan tanda-tanda galau dan stress.

“Kenapa saudara-saudara kita Pendawa yang selama ini selalu menjunjung tinggi nilai kebenaran dan kejujuran harus mengalami nasib setragis ini?” lanjut Balarama dengan gusar. Bola matanya membelalak. Kresna tetap diam. Penguasa Dwarawati itu seperti sengaja memberikan kesempatan kepada Balarama untuk menuntaskan emosi yang menggelegak dalam rongga dadanya.

“Apa kita mesti diam menyaksikan angkara-murka merajalela di depan mata? Tegakah kita menyaksikan orang sebaik Pendawa disingkirkan oleh para Kurawa yang berhati jahat dan busuk?” kembali suara Balarama memecah suasana di hutan pengasingan yang singup dan wingit. “Bagaimana kelak Destarastra harus mempertanggungjawabkan perbuatannya dan bagaimana ia bisa membela diri waktu berhadapan dengan Dewa Kematian? Padahal, semesta alam beserta seluruh penghuninya menangis, meratap, dan sedih menyaksikan nasib Pendawa yang tak berdosa dan Drupadi yang mendapatkan karunia Sang Dewa Api harus menghadapi penyiksaan dan penistaan yang sedemikian kejamnya!” lanjut Balarama dengan bola mata menyala-nyala. Suasana hutan yang singup dan wingit mendadak terasa gerah. Sentyaki yang sedari tadi terdiam, terusik untuk angkat bicara.

“Balarama, saat ini bukan waktunya untuk larut dalam kesedihan. Seharusnya kita tidak perlu menunggu sampai Yudistira meminta kita untuk membantu Pandawa. Kita tidak bisa menyaksikan penderitaan saudara-saudara kita hidup dalam penistaan yang tak berujung. Dwarawati punya prajurit yang tangguh dan militan, dan itu lebih dari cukup untuk menggempur Duryudana. Apalagi jika didukung prajurit Wrisni yang bersenjata lengkap dan mutakhir, maka kita dengan mudah mampu menaklukkan putra Destarastra yang busuk dan serakah! Sampeyan dan Kresna pasti mampu berkoalisi dengan baik dan sempurna! Saya pun ingin sekali memancung leher Karna! Mari kita bangun kekuatan untuk menghancurkan arogansi Duryudana!” sergah Sentyaki sambil melintir cambangnya yang lebat. “Jika memang Pendawa ingin konsisten dan memenuhi janjinya, kita serahkan saja kekuasaan Hastinapura kepada Abimanyu! Dia sosok kandidat pemimpin yang jujur, bersih, dan dekat dengan rakyat!” lanjut Sentyaki berapi-api. Sembari menarik napas, Kresna yang sedari tadi menyimak dengan takzim, akhirnya menyela.

Kresna

Kresna

“Apa yang Sampeyan katakan itu benar. Tapi Sampeyan jangan lupa siapa Pendawa! Meski hidup menderita, mereka tak mudah begitu saja menerima uluran tangan orang lain. Sejak kecil mereka sudah ditempa hidup mandiri melalui ujian-ujian yang berat, termasuk ketika harus menghadapi kelicikan Sengkuni dan Kurawa dalam permainan dadu di Balai Sigala-gala. Drupadi yang memang memiliki darah pahlawan dan ksatria pun belum tentu mau mendengar dan menerima bantuan pihak lain. Lebih-lebih Yudistira! Ia pasti tak akan mau meninggalkan jalan kebenaran dalam situasi apa pun! Nah, setelah masa pengasingan secara incognito ini berakhir, barulah nanti kekuatan koalisi yang sempurna akan kita bangun dari segala lini. Penguasa negeri dari Pancala, Kekaya, Chedi, dan kita semua akan menyatukan semua kekuatan untuk mewujudkan koalisi yang solid dan berjuang menegakkan kebenaran dan keadilan!” kata Kresna sambil sesekali menyemburkan senyuman. Yudistira yang duduk di sampingnya ikut tersenyum. Tenang dan berwibawa.

“Wah, luar biasa Bapak Kresna ini! Rupanya dia tahu benar apa yang sedang saya pikir dan rasakan! Menurut saya, kebenaran jauh lebih utama ketimbang kekuatan atau kekuasaan dan mesti dipertahankan dengan penuh sikap integritas. Meskipun demikian, saya mengucapkan terima kasih dan memberikan penghargaan setinggi-tingginya kepada saudara-saudara saya di sini yang telah repot-repot memikirkan nasib kami. Saya percaya pada Bapak Kresna. Kalau memang beliau sudah menghendaki kita siap tempur, kami siap! Saya kira demikian, kita menunggu perkembangan lebih lanjut dari Bapak Kresna,” kata Yudistira dengan lembut dan ramah, tetapi tegas. Segenap yang hadir mengangguk setuju. Setelah bersalaman dan berangkulan, mereka berpisah.

Sementara itu, Bima tak sanggup menutupi kegelisahannya setiap kali mengingat Arjuna yang belum juga kembali dari Gunung Himalaya. Ketika ia ingin menggunakan jalan kekerasan, Yudistira menolaknya.

“Sampeyan tahu, kita sangat bergantung pada Arjuna. Ia telah lama pergi dan kita tidak mendengar kabar beritanya. Seandainya kita kehilangan dia, tak seorang pun, termasuk penguasa Pancala, Sentyaki, atau Kresna, yang dapat menolong kita. Aku tak sanggup membayangkan apa yang akan terjadi kalau kita kehilangan dia. Akibat permainan dadu gila itu, kita mesti mengalami nasib setragis ini! Sebaliknya, Kurawa justru berpesta sambil terus menyusun kekuatan untuk mempertahankan kekuasaan! Tinggal dan mengembara di dalam hutan seperti ini bukanlah jalan kaum ksatria. Kita harus segera memanggil Arjuna. Lalu, dengan bantuan Kresna kita umumkan perang terhadap anak-anak Destarastra. Aku akan puas, jika Sengkuni, Karna, dan Duryudana yang jahat dan licik mampus. Kalau tugas ini selesai dan jika Sampeyan memang menghendaki ke hutan dan hidup sebagai pertapa silakan saja! Membunuh musuh dengan menggunakan siasat bukanlah dosa yang mesti diratapi!” kata Bima dengan vokalnya yang besar dan berat. Yudistira menyimaknya dengan takzim. “Aku mendengar bahwa dalam buku Atharwa Weda memuat trik jitu yang dapat mengurangi dan mempersingkat waktu. Kalau bisa, dengan trik itu kita bisa menjadikan waktu tiga belas tahun menjadi tiga belas bulan saja. Trik ini legal dan Sampeyan pasti mengizinkan aku untuk membunuh Duryudana pada bulan keempat belas!” lanjutnya sambil menahan amarah yang tersekat di dada.

Yudistira

Yudistira

Mendengar kata-kata Bima yang penuh nada amarah, Yudistira memeluknya dengan penuh kasih sayang. “Saudaraku tercinta, segera sesudah tiga belas tahun itu terlampaui, Arjuna dengan senjata Gendewa dan engkau dengan gadamu akan bertempur dan membunuh Duryudana. Bersabarlah sampai waktu itu tiba. Duryudana dan pengikut-pengikutnya tidak mungkin akan terlepas dari semua ini, sebab mereka sudah telanjur tenggelam dalam lumpur dosa dan tipu muslihat. Yakinlah engkau, adikku!” kata Yudistira sambil sesenggukan. Bima terharu.

Ketika kedua kstaria Pendawa itu bercakap-cakap dengan penuh keharuan, tiba-tiba muncul Profesor Brihadaswa yang tua, suci, dan bijaksana. Mereka menyambut kehadiran sang guru besar itu dengan sikap hormat yang sempurna. Setelah mempersilakan duduk, Yudistira bertanya, “Prof, musuh kami telah berbuat curang dengan mengajak kami bermain dadu. Mereka membuat kami kalah dan menipu kami hingga kami kehilangan kerajaan dan kekayaan. Mereka mengusir saudara-saudaraku yang berjiwa kesatria. Drupadi dan aku harus diasingkan di hutan ini, sementara Arjuna meninggalkan kami untuk mencari senjata Gendewa supercanggih. Namun, sampai kini Arjuna belum kembali dan itu membuat kami sangat khawatir. Apakah ia akan kembali dengan senjata supercanggih itu? Dan kapan kiranya saat itu tiba? Belum pernah rasanya ada kesedihan yang begitu mendalam seperti kesedihan yang menimpa kami ini.”

“Jangan biarkan pikiranmu diliputi kegalauan berlebihan. Arjuna pasti kembali dengan membawa senjata supercanggih dan engkau akan menaklukkan musuh-musuhmu pada waktu yang tepat. Engkau pikir, di dunia ini tak ada orang yang semalang engkau. Tidak, itu tidak benar! Memang, setiap orang merasa nasib penderitaannya yang paling berat di dunia, sebab segala sesuatu dirasakan lebih pahit daripada apa yang didengar dan dilihat. Apakah engkau pernah mendengar kisah Raja Nala dari Kerajaan Nishada?” kata Prof. Brihadaswa balik bertanya. Yudistira dan Bima hanya bisa saling berpandangan.

“Ia ditipu oleh Pushkara dalam permainan dadu. Ia kehilangan kerajaan, kekayaan, dan semua miliknya. Ia juga harus mengembara di hutan seperti engkau. Tetapi ia lebih menderita karena dalam pengembaraannya ia tidak disertai saudara-saudaranya. Ia bahkan tak boleh bertemu, apalagi bercakap-cakap, dengan kaum brahmana. Karena pengaruh Batari Kali, Dewi Kegelapan, pikirannya terguncang dan ia tendang istrinya, Dewi Damayanti. Kemudian, dalam keadaan setengah gila, ia mengembara di hutan. Dan sekarang, bandingkan dengan keadaanmu. Engkau punya saudara-saudara yang gagah berani, isteri yang setia dan dukungan dari kaum cendekiawan yang suci. Mereka semua setia menemanimu. Pikiranmu baik dan teguh. Memang, kasihan kepada diri sendiri adalah wajar, tetapi keadaanmu tidak seburuk penderitaan orang lain,” lanjut sang guru besar itu. Ia terus bertutur dengan menggunakan bahasa yang indah dan menyentuh nurani tentang nasib Raja Nala. Sebelum mohon diri, sang profesor menyimpulkan kisahnya di depan Yudistira dan Bima.

“Wahai Pendawa, Nala telah menjalani cobaan yang jauh lebih berat daripada apa yang kalian hadapi. Tetapi, akhirnya ia berhasil mengatasi cobaan itu dan kemudian hidup bahagia. Engkau memiliki kecerdasan yang kuat. Engkau selalu berada di lingkungan yang baik dan penuh limpahan kasih sayang dari kawan-kawanmu. Engkau telah menggunakan waktumu dengan baik, untuk mempersembahkan jiwa dan pikiranmu kepada nilai kebajikan, kearifan, dan darma. Jalan untuk itu adalah bercakap-cakap dan bertukar pikiran dengan kaum cendekiawan dan ahli spiritual. Pikullah segala cobaan dan derita dengan sabar dan tabah, sebab itu adalah karunia bagi setiap insan!”

Simpulan tuturan Prof. Brihadaswa tentang nasib Raja Nala yang tragis, tetapi indah, membuat Yudistira dan Bima kian larut dalam keharuan seiring dengan senja yang mulai temaram di seantero rimba belantara yang singup dan wingit itu. (Tancep kayon) ***

Viewing all 147 articles
Browse latest View live